-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Minggu, 30 Desember 2012

MARI MISUH PADA DIRI SENDIRI


Misuh, kata ini cukup trend di daerah jawa timuran, entah sebenarnya secara etimologis atau terminologis misuh itu definisinya apa, saya belum tahu. Saya memahami kata misuh itu sebagai kalau dalam bahasa indonesia itu umpatan. Misuh itu biasanya dilakukan  ketika kita marah dengan seseorang, ada berbagai jenis kata yang biasanya digunakan untuk misuh dan cukup populer sebagai berikut, : dancuk, asu, bajingan, bangsat dan masih banyak lagi.
Misuh itu menurut saya adalah ekspresi budaya rakyat jelata kita terhadap berbagai tatanan kehidupan sosial yang merugikan dirinya. Ada pihak-pihak yang merusak tatanan sosial masyarakat dalam segala bidang baik ekonomi, budaya, dan lain-lain, pihak-pihak itulah yang biasanya menjadi sasaran pisuh-an masyarakat. Tetapi dewasa ini misuh sudah menjadi sesuatu yang biasa, kita dibohongi orang misuh, ban motor kita kempes di jalan juga kita misuh-misuh, sampai tetanga saya di kampung karena tak dapat BLT lalu berkata “ SBY ASU, Pemerintah bajingan”.
Banyak orang yang mengatakan misuh sebagai sebuah prilaku tak terpuji. Mungkin orang yang berkata begitu tidak pernah dihadapkan pada kenyataan sosial yang begitu menghimpit sehingga misuh adalah pelampiasan paling murah. Orang yang mengatakan misuh itu tak terpuji mungkin tak pernah merasakan sulitnya rakyat kecil dalam keterhimpitan indutrialisasi harus mencari sesuap nasi. Sulitnya tukang becak mencari penmupang ditengah menjamurnya Taxi dan angkutan umum bermesin lainya. Kalau memang kita terlahir sebagai keluarga yang secara ekonomi mapan, kita tak perlu ikut-ikut jadi tukang becak, kita hanya perlu melihat apa yang ada dibalik relitas, mata kita harus kita latih untuk lebih tajam melihat sebuah bingkai peristiwa. misuh itu adalah keseharian rakyat kecil kita, tukang becak, glandangan, preman, kernet, sopir bus, petani, buruh mereka sangat dekat dengan budaya misuh itu.
Kalau kata cak nun (ehma ainun nadjib) Agama memang mengajarkan pada kita untuk berkata yang baik-baik, tetapi dalam kondisi yang begitu tertekan misuh itu boleh . Yang harus dipersoalkan bukan misuhnya, tetapi apa yang mendorong misuh itulah yang harus kita lihat dengan cermat. Apakah kita akan menyalahkan dan mengharamkan prilaku misuh rakyat kecil kita yang termiskinkan oleh sistem negara yang tak pernah memihak pada rakyat. Bukankah negara yang tak memihak  pada rakyat itu dancuk namanya. Apakah kita akan menyalahkan rakyat yang mengatakan pemerintah itu dancuk, sementara dalam buktinya memang rakyat kecil kita seperti anak ayam tanpa bapak.
Sekarang ada inovasi dari saya, bagaimana kalau mulai sekarang kita (termasuk yg nulis) belajar untuk misuh i diri kita sendiri. Biasa kalau kita misuh atas kesalahan orang-orang lain disekitar kita. Mari kita coba belajar menyalahkan setiap perbuatan kita yang sangat bodoh. Saya sudah tahu kalau melihat gambar-gambar porno itu adalah keburukan dalam berbagai aspek, tetapi kadang-kadang saya juga masih mengulang melihat gambar porno. Bukankah ini sangat bodoh. Maka beranikah saya mengatakan bahwa saya ini DANCUK, ASU, BAJINGAN,. Kadang saya juga masih mengelak, bukankah melihat gambar porno itu manusiawi. Inilah manusia, inilah saya yang semakin hari semakin cerdas tetapi semakin sulit untuk menjadi manusia yang paling manusia. Jadi semakin saya cerdas semakin pula saya pandai membungkus keburukan menjadi kebaikan. Lalu beranikah saya berkata DANANG DANCUK TENAN, DANANG ASU TENAN. Sudah sangat jelas konsep bahwa bohong itu perbuatan tercela dan hina, tetapi saya kadang juga masih berbohong untuk menyembunyikan kejelekan saya. Bukankan saya asu dalam sikap itu.
 Memang butuh keberanian untuk kita dengan tegas menertawakan atau misuh-i semua kelakukan kita yang sangat lucu. Ini sangat akan bermanfaat jika koruptor berani misuh-i dirinya sendiri, KPK dan polisi tidak akan begitu aktif bertugas, jika koruptor setelah melakukan perbuatan korupnya dengan tegas berani misuh-i dirinya sendiri, WAH ASU TENAN AKU, TIKUS MALING DUWIT NEGORO. Tetapi kalau memang para koruptor berani misuh i dirinya sendiri saya kok khawatir anggota dpr masuk penjara semua ya. Lebih asik lagi kalau presiden kita berani misuh i dirinya sendiri, WAH DANCUK TENAN, AKU IKI PRESIDEN OPO MOSOK KEKAYAAN ALAM TAK KASIHKAN AMERIKA, AKU BISA DIKENDALIKAN IMF DAN AMERIKA, AKU IKI PRESIDEN ASU TENAN, MESAKKE RAKYATKU. Sudah-sudah mari kita belajar misuh-i diri kita sendiri, mari kita menunduk memandang diri sendiri dan selanjutnya berkata lantang ASU TENAN AKU INI. Semoga gustiallah memberikan nikmat agar kita dicurahkan keberanian untuk misuh-i kelakukan kita sendiri, agar kita bisa menertawakan kebodohan kita. Amin.

kediri 30-12-12. ditengah hasrat untuk misuh-misuh pada diri sendiri

JIKA SAYA SEORANG SYIAH (Belajar Mencintai Manusia karena Kemanusianya)

Muslim, Hindu, Kristen Aku tak peduli
Syiah, Sunni. NU atau Muhammadiyah
Kau manusia, karena itu pandang pula aku sebagai manusia
Baru lihat embel-embelnya
(Sajak Kelahiran,karya  Abdul Hadi WM.)





