Belum cukup mengoyang masyrakat indonesia dengan lagu-lagu
dangdutnya. Raja dangdut kita tak ingin hanya bisa menguasai dunia permusikan
dangdut yang dalam titik tertentu dianggap musik yang paling mewakili kondisi
psikologis rakyat jelata negeri ini. Rupanya, abah dangdut kita rhoma irama,
juga ingin memimpin rakyat-rakyat jelata negeri ini, yang jumlahnya pun tak
kepalang banyaknya. Kita selayaknya juga berbaik sangka terhadap niat mulia
abah dangdut kita itu. Kalau kita mau sedikit menghayati lebih dalam
makna-makna dalam lagu-lagu beliau, kita bisa menduga bahwa abah kita itu ingin
mengaktulisasikan syair-yiar lagunya. Semisal lagu Glandangan yang menceritakan
mirisnya kehidupan para glandangan di negeri ini. Langit sebagai atap rumahku/ dan bumi sebagai lantainya/ hidupku
menyusuri jalan/ sisa orang yang aku makan. Mungkin salah satu niat abah
dangdut itu adalah untuk membebaskan anak-jalanan dari kehidupan yang penuh
kesulitan menuju kehidupan berkesejahteraan sosial yang pas. Lalu bagaimana
jika itu nanti tercapai, bukankah secara tidak langsung lagu anak jalanan karya
beliau itu juga harus dihapus karena tidak sesuai dengan fakta dilapangan?.
Sebenarnya kita tidak memiliki hak sejumputpun untuk
menerka-nerka niat orang lain dalam melakukan perbuatan. Termasuk menerka niat
abah rhoma untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Kebiasaan menerka niat
orang lain akan membuat kita jatuh pada lembah duga-menduga atau spekulasi yang
dalam ukuran moral dan akhlak itu sangat dilarang. Apalagi jika menerka niat
orang lain bisa membawa kita pada sikap berprasangka buruk, yang pada akhirnya
akan memper-ruwetkan hidup kita sendiri. Menerka niat saja tida boleh, apalagi
kita dengan analisis yang begitu ndakik-ndakik,
dengan legitimasi paling ilmiah sekalipun menetapkan niat seseorang. Biarkan
wilayah per-niatan menjadi tangung jawab masing-masing pribadi dengan Tuhanya.
Terlepas dari niat apa yang mendasari abah rhoma
mencalonkan diri sebagai presiden. Ada cerita yang sepertinya dalam ukuran
saya, perlu dibagikan pada suadara-sudara sekalian. Kemarin 31 desember saya pulang ke kediri. Kampung saya desa
Gondang adalah desa yang mulai tersentuh industrialisasi dan gaya hidup modern
kaum perkotaan yang identik dengan minimarket, rumah-rumah model joglo dengan bale yang luas sudah digantikan dengan
rumah gaya spanyolan dengan tiang-tiang besar yang dalam beberapa titik
sepertinya lebih menekankan pada aspek keidahan untuk bisa dinikmati oleh orang
yang lewat di depan rumah daripada aspek fungsionalnya sebagai tempat berteduh
pemilik rumah. Inilah gaya kebudayaan modern dengan gemerlap aspek-aspek yang
dapat dilihat manusia saja.
Pada saat itu saya bincang-bincang dengan tetangga saya
yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dalam standar ekonomi di desa, tetangga saya itu bisa kita masukan dalam
kategori orang yang berkemampuan ekonomi menengah kebawah. Tetapi dalam
standart ekonomi global saya tidak tahu tetangga saya itu masuk kategori apa,
atau tak ada kategori bagi tentangga saya itu. Kok ya saya yakin tak ada
kategori bagi tetangga saya dalam standar ekonomi global, tetangga saya dengan
menjadi pembantu rumah tangga tak tentu, dengan penghasilan mungkin sehari 30
ribu - saya tak yakin- , tetapi beliau bisa senyam-senyum setiap hari, bisa
mengajak anaknya ke warung, bisa tetap ngelukke pawonan, entah karena menenak
nasi atau hanya membakar kayu atau sampah. Dan ekonomi global tak pernