Kaca
rias itu masih berdiri tegak di pojok ruangan. Meja kecil di depanya terlihat
berantakan. Lipstik, bedak dan berbagai alat rias tercecer di meja itu.
Tampaknya memang tak ada yang berubah sejak 30 menit yang lalu.
Disamping
meja rias itu, pintu kamar mandi terbuka lebar. Kran terbuka kecil dan suara
gemericiknya air yang mengucur ke bak mandi benar-benar terdengar. Seorang
laki-laki tergolek lemah diatas ranjang. Badanya setengah ditutup selimut.
Rambutnya yang ikal, acak-acakan. Mukanya terlihat sangat lelah dan lesu
walaupun sekarang dia sedang tertidur. Kedua tanganya terbuka lebar. Seolah dia
habis melepas pelukan seseorang.
Diujung
ranjang sepasang sepatu kulit berwarna coklat, berjajar. Di ujung belakangnya
ada tulisan kecil made in Manding. Parangtritis. Tak jauh dari sepatu itu
sepasang kaos kaki yang juga berwarna coklat, namun agak tua, tergletak juga.
Dua langkah dari kaos kaki itu, celana jeans dan kemeja batik berwarna merah
tertumpuk acak-acakan. Dekat tumpukan itu ada dua biji kancing baju yang lepas.
Dari model tumpukan bajunya, semalam
laki-laki itu pasti melepas bajunya dengan tergesa-gesa.
Dua
pasang meja kecil dari kayu jati berjajar di kiri dan kanan ranjang. Ukiranya yang
rumit, dan detailnya yang halus, bisa dipastikan ranjang dan dua meja kecil itu
di pesan dari daerah Jepara. Dua botol bir berdiri, sementara satu botol lagi
rebah, diatas meja kecil bagian kanan. Dari ujung botol yang rebah sisa bir
menetes pelan. Ada dua gelas kecil yang sekarang sudah tak sempurna lagi
bentuknya. Pecah 30 menit yang lalu.
Pecahan
gelas kaca itu menyebar di lantai, beberapa serpihanya juga terlihat masuk
dibawah kolong ranjang. Warna lantai yang putih bersih, memantulkan
langit-langit kamar. Sebuah lampu gaya kuno bergantung di tengah langit-langit
kamar. Di beberapa detail lekukan lampu hias itu, laba-laba membuat
jaring-jaring sarangnya. Dari ujung detail ukiran lampu satu ke detail ujung
yang lain. Mengelantung-gelantung, serat-serat putih. Melihatnya sekilas bagaikan
sobekan-sobekan awan kecil yang tersangkut.
Lelaki
yang terbaring ditutupi selimut itu tetap pada posisinya. Begitu juga kamar
itu. Tak ada yang berubah. Hanya terlihat dua ekor cicak yang tadi di ujung
langit-langit diatas kusen jendela kini telah beralih tempat. Setelah melihat
seekot nyamuk yang terbang ke arah balik almari. Bergegas kedua cicak itu pun
mengejar nyamuk itu. Entah bagaimana nasib nyamuk itu nanti dibelakang almari.
Udara
dingin yang lalu menyisakan embun-embun
udara di kaca jendela. Bau alkohol yang memenuhi kamar sedikit demi sedikit
keluar lewat jendela. Udara pagi mulai masuk kamar, mengeser sisa-sisa udara
malam tadi yang penuh bau alkohol.
***
Laki-laki
yang terbaring ditutupi selimut itu tetap dalam posisinya. Diatas kasur. Hanya
sekarang kedua tanganya mengatup di dada. Seolah memeluk sesuatu entah apa.
Mukanya yang tadi terlihat sangat lesu dan lelah. Kini berubah. Di bibirnya
telah tersunging senyum tipis. Raut mukanya seperti sedang gembira. Bibirnya
yang tipis semakin indah dengan rambut-rambut kumis yang tumbuh jarang-jarang.
Bentuk kumis itu sudah terlihat, tetapi tak lebat.
Matanya yang tadi tampak menyembunyikan tidur
yang resah kini berubah. Walaupun sang mata tetap tertutup. Matanya kini
menelan kenikmatan yang maha nikmat, entah kenikmatan apa itu. Hidungnya yang
mancung, benar-benar berfungsi memberikan efek sangat indah pada wajah
laki-laki itu. Bulu-bulu hidunya terlihat sedikit. Kaki laki-laki itu jenjang.
Selimutnya tak menutupi semua bagian tubuhnya. Dua kaki jenjang itu ditumbuhi
bulu-bulu kaki tipis.