Hidup di negeri yang sangat plural dalam segala hal itu tidak mudah. Berbagai tantangan harus siap dihadapi kaitanya dengan pluralitas. Akhir-akhir ini kesatuan dan pluralitas di negeri kita sedang diuji. Berbagai tindakan kriminalitas yang menyangkut keyakinan agama semakin marak. Mulai dari kasus penyerangan dan penuntutan pembubaran ahmadiyah, kasus pembekaran gereja, bom gereja hingga yang paling segar di inggatan kita adalah kasus penyerangan komunitas syiah di Madura.
Semakin banyak kelompok yang dengan lantang mengatakan bahwa keyakinan yang dianut adalah paling benar. Maka setiap keyakinan apapun yang berbeda dinggap salah. Saya sangat miris melihat hal ini, sekitar dua miggu yang lalu saat saya berdiskusi dengan komunitas syiah di Yogyakarta. Komunitas syiah itu menceritakan bagaimana penderitaan saudara-saudara syiah di Madura, yang di deskriminasi lahir batin. Setelah diskusi itu yang ada dalam benak saya hanya satu pertanyaan, apa yang terjadi pada diri saya andaikan saya seoarang syiah?. Di dalam esai ini saya akan berusaha menempatkan diri saya sebagai seseorang syiah. Namun tanpa bermaksud mengurangi netralitas dalam tulisan saya ini (meskipun jelas konten esai lebih cenderung kepada subjektivitas).
Jika saya menjadi seoarang syiah berikut adalah kemungkinan-kemungkinan kejadian yang akan saya alami. 1) saya pasti akan dilihat sebelah mata, karena selama ini mayoritas masyarakat Islam di Indonesia menggap komunitas syiah sesat. Hanya karena syiah berbeda dengan mayoritas aliran Islam di Indonesia lantas komunitas saya dianggap sesat. Apakah parameter sesat hanya karena perbedaan?. 2) jika saya seorang syiah pasti saya harus beribadah dengan dijaga polisi, atau paling tidak harus beribadah dengan penuh ketakutan jika sewaktu-waktu komunitas saya diserang, seperti yang terjadi di Madura. Selain itu saya harus siap menerima berbagai tindakan-tindakan kriminal. Pembunuhan, kekerasan, pengusuran seperti yang sudah terjadi pada komunitas syiah di Madura. 3) jika saya menjadi syiah, pasti saya akan menjadi komunitas yang terkucil dari pergaulan masyarakat di Indonesia. Dalam sebuah berita seoarang ulama garis keras menyatakan bahwa syiah kafir, sesat dan menyesatkan. Akibat fatwa ulama itu pasti akan membuat saya dijahui dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan mungkin bagi mereka darah saya halal, karena saya orang kafir. Hal tersebut juga akan mengakibatkan sulitnya saya mengakses berbagai fasilitas umum. Sebenarnya masih banyak lagi kemungkina kejadian yang akan saya alami jika saya menjadi seoarng syiah.
Jika kita amati berbagai kasus konflik atas nama agama, sebenarnya semuanya mengarah kepada satu hal yaitu kriminalisasi perbedaan. Setiap orang yang berbeda dengan mayoritas dinggap sesat, dan cap sesat ini pasti akan berakhir dengan tindakan anarkis, dan kriminal. Contohnya saja dalam internal agama Islam, kasus label sesat Ahmadiyah, dan Syiah, menunjukkan bahwa yang disebut Islam kian hari kian sempit. Semboyan bhineka tunggal ika sudah kita hianati. Kita selama ini hanya sebatas tahu bahwa Indonesia adalah negeri dengan berbagai keberagaman. Tetapi kita sebagai mayoritas tetap membuat bahkan membangun skat yang lebih tinggi untuk pembeda kita dengan komunitas mayoritas. Sudah waktunya kita sadar kebenaran milik semua orang, semakin banyak perbedaan semakin banyak pula yang bisa kita pelajari.
Kalau kerja kita hanya sesat-menyesatkan saya hawatir, tidak hanya syiah atau ahmadiyah yang kita cap sebagai komunitas sesat yang harus dibubarkan. Bahwa label sesat dari manusia tidak bisa dijadikan dalil untuk membasmi suatu keyakinan, keyakinan adanya di hati dan tidak bisa dibubarkan. Kita harus segera menyudahi episode pembenaran kelompok dan diri sendiri. Sudah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri, sudahkan kita menjadi manusia yang paling manusia, manusia yang mengerti manusia dan manusia yang memanusiakan manusia?.
Sudah saatnya kita mulai belajar melihat manusia karena kemanusiaanya, bukan karena embel-embelnya. Dengan begitu kita akan mudah mencitai manusia bukan karena, agama, suku, ras. Saya juga sedang belajar untuk mencintai manusia karena kemanusiaanya, mari kita belajar bersama.

Kamis, 27 Desember 2012

DIAMNYA SEORANG PENCARI


DIAMNYA SEORANG PENCARI

Aku pencariMU
Dalam lautan kata-Kata tentangMU
Beri aku nikmat untuk mendengar semua kata tentangMU

Aku pencariMU
Dalam setiap perselisihan tentangMU
Beri aku nikmat untuk melihat kejernihan dibalik perselisihan

Aku pencariMU
Dalam lautan fikiran-fikiran tentangMU
Beri aku nikmat ketulusan fikir untuk merenungkanMU

Aku pencariMU
Dalam lautan kesalahan tentangMU
Beri aku nikmat secercah kebenaran agungMU

Aku pencariMU
Dalam setiap hiruk pikuk duniaMU
Beri aku nikmat jalan kesunyian bersamaMU

Aku pencariMU
Dalam gelap dunia tanpa matahari
Beri aku nikmat terang cahayaMU

Aku pencariMU
Dalam setiap langkah dosa-dosaku
Beri aku nikmat kasi sayang maha maafmu

Aku pencarimu
Dalam jalan-jalan fantasi  remang maksiatku
Beri aku nikmat keindahan fantasiku tentangmu

Aku pencarimu
Ajari
Tuntun
Atau
Bila perlu
Sorong
Atau
Jongkrokke

Aku
Rela


YOGYA 25-12-12 

KITA DAN SANDAL JEPIT


3 hari ini saya berganti 3 kali sandal jepit. Dengan mudahnya sandal jepit itu saya gonta-ganti. Dimulai saat kumpul di HMI sampai pada saat acaranya cak nun. Karena memang dalam acara-cara itu cukup banyak orang, sehingga saya pun waton sarampang sandal, sekenanya saya pakai. Tidak lucu kalau saya harus mencari sandal jepit milik saya diantara lautan sandal jepit. Akhirnya ya, sekenanya saja saya ambil dan pakai yang penting sandal jepit. Kalau dahulu di pesantren kelakukan ini disebut nGosop, yang jelas saya agak keberatan jika kelakuan ini disebut mencuri, bagaimana bisa ini hanyalah model pertukaran sama nilai antar manusia, sandal jepit ditukar dengan sandal jepit. Tak ada yang lebih, sama-sama rendah mungkin hanya beda sangat sedikit mengenai ketebalan masing-masing sandal, yang jelas jika sandal jepit itu (di)ungkan tak akan bernialai apapun. Sangat beruntung jika ditengah bangsa yang kemaruk duwit ini ada orang yang mau membeli sandal jepit bekas, jika memang ada luar biasa bangsa ini, tapi saya kok ya haqqul yakin tidak akan ada yang mau.
Walapaun 3 kali berganti sandal jepit, ya ternyata rasanya tetap sama, tak ada keistemewaannya. Beda dengan ganti-ganti yang lain, kalau ganti istri mungkin tiap istri rasanya beda –mungkin,  saya juga belum pernah mencobanya- yang jelas nikmat memakai sandal jepit adalah nikmat luar biasa. Sandal jepit adalah simbol penjara yang paling bebas, bagaimana bisa kaki kita dipenjara sandal, tapi lihatlah si jempol atau jentik mu masih bisa tengok kanan-kiri tanpa malu. Inilah kehebatan mutakhir teknologi bangsa kita!!. Kaki kita ibarat jiwa kita, yang karena gerak dan langkahnyalah kualitas hidup kita ditentukan, sandal jepit adalah raga fisik yang memenjara jiwa.
 Pelajaran besar dari sandal jepit, sandal jepit begitu lentur mengikuti kemauan kaki kita, itulah sharusnya hidup kita. Seharusnya jiwa yang baik lah yang mengerakkan raga fisik kita, tapi dibangsa ini semuanya sudah mapan dengan budaya wolak-walik. Kita yang seharusnya dikendalikan jiwa malah kuwalik raga fisik yang mengendalikan diri kita. Kita telah lama dikuasai fisik kita, kita bahkan telah menindas jiwa kita hingga pada titik yang paling rendah. Kita telah membiarkan sandal jepit mengendalikan kaki kita. -Kalau boleh pinjam istilah gus mus,- Kita tak lebih dari budak-budak perut dan klamin –ingat kita disini termasuk semuanya, termasuk diri yang nulis tulisan ini- . Tampaknya sangat indah jika kita bisa menjadikan raga fisik kita seperti normalnya sandal jepit yang penuh dikendalikan oleh kaki kita secara lentur.
Lalu bagaimana dengan masalah awal, gonta-ganti sandal jepit. Sebenarnya itu tidak begitu penting. Saya masih yakin bahwa dalam batas-batas tertentu ngosop itu diperbolehkan. Batas apakah itu?, batas dimana barang yang kita gosop setara dengan barang yang kita korbankan untuk juga nanti digosop orang. Cerita pertukaran sandal jepit tak lebih hanya sebuah pengantar, agar kita-kita ini manusia yang mulia mau belajar dari si sandal jepit. Agar kita tidak lupa bahwa dirikita sebenarnya adalah miniatur kaki dan sandal jepit. Kita tahu dan sudah sangat faham bahwa sandal dan kaki letaknya adalah dibawah, dan biasanya tidak terperhatikan. Memangnya ada calon suami yang jatuh cinta pada pandangan kaki istri yang pertama, memangnya ada calon pegawai negeri yang dilihat kakinya saat tes. Kita ini begitu rendah serendah sandal jepit, kalau masih ada yang meninggikan diri, kenapa tidak menyusun proposal saja pada Gustiallah untuk merubah kakinya menjadi diatas, pasti akan sangat lucu.
Tidak ada ciptaan gustiallah di dunia ini yang sia-sia, termasuk sandal jepit.


Yogyakarta 19-12-12. menjelang malam 

Minggu, 04 November 2012

Sajak-sajak Rindu Iman

Tebing Keimanan

sedang diujung tebing keimanan,
baimana kalau aku terjatuh
gustiallah, kau pencipta perbuatanku
bahkan kau tahu persis apa yang ada dalam hatiku
kata al hallaj, ibnu arabi, syeikh siti jenar, bahkan mbah mutamakin
Kau adalah aku
Kau menyatu dalam diriku
tapi aku belum merasakan kehadiranMu dalam aktivitaksu
kalau aku merasakan kehadiranMu
dalam Sholatku dan Ibadahku itu biasa
terkadang aku juga malah tak merasakan kehadiranmu dalam sholatku
aku ingin lebih dari itu,
aku ingin setiap gerak tubuhku
aku sadar kau selalu dekat denganku
diujung tebing keimanan
berjalan ke depan akan jatuh





yogya 2 oktober 2012 _ saat malam hari mulai mengulung sore yang menyadarkan








Puisi untuk Kanjeng Nabi





ya sayyidi
kandjeng nabi muhammad
biarkan aku bertemu denganmu
ijinkan aku bertatap muka dihadapmu
biar aku lebih mengenal akhlakmu
biar aku tak hanya dengar dan baca akhlakmu dari buku dan cerita ustad

kalau hanya dengar dan tahu
seperti sekarang yang aku alami
tak ada dampaknya, jika kau tahu itu kandjeng nabi
kandjeng nabi. engkau menyuruhku memandang manusia setara
tapi aku masih merasa aku lebih dari yang lain
engkau menyuruhku cinta pada Allah
tapi aku masih terkendalikan oleh materi
engkau menyuruhku berbuat baik
tapi aku masih mencari-cari alasan untuk merubah kejelekan menjadi kebaikan
engkau menyuruhku menghindari maksiat
tapi maksiat telah menjiwai ragaku

oh kanjeng nabi, masihkah aku ini umatmu
ataukah syadatku,imanku kepadamu hanya dibibirku
setipis air liur.
oh kanjeng nabi. aku ingin, rindu, bernafsu bertemu denganmu
tegakah engkau melihat aku ini kebingungan
semakin banyak orang yang membawa-bawa namamu
mereka membuat aku bingung.

ya sayyidi sungguh, aku ingin bertemu denganmu





---yogya 2 oktober 2012









Mencari 
(Lagi)TUHAN 







Dahulu kemarin saya merasa sudah menemukan tuhan dengan jalan saya
Tapi sekarang  saya lupa jalan saya
Tuhan saya hilang
Saya harus memulai dari awal lagi
Dan itu bukanlah hal mudah
Tapi harus dan saya pasti bisa
Dari peristiwa ini saya belajar
Bahwa kedekatan dengan tuhan harus istiqomah
Kedekatan dengan tuhan harus selalu diperbarui
Kalau tidka kamu akan lupa tentang tuhan
Mari memulai lagi