Laki-laki
yang terbaring di atas ranjang itu tetap pada posisinya. Entah kenikmatan macam
apa yang membuatnya benar-benar terbaring tak sadarkan diri. Sampai kapan tidak
ada yang tahu. Kenikmatan macam apa yang bisa bertahan abadi?.
***
Di
luar kamar kota telah berubah kelabu. Laki-laki itu tetap saja tak berubah dari
posisinya. Cahaya hanya seakan menelan segalanya, dan hanya terasa redup. Semua
terasa setengah-setengah, antara terang dan tidak. Kelabu.
Jalanan
masih sangat penuh dengan kendaraan. Orang-orang berangkat ke pasar. Beberapa
gelandangan terlihat terkapar di bawah tiang lampu jalan. Motor-motor saling
beradu kecepatan. Di ujung jalan pada perempatan itu. Beberapa mobil terlihat
saling terjang, mencari posisi paling depan.
Di
ujung jalan dekat taman bunga dan patung kijang yang berdiri. Aku melihat
diriku berjalan, pelan saja. Menghabiskan waktu. Menikmati suasana kota yang
semakin kelabu. Orang-orang di kota ini sudah lupa waktu. Malam, siang, sore,
pagi, semua terasa sama saja. Disini yang paling kuasa hanya kelabu. Sebuah
komposisi warna yang aku tak tahu tersusun dari apa.
Aku
masih berjalan. Dan melihat di ujung sana ada dua pemuda yang bertengkar,
merebutkan sebungkus nasi. Sementara diseberang jalan, beberapa orang menyantap
hidangan, dengan rakus. Badan orang-orang itu sudah tak berbentuk. Perut mereka
membuncit. Lidah selalu menjulur-julur, mengeluarkan liur yang kental. Mata yang
memerah. Di kota ini semua orang sudah tak tahu kapan harus tertidur.
Tiba-tiba
saja mataku memandang jendela yang terbuka di lantai 3 sebuah apartemen. Aku
mulai menduga-duga apa yang sedang terjadi di kamar itu. Mungkinkah ada sebuah
keluarga yang sedang bercengkrama. Menonton televisi sambil mengamati tangis
bayinya di ranjang. Mungkin juga, ada sepasang kekasih yang sedang bercinta.
Atau mungkin juga ada seorang pemuda sedang sendiri,membaca buku ditemani
secangkir kopi. Yang tak ia sadari sudah dingin ketika pertama di tuangkan ke
dalam cangkir.
Aku
terus menerka. Bergerak dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Dan aku tak
sadar sudah terdiam. Berdiri di dekat pohon cemara. Dengan mata yang tetap
memandang ke atas. Melihat jendela yang terbuka di sebuah apartemen di ujung
jalan itu.
Laki-laki
yang tertidur dengan senyum merekah itu belum juga berdaya. Ia tetap terlentang
dengan tangan terbuka. Dua cicak yang tadi mengejar nyamuk di balik almari.
Telah kaku, mati, ternyata ada nyamuk yang sangat besar di balik almari itu.
Dan sang cicak terhisap darahnya habis. Bangkainya tinggal rangka. Dan terjatuh
dibawah almari. Sontak
saja beberapa semut mengerubuti bangkai itu.
***
Laki-laki
itu mulai berdegup jantungnya. Terlihat bulu-bulu dadanya yang tak ditutupi
selimut bergetar-getar.
Dua
petugas apartemen mendekat dan berbincang di depan kamar laki-laki itu.
“
siapa, yang berada di kamar itu?, dia tak pernah keluar kamar”
“
aku tak tahu, tanya saja resepsionis”
“
kira-kira apa yang ia lakukan sendirian di kamar berhari-hari”
“
mungkin menjelajah dunia maya”
“
tapi bukankah itu membosankan”
“
ah aku tak tahu, itu juga cuma perkiraanku
Setelah
meluruskan letak lukisan yang agak miring di dinding lorong apartemen itu. Dua petugas
tadi pergi. Dan yang tersisa di lorong itu tinggal sunyi, sepi.
Aku
masih terduduk dibawah pohon cemara. Dan tak henti-henti menerka-nerka apa yang
sedang terjadi dalam kamar itu. Kota tetap saja kelabu. Di tempat sampah
terlihat tumpukan jam tangan, jam dinding, dan segala hal yang berhubungan
dengan waktu. Semua orang di kota ini telah membuang peralatan itu ke tempat
sampah. Bahkan banyak yang memusnahkanya dengan dibakar atau di kubur dalam
tanah.
Bantul
14-07-13-Sleman 05-03-2014 danang tp