22-10-2012 kuningan 

Selasa, 23 Oktober 2012

Universal love, Mo Tzu: Ikhtiar Resolusi Konflik dan Menyatukan Kebhinekaan


A. Permasalahan Awal

Semuanya sudah tahu bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya dalam hal keberagaman. Mulai dari agama, walaupun Islam dianut sebagai agama mayoritas di negeri ini, tetapi ada 5 agama lain yang dianut dan berkembang di Indonesia. Keberagaman suku, sudah tidak usah ditanyakan lagi, Pulau yang cukup kecil saja seperti bali, dihuni sangat banyak suku. Tak akan ada habisnya jika kita uraikan semua keberagaman yang ada dan hidup di Indonesia. Konskuensi dari keberagaman yang ada di Indonesia adalah toleransi, manusia Indonesia dituntut hidup di tengah-tengah berbagai perbedaaan, tanpa harus saling injak, atau bahkan hanya saling sengol.
Akhir-akhir ini keberagaman kita sedang di uji. Berbagai peristiwa konflik yang dilatar belakangi perbedaan agama, suku, aliran, atau yang berbau sara, sudah menjadi headline yang setiap hari menghiasi media-media di republik ini. Mulai dari kasus yang paling hangat konflik antara kelompok syiah dan anti syiah di sampang. konflik yang didasari perbedaan pandangan tentang masalah agama ini sampai menelan korban, terjadi pengrusakan, pembakaran, dan diskriminasi.  Kehidupan keberagamaan di negeri ini, sudah sangat identik dengan kegiatan saling sesat menyesatkan, semua mengklaim bahwa klompoknya adalah wakil tuhan paling benar di muka bumi, sementara yang lain salah, kafir dan harus dimusnahkan.
Konflik antaretnis yang dahulu menjadi problem besar dan sekarang masih menghantui kehidupan keberagaman kita. Konflik antar warga dayak dan madura di sampit kalimantan tengah yang berkembang menjadi konflik antaretnis. Dalam waktu seminggu jumlah korban yang tewas dari etnis madura tercatat 315 orang. Belum habis cerita tentang pertikaian antar etnis yang berbeda agama di maluku, menyentak masyarakat konflik yang lebih laten dan mengoyak-oyak srambi mekah, aceh juga belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir(Choirul Mahfudz, 2006:128-129).Jika kita bercermin pada semua konflik yang telah terjadi itu. Ada beberapa pertanyaan yang mengangu. Belumkah bangsa ini sadar tentang berbagai perbedaan yang ada?. Kenapa bangsa kita tak kunjung berbenah dari berbagai konflik yang dalam perjalanan sejarah kita sudah sangat sering terjadi?. Kenapa orang-orang negeri ini masih sangat egoistis, semua memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya, lalu siapa yang memperjuangkan Indonesia?. Kemana pancasila dan bhineka tunggal ika yang selalu kita bangga-bangga kan itu?.
Akar dari semua masalah tersebut adalah pandangan manusia di negeri ini tentang manusia lain. Kita masih sering menganggap ada orang yang lebih rendah dari kita hanya karena beda agama, suku, kelompok dan lain-lain. Dalam berbagai kasus konflik dan berbagai tindakan yang memecah persatuan, kita sebenarnya bisa belajar dari ajaran filsafat universal love-nya Mo Tzu. Bukan bermaksut mengabaikan peran pancasila sebagai sumber inspirasi persatuan, hanya saya ingin belajar dari bangsa lain. Dalam pengamatan saya bangsa ini sepertinya juga sudah sangat  mensakralkan pancasila, sehingga setiap silanya seperti menjadi mantra dzikir yang tiap hari dirapalkan, karena terlalu sibuk merapalkan pancasila kita lupa mengali apa lagi mewujudkan sila-sila pancasila dalam kehidupan. Inilah saatnya kita belajar dari bangsa lain, belajar dari seorang tokoh besar filsafat cina Mo Tzu.
B. Pembahasan
Mo Tzu adalah seorang Filsuf Cina yang hidup sekitar tahun 479-381. Nama keluarganya adalah Mo dan namanya adalah Di. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa Mo Tzu berasal dari Sung (sekarang disebelah utara Honan dan Barat Shantung) dan beberapa ilmuwan lain mengatakan bahwa ia berasal dari Lu, daerah yang sama dengan Konfusius. 
Pokok-pokok ajaran Mo Tzu diantaranya tentang: uiniversal love, pemerintahan, emosi, identification with the superior, dan demokrasi. Mengenai universal love atau kasih saying yang universal, dikatakanya bersifat uitilitaris, dapat membawa kepada kedamaian dunia dan kebahagiaan umat manusia. Kasih saying universal ini menekankan azaz kesmarataan, tidak ada perbedaan tingkat di dalam masyarakat, tidak mebedakan yang satu dengan yang lain. Untuk mendorong agar setiap orang mengamalkan universal love, ia mengajukan sanksi keagamaan dan sanksi politik (Fung Yu Lan, 1964:56)
Ajaran Mo Tzu tentang universal love bisa kita jadikan landasan untuk resolusi berbagai macam konflik yang berkembang di Indonesia. Langkah untuk resolusi konflik tersebut adalah dengan memandang kesamaan drajat antar manusia. Realitas keberagaman yang ada di Indonesia harus kita pandang dari sudut pandang universal love, bahwa semua manusia sama rata, tidak ada perbedaan tingkatakan dalam masyarakat. dengan begitu kita bisa faham bahwa perbedaaan yang ada hanya menyangkut identitas parsial, sementara identitas hakiki kita sama yaitu manusia.  Kita seharusnya bisa belajar untuk mencintai dan memandang manusia bukan dari embel-embelnya (suku, agama, ras, kelompok) kita harus mencintai manusia karena kemanusiaanya, bukan yang lain. Selama kita masih mencintai diri kita, kelompok kita, agama kita, lebih dari yang lain maka tidak akan ada kedamaian di tengah berbagai perbedaan.
Dengan memperbaiki cara pandang kita tentang manusia dan tentang keberagaman yang ada di Indonesia melalui ajaran filsafat universal love-nya Mo Tzu. Hasil akhir yang kita tuju adalah persatuan di tengah kebhinekaan. Bersatu karena berbeda, bukan keseragaman. Masyarakat Indonesia tidak bisa diseragamkan. 32 tahun era orde baru dengan berbagai macam trik untuk menyeragamkan masyarakat Indonesia, terbukti malah menyulut berbagai konflik. Dengan begitu kita dapat bersatu dalam kebhinekaan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
C. Kesimpulan
            Dari uraian yang telah dijelaskan tentang masalah konflik dan resolusinya serta bersatu dalam kebhinekaan. Terlihat bahwa filsafat universal love nya Mo Tzu sangat sesuai jika kita jadikan basis resolusi konflik, untuk mencapai persatuan di Indonesia. Kedamaian dan persatuan dalam sebuah keberagaman, seperti hal nya Indonesia hanya bisa dicapai jika masyarakatnya memandang masyarakat lain setara. Tidak ada perasangka buruk tentang suatu, etnis, agama, ras, suku dan lain-lain. Dengan cara pandang seperti itu kita akan bisa mencintai manusia karena kemanusiaanya sesuai ajaran universal love.
Tulisan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak berusaha memulai mengaplikasikan universal love dari sekarang. Mari kita belajar bersama untuk mencintai manusia karena kemanusiaanya, bukan embel-embelnya. Bukankah begitu?.

yogyakarta 22 10 12 di perpus ugm yang klasik 

Minggu, 23 September 2012

Innocence of Muslims dan Momentum Pembenahan Diri


Minggu-minggu ini di berbagai media, baik cetak maupun elektronik dipenuhi dengan berita tentang sebuah film Innocence of Muslims. Film yang dibuat sutradara Nakoula Basseley, warga amerika serikat, isinya dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan agama Islam. Hasilnya, demo-demo emosional yang berlebihan menentang film itu terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Tak hanya berhenti pada aksi demo, di Libya Duta Besar AS dan dua stafnya menjadi korban akibat film tersebut. Dilingkungan kampus penulis, mahasiswa muslim juga ramai memberikan opini terhadap film ini. Bahkan dalam forum sakral, khutbah jum’at khatib ikut berkomentar terhadap kehadiran film Innocence of Muslims.
 Jika kita mengamati, Ini bukan kali pertama penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam terjadi. Sebelumnya ada, aksi pembakaran Al Quran dan pembuatan karikatur nabi. Jika kita amati lagi, selalu ada respon kekerasan dari umat Islam terkait dengan pembuatan film ataupun aktifitas yang menghina agama Islam. Apakah respon kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam tersebut sesuai dengan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (Rahmat bagi seluruh penghuni alam raya)?. Lalu bagaiman kita harus bersikap?.
 Dalam kaitan bagaimana kita harus bersikap terhadap penghinaan kepada Nabi Muhammad. Menarik apa yang ditulis Abdullah Bijad al Utaiby yang dinukil oleh K.H Mustofa Bisri. Abdullah Bijad menulis sebagai berikut: Adalah hak kita untuk marah karena rosul kita yang mulia dilecehkan, dan adalah hak kita untuk mengungkapkan kemarahan kita secara berbudaya seperti pemutusan hubungan perdagangan, namun jangan sampai kemarahan itu berkembang ke arah kekerasan dan pembunuhan. Jangan sampai memberi peluang orang-orang memasukkan racun dalam makanan. Tujuan kita harus jelas bukan marah sekedar marah. (Mustofa Bisri. 2010. Kompensasi.hal.267).
Dalam penafsiran penulis marah secara berbudaya bisa kita lakukan dengan cara bersikap adil terhadap film Innocence of Muslims. Adil dalam hal ini adalah menilai sesuatu peristiwa pasti ada sisi baik di samping sisi buruknya. Bagaimanapun juga ada segi positif yang ditimbulkan dari film tersebut. Segi positif ini harus menjadi bahan pembenahan diri kita. Misal, jika selama ini kita tak pernah secara hakiki mencintai Nabi Muhammad, kita hanya sering menyebut namanya dalam sambutan atau pidato agar terkesan agamis. Praktek kehidupan kita masih jauh dengan apa yang dicontohkan nabi.
Cara hidup kita masih bermewah-mewah, kita masih sering bertengkar sesama manusia karena beda agama, ras, dan suku, kita masih belum bisa mengalahkan ambisi diri kita sendiri. Jelas cara hidup seperti itu sangat bertentangan dengan cara hidup nabi yang sangat sederhana, mementingkan kepentingan umum, dan berlaku baik kepada setiap manusia tanpa pandang agama, ras, dan suku, seperti yang  diceritakan Al Quran dan Hadist. Kita belum 100% menyelami kehidupan Nabi Muhammad. Lisan kita bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah tapi kita tak tahu seberapa besar kesaksian kita berpengaruh terhadap praktik kehidupan kita sehari-hari.
Kalau begitu pantaskah kita membela nabi?. Sedangkan kita belum bisa benar-benar menjadikan Nabi Muhammad sebagai Uswah Khasanah (Contoh yang baik) dalam berbagai aspek kehidupan kita. Peristiwa film Innocence of Muslims selayaknya bisa  menjadi sebuah pengingat dan titik awal pembenahan sikap hidup kita, energi kemarahan dalam diri kita bisa kita rubah menjadi kamarahan yang reflektif yang mendorong pembenahan diri kita menjadi pribadi yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad secara lahir maupun batin. Dengan sikap seperti ini kemarahan kita akan lebih bermanfaat, bukan kemarahan yang tanpa tujuan. 

22-9-12 lewat tengah malam di kamar kost yang super sumuk :)

KULIAH FILSAFAT PERTAMA


Filsafat dan toleransi berfikir
Minggu kemarin adalah kuliah filsafat pertama yang saya jalani. Cukup mengasikkan. Dosen-dosennya mencerahkan. Semuanya berbeda dengan apa yang saya dapat saat di aliyah. Semoga saja dunia baru ini benar-benar akan mengantarkan saya kepada tujuan saya. Tujuan yang mungkin bagi sebagian orang agak aneh atau memang aneh. Tujuan menjadi manusia. Memangnya selama ini apakah saya belum menjadi manusia?. Menjadi manusia yang saya maksud adalah adalah bisa menjadi figur manusia yang paling manusia, manusia yang mengerti manusia, manusia yang memanusiakan manusia.
Ada beberapa kesan penting yang saya dapatkan ketika minggu pertama kuliah ini. Tetapi kesan yang paling berarti bagi saya adalah meneguhkan kembali prinsip untuk tidak menilai pemikiran atau pendapat kita adalah yang paling benar. Kenapa saya sebut peneguhan kembali?. Karena selama ini saya mempelajari sikap-sikap untuk tidak menang sendiri itu lebih dulu sebelum saya belajar secara formal di fakultas filsafat. Dari tulisan-tulisan gus dur, gus mus, cak nur dan lain-lain saya belajar untuk menghargai setiap pemikiran seseorang. Inilah mungkin sikap yang sangat sulit diterapkan pada diri kita semua. Kita cenderung selalu mengunggulkan diri kita diatas orang lain. Tak pernah ada toleransi berfikir. Semuanya ingin pemikirannya diakui sebagai sesuatu yang paling benar. Dan menurut saya akar semua masalah di indonesia adalah tidak adanya toleransi berfikir. Setiap kelompok ataupun individu selalu ingin manjadi pembicara bukan menjadi pendengar yang baik. Bahkan ketika kita mencoba menjadi pendengar kita keburu tidak terima, menyangkal ataupun sikap-sikap lain yang pada intinya kita tidak menghargai pendapat orang lain. Akibat ini semua adalah tidak adanya kompromi gagasan, semuanya berfikiran sempit. Semuanya mengandalkan ego berfikir masing-masing. Bisa kita bayangkan jika dalam taraf penyusunan gagasan saja tidak ada dialog atau kompromi antar kelompok atau individu maka bagaimana dalam taraf realisasi gagasan.
Mari kita sejenak beranologi, ada sebuah bunga mawar berwarna putih, lalu ada 2 orang kita suruh memberikan tanggapannya tentang bunga mawar tersebut. Orang pertama bicara bahwa bunga mawar putih adalah lambang kesucian cinta dan ketulusan pengabdian. Sementara itu orang kedua mengatakan bahwa bunga mawar putih adalah lambang kesucian hati seseorang ketika hendak menghadap tuhanya. Satu bunga mawar putih bisa memberikan arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa bunga mawar putih yang di deskripasikan oleh si a sebagai sesuatu yang salah, hanya karena si a berbeda pendapat dengan kita. Contoh tersebut hanyalah masalah kecil dalam kehidupan sehari-hari kita. Lantas bagaimana jika itu menyangkut realisasi tujuan kemajuan bangsa. Setiap orang punya pendapatnya tentang ketuhanan yang maha esa, setiap orang punya fersinya tentang keadilan sosial, setiap orang punya langkah-langkah yang berbeda untuk merealisasikan kesejahteraan sosial yang merata. Ini semua harus didialogkan. Tujuan kita sama yaitu membawa indonesia ke arah yang lebih baik. Tetapi kita mempunyai definisi yang bermacam-macam tentang kebaikan yang seperti apa yang cocok untuk indonesia. Disinilah letak urgent nya dialog, untuk mengutarakan semua definisi-definisi kita untuk mencari titik temu. Kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju jika kita tak pernah berfikiran terbuka terhadap setiap pemikiran orang lain. Disinilah filsafat mengajari untuk menghargai setiap pemikiran karena dari setiap pemikiran itu pasti ada sisi baiknya. Kita harus bisa menjauh dari sikap-sikap yang terkungkung pada sekat-sekat SARA. Kita harus bisa berfikiran bebas dalam artian yang positif. Kita harus terus belajar-belajar dan belajar. Tidak ada atau belum ada sesuatu yang final. Semuanya harus terus kita pelajari. Dengan begitu semoga kita bisa menjadi individu yang berfikiran terbuka terhadap semua gagasan, menghargai setiap gagasan, mengahrgai proses dialog. Menarik meresapi kata-kata dari kh mustofa bisri
Kebenaran kita kemungkinan salah
Kesalahan orang lain kemungkinan benar
Hanya kebenaran Tuhan yang benar.benar-benar.

Filsafat dan kemandirian berfikir.
Seorang filsuf sejati haruslah bisa merumuskankan filsafatnya sendiri. Kalimat itu adalah kesimpulan kedua yang saya dapat dari kuliah saya pertama minggu ini. Dalam dunia filsafat kita akan bertemu dengan sangat banyak gagasan-gagasan dari filsuf-filsuf besar. Bagaiamana kita menyikapi gagasan-gagasan itu adalah salah satu sikap yang akan menentukan jalan fikiran kita kedepannya. Menarik yang saya dapat minggu ini. Saya menyebut ini sebagai sebuah kemandirian berfikir. Apa itu kemadirian berfikir. Dalam konsep saya kemandirian berfikir adalah sikap untuk melakukan filteriasi terhadap pendapat-pendapat filsuf. Kita tidak harus atau bangkan tidak boleh selalu setuju dengan gagasan seoarang filsuf. Kita harus bisa berposisi berlainan. Dengan sikap seperti itu kita akan mengkritisi setiap gagasan filsuf dalan selanjutnya kita akan bisa menciptakan filsafat menurut diri kita sendiri. Jadi berbeda pendapat dengan sebuah pemikiran adalah sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan. Tujuanya agar kita bisa memiliki kemandirian dalam berfilsafat. Setiap gagasan filsuf ada baik dan juga ada buruknya. Kita harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk menurut kita. Dan selanjutnya kita bisa berfilsafat menurut diri kita sendiri. Dan ini tidak mudah semoga saya bisa.

10-9-2012  Dikamar kost tercinta

Kamis, 13 September 2012

Mahasiswa Baru dan Beberapa Pertanyaan



Bulan September ini Yogyakarta di penuhi dengan manusia-manusia baru. Siapa mereka? Mereka adalah mahasiswa baru berbagai universitas yang ada di Yogyakarta. Hampir semua universitas di Yogyakarta baik yang berstatus negeri maupun swasta awal September ini melakukan masa orientasi mahasiswa baru. Hal ini tidak terjadi hanya diwilayah Yogyakarta tetapi juga terjadi hapir di setiap daerah di Indonesia. Bahkan ada beberapa universitas yang memulai masa orientasi lebih awal yaitu pada pertengahan atau akhir Agustus.
Berdasarkan data yang penulis ambil dari Republika online  (3 September 2012) jumlah mahasiswa baru yang datang ke Yogyakarta tahun ini cukup banyak. Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) misalnya, tahun ini jumlah maba yang diterima kampus tersebut sebanyak 4.839 orang.Di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) jumlah maba 3.800. Universitas Islam Indonesia (UII) maba tahun ini 5.000 lebih mahasiswa. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun ini memiliki 9.000 lebih. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 7.000 maba tahun ini.
Ribuan siswa sekarang sudah berpindah status menjadi mahasiswa. Maha bukan lagi siswa. Maha adalah tingkatan tertinggi dalam strata kehidupan, orang yang telah bergelar maha seharusnya memang seseorang yang mumpuni dalam suatu hal. Misalnya mahaguru, maharaja dan lain-lain.Penulis tertarik dengan peryataan bapak Anies Baswedan dalam orasinya di depan mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada. Menurut pak Anies “gelar maha adalah sebuah gelar yang bisa diibaratkan hutang atau janji yang harus dilunasi. Lunasilah hutang gelar kemahaanmu dengan pengabdian pada republik tercinta.”
Euforia penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas tahun ini berlansung setelah kita semua rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus. Entah hal itu sebuah kebetulan atau memang agendanya setiap tahun akademik seperti itu. Bagi penulis yang juga mahasiswa baru UGM, waktu yang bersamaan antara pelaksanaan peringatan kemerdekaan dengan penerimaan mahasiswa baru adalah sebuah pertanda atau mungkin pengingat. Bahwa pemuda-pemuda yang tahun ini menjadi mahasiswa baru harus bisa melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Saya membayangkan bagaimana jika seluruh mahasiswa yang tahun ini masuk perguruan tinggi negeri maupun swasta semuanya melunasi janjinya dengan pengabdian untuk republik tercinta. Kemungkinan besar berbagai problem krusial yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita akan teratasi atau paling tidak bisa terkurangi kuantitasnya.
Setengah abad lebih perjalanan kita mengisi kemerdekaan. Adakah disana peran pemuda khususnya mahasiswa?. Berita-berita selama ini yang beredar di media tentang pemuda Indonesia adalah pemuda hedonis, pemuda tanpa prinsip yang mudah terseret arus negatif globalisasi. Mampukah para pemuda, mahasiswa baru berprinsip untuk selau berkontribusi pada negeri, tetapi tanpa harus menghindar dari arus globalisasi?. Mampukah para mahasiswa baru mengubah globaliasi menjadi sebuah sarana meraih kemajuan bukan momok yang menakutkan?.
Mampukah calon-calon intelektual muda republik ini untuk menjadi pemuda-pemuda baru, tidak lagi meniru kesalahan generasi pendahulu?. Republik ini butuh semua yang serba baru, intelektual baru, pemimpin baru, pendidik baru dan masyarakat baru yang akan membentuk republik baru. NKRI baru yang benar-benar ber-Ketuhanan yang maha esa dalam fakta, yang bisa mewujudkan kesejahteraan sosial bukan hanya dalam teori, bisa menghidupkan kembali panji-panji pancasila dalam kehidupan nyata. Semoga kita bisa berkontribusi bagi republik tercinta.

YOGYAKARTA 10 september 2012 di kamar morat-marit tercinta

Kamis, 23 Agustus 2012

KRAPYAK DAN SEBUAH DUNIA BARU #1


setelah 3 tahun hidup di jogja dan selalu melewatkan ramadhan di kota yang kata orang menjadi salah satu tujuan studi yang paling terpercaya kualitasnya. Tahun ini saya menghabiskan waktu-waktu ramadhan saya di Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Mulai 1 ramadhan sampai H-4 lebaran saya hidup di dunia baru, banyak hal yang saya dapatkan disana, banyak juga yg ingin saya tulis. Tapi sepertinya pertemuan saya dengan teman-teman unik waktu di pondok sayang sekali kalau tak terabadikan. Saya merasakan Banyak pelajaran dari teman-teman saya itu. Semakin banyak jenis manusia yang saya temui, secara teori harus semakin banyak yag bisa saya pelajarai dari mereka. Tetapi secara praktek semuanya tergantung saya. Bagaimana saya memaknai setiap detik pertemuan saya dengan orang-orang baru dalam hidup saya. Inilah mungkin yang disebut universitas kehidupan, dimana berbagai jenis manusia adalah ibarat fakultas yang jika dalam tingkat pendidikan formal kita hanya bisa memilih satu fakultas dalam satu waktu program studi. Tapi di universitas kehidupan kita bisa memilih sangat banyak ilmu dari berbagai fakultas dalam satu waktu program studi. 
Salah satu teman yang saya kenal di krapyak, benar-benar memberikan sengatan pengalaman sangat unik, walaupun sebenarnya teman-teman baru saya di krapyak memang secara umum sangatlah unik. Tepapi pengalaman beberpara hari hidup dengan teman satu ini memang membuat saya secara teori harus kuat dengan berbagai cobaan atau rahmat yang Tuhan kemas dalam bentuk cobaan dalam hidup saya nanti. Secara usia dia tak jauh dari saya, tetapi yang saya lihat dia adalah orang yg dengan cerita-ceritanya berhasil memperteguh saya pada dua prinsip pertama bahwa dalam banyak hal tentang kehidupan kita bisa menghadapinya dengan santai (baca:mengalir) tetapi kita harus tetap berpegang teguh dengan komitmen dan pripsip dasar yang kita yakini.
 Kedua, bahwa ekspresi dohiriyah (kegiatan fisik) itu tidak bisa memberikan gambaran secara pasti tentang kedalam seseorang dalam menghayati hidupnya. Bisa saja seorang pemulung itu lebih bisa menghayati setiap detik hidupnya daripada seorang mahasiswa UGM yang secara dhohir dipandang lebih mulia daripada seorang pemulung. 

Banyak sebenarnya yg ingin saya tulis tentang teman-teman saya, tapi sepertinya saya terlalu bodoh untuk lancar menulis. 

KEDIRI 18-08-12


Senin, 09 Juli 2012

CATATAN KECIL TENTANG GENERASI MUDA ISLAM


I.Fakta yang saya lihat

Globalisasi, itulah nama zaman dimana banyak kalangan meyakini sebagai suatu titik dimana sesuatu yang baik bisa berakibat buruk, tetapi sesuatu yang buruk juga bisa menguntungkan untuk beberapa orang. Zaman dimana sekat-sekat antar negara tebuka lebar, segala macam informasi bisa dengan dengan mudah dan cepat masuk kenegara lain. Hal ini memberikan pengaruh besar baik yang bersifat positif maupun negarif pada kehidupan generasi muda kita. Pengaruhnya dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan beragama. Pertama, anda semua akan saya ajak untuk melihat kehidupan beragama generasi muda Indonesia dalam pandangan saya, melalui beberapa fakta :
 #Fakta Pertama. Awal tahun 2011 ketika saya masih kelas dua madrasah aliyah. Terjadi sebuah diskusi sengit, saat itu ada dua orang teman dari adik kelas saya yang menginap di asrama sekolah kami. Mereka berdua adalah alumni Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo pimpinan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Usia mereka berdua sebaya dengan saya. Saat itu kami sedang ngobrol santai tanpa arah tetapi tiba-tiba salah satu dari kami ada yang menyingung masalah ideologi negara. Saat itu pembicaraan semakin menarik. Sebagian besar teman-teman saya mengatakan untuk memperbaiki Indonesia ideologi Pancasila harus diubah dengan ideologi Islam.
Saat itu dengan beberapa argumen saya tetap bertahan membela Pancasila sebagai ideologi yang pada hakikatnya digali dari nilai-nilai Islam yang diterjemahkan untuk masyarakat Indonesia yang plural. Dua teman dari Ngruki dengan nada tinggi berkata “ bahwa ideologi Pancasila bagaikan daging babi, jika seorang muslim setuju dengan ideologi Pancasila, nasibnya seperti seember daging sapi yang halal lalu diberi sesendok daging babi (baca: Pancasila) maka hukum memakan daging itu adalah haram. Jadi siapa yang meyakini Pancasila sebagai ideologi kafir hukumnya harus diperangi, karena jelas Pancasila bukan produk Islami” tegasnya diakhir pembicaraan. Karena diskusi ini terasa lebih sebagai sebuah debat kusir tanpa arah yang jelas saya pun akhirnya memutuskan untuk diam.
#Fakta Kedua. Sering media masa kita menampilkan sekelompok generasi muda yang menjadi anggota organisasi keagamaan garis keras. Bahkan pelaku-pelaku bom bunuh diri yang mengatas namakan jihad adalah generasi muda. Sikap keberagamaan mereka sudah di dasari oleh rasa benar sendiri. Kebenaran diri mereka sendiri yang mereka yakini maka dengan mudah mereka menghujat orang lain yang berbeda tafsiran tentang kebenaran. Bukan lagi ahlakul karimah, Rahmatan lil Alamain yang mereka bawa.
Apa yang terfikirkan dalam benak anda ketika mengetahui berbagai peristiwa dia atas? Bagaimana jika anda menganggap semua hal diatas sebagai sebuah kewajaran yang sudah lama terjadi? Bagi saya semua peristiwa diatas telah mengusik pikiran dan membuat suatu kegelisahan tentang masa depan kehidupan –khususnya kehidupan beragama- Indonesia yang akan datang.
#Fakta Ketiga. Tidak sulit kita temui berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan remaja, pergaulan bebas yang merajalela mulai dari kasus anak SMA yang memperkosa temannya. Anak mencuri uang orang tua, bahkan sampai yang melukan seks bebas dan bergelut dengan NAPZA. Sampai dengan gaya hidup westren hedonis yang dalam banyak hal bertentangan dengan moral Islam dan akhlak ketimuran.


#Analisis Pertama. Peristiwa pertama menunjukkan  betapa generasi muda kita yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan agama telah dididik untuk membenci negaranya sendiri. Bagaimana mungkin seoarang yang dilahirkan di Indonesia membenci Pancasila. Saya tidak mengajak untuk memuja Pancasila tanpa cela, seperti yang terjadi pada masa orde baru-nya Pak Harto. Tetapi bagi saya sikap yang berlebihan dengan hanya menilai bahwa sesuatu yang bukan produk Islam, lantas dianggap tidak Islami. Seperti halnya Pancasila.
Bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan,karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang emosional[1].
#Analisis Kedua. Menyadari bahwa masa menjadi generasi muda merupakan masa yang rawan, karena pada saat itulah mereka mulai mampu berfikir abstrak, dan mencoba menjelaskan beberapa hal yang kompleks, dengan emosi yang masih labil. Sebetulnya generasi muda dapat dikatakan tidak memiliki tempat yang jelas, mereka sudah tidak termasuk dalam golongan anak-anak dan belum dapat diterima ke dalam golongan orang dewasa. Generasi muda berada di antara anak dan orang dewasa. Biasanya masa ini terjadi antara rentan umur 14-17 tahun. Dengan adanya globalisasi tidak menutup kemungkinan masa rawan ini akan datang lebih awal.
Di tengah masa rawan ini generasi muda ingin menunjukkan eksistensinya. Salah satu saluran utnuk membuktikan eksistensinya adalah melalui organisasi keagamaan. Kurang mampunya organisasi Islam Washatiyah (Islam jalan tengah) seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mewadahi generasi muda tersebut dan kurang optimalnya peran orang tua dalam menanamkan tradisi keagamaan yang Washatiyah. Ditengarai sebagai penyebab generasi muda kita kebingungan mencari kiblat organisasi keagamaan dan akhirnya menjadi pengikut organisasi garis keras. Hal ini biasanya terjadi dalam taraf Perguruan Tinggi dimana organisasi-organisasi radikal mulai mencari pengikut dengan startegi kaderiasasi yang sangat bagus sehingga generasi kita banyak yang ikut di dalamnya. Pangkal dari semua ini adalah lahirnya sikap beragama generasi muda yang ekstrim atau radikal. Disadari maupun tidak organisasi-organiasi keagamaan yang bersifat ekstrem sangat mudah diterima oleh generasi muda yang menginjak masa pencarian jati diri, atau sesaat lulus dari SMA.
Ekstrimisme dalam kehidupan beragama dapat menimbulakn dampak berbahaya, karena agama juga melibatkan emosi yang bisa menjadi bernayala-nyala. Dan ini pada gilirannya merusak harmoni intra agama tertentu maupun antar agama. Karena itu Islam tidak menganjurkan sikap ekstrem sebaliknya sangat menekankan sikap jalan tengah washatiyah.[2]
Analisis Ketiga. Segala perilaku dalam fakta ketiga, terjadi karena generasi muda kita tidak mengetahui panduan moral yang jelas untuk menghadapi era globalisasi. Selain itu lagi-lagi dunia pendidikan seharusnya mampu mengoptimalkan peranya dalam membekali generasi muda dalam menghadapi era global.

II.Merumuskan Sikap

#Sikap pertama. Untuk meluruskan faham generasi muda tentang pancasila dan ideologi Islam. Menarik untuk mengikuti gagasan K.H Abdurrahman Wahid –Allahyarham- yaitu menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang berwatak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, dan lain-lain. Selain itu dalam MUNAS NU 1983 di Situbondo yang menghasilakn sebuah resolusi menarik. Pancasila sebagai dasar falsafah negara indonesia bukanlah agama, tidak dapat mengantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk mengantikan kedudukan agama, bahwa sila pertama pancasila mencerminkan konsep Islam tentang tauhid[3]. Saya rasa resolusi ini patut utnuk dijadikan pedoman dalam menentukan sikap tentang kedudukan ideologi pancasila dalam kehidupan masyarakat Islam khususnya.
#Sikap Kedua sebagai upaya membendung organisasi Islam garis keras antara lain upaya yang harus dilakukan adalah kembali meneguhkan ajaran-ajaran Islam yang moderat, tawasuth ala i’tidal dikalangan generasi muda. Jika organisasi garis keras sering mengadakan kajian-kajian kegamaan. Maka kita tandinggi juga dengan kajian-kajian yang lebih intens untuk mebina generasi muda agar tidak terjerumus kedalam ektrimisne beragama. Kita kembangkan cara-cara dakwah yang sesuai dengan Al Quran surat ke 16 ayat 125 “Ajaklah mereka kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauidzah hazanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
 K.H Mustofa Bisri memberikan analisis yang menurut saya pas untuk ayat ini. Ud’u, ajaklah tidak disertai maf’ul bih objeknya, seperti lazimnya fiil muta’addie. Para mufassir biasanya mengisi objeknya dengan an naas manusia (jadi –ajakhlah manusia kejalan Tuhanmu) menurut Gus Mus penambahan obyek manusia dirasa tidak perlu sebab kata-kata dijalan Tuhanmu sudah cukup jelas siapa yang harus diajak, yaitu mereka yang belum dijalan Tuhan. Mengajak yang belum ke jalan tuhan meski dilakukan dengan hikmah dan mauidzah hazanah.[4]
#Sikap ketiga. Globalisasi bisa menjadi racun yang sangat mematikan disatu sisi tetapi disisi lain juga bis amenjadi peluang emas yang sangat bermanfaat untuk masa depan generasi muda. Menarik untuk mencermati isi karya sastra yang berupa serat karangan pujangga jawa R.Ng. Ranggawarsita), yang salah satu isinya yang sarat nilai etis dan moral, sebagai berikut,
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, R.Ng. Ranggawarsita dikutip dari Ikhsan, 2010 :2)
 Inti dari salah satu bagian dari serat Kalatidha tersebut berfilosofi bahwa pada suatu saat nanti manusia akan menemui yang disebut sebagai zaman dimana telah terjadi kebobrokan moral manusia, zaman ini oleh Ranggawarsita disebut zaman edan. Pada dasarnya hati setiap individu ingin mengekang untuk tidak ikut dalam arus zaman edan. Namun, ketika seorang individu tidak ikut arus zaman justru malah tidak akan mendapatkan apa-apa, dan cenderung sengsara. Apabila seseorang tidak mengikuti arus zaman itu, maka akan dipandang aneh, dan tidak wajar, tetapi jika ikut arus sama saja dengan terjun ke lembah nista. Dalam suasana yang membingungkan inilah Ranggawarsita mengingatkan sekaligus memberi pilihan solutif yaitu dengan mengingatkan akan seruan Tuhan kepada manusia agar hati-hati serta selalu ingat dan waspada dalam menghadapi suatu peristiwa. (Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada). Saya menafsirkan bahwa zaman yang dimaksud dalam bait serat itu adalah zaman globalisasi sekarang ini.
Selain itu ada adagium yang mungkin sangat dikenal dikalangan warga Nahdatul Ulama yaitu memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al- aslah). Saya rasa adagium ini bisa dijadikan prinsip untuk filterisasi budaya dalam era globalisasi. Sehingga generasi muda kita bisa menjadikan globalisasi sebagai peluang emas untuk masa depan.
Sanggupkah generasi kita menerapkan beberapa sikap tersebut?


Yogyakarta 23-6-12
 di kamar kost yang selalu memunculkan keriunduan-kerinduan


Daftar Pustaka
Brilianto, Ikhsan. 2010.Artikel. Ketika Penjajahan Globalisasi Menghujam Nasionalisme Penentun Kemajuan bagi Anak Muda. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita edisi digital. Jakarta: Democracy Project, 2011
Idahrah, Syaikh. Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011
Bruinessen, van Martin. NU Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: Lkis, 1994
Bisri, Mustofa. Kompensasi. Rembang: Matar Air, 2006



[1] Negara Berideologi Satu Bukan Dua dalam Abdurrahman Wahid: Islamku, Islam Anda, Islam Kita edisi digital, (Jakarta: Democracy Project,2011), hlm.91.
[2] Ekstremisme Wahabi dan Islam Washatiyah. kata pengantar Azyumardi Azra dalam Syaikh Idahram: Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2011),hml.22.
[3] Pancasila sebagai Asas Tunggal dalam Martin van Bruinessen: NU Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS,1994), hlm.121-122.
[4] Dakwah dan Amar Ma’ruf dalam Mustofa Bisri: Kompensasi, (Rembang:Mata Air,2006),hlm 145-146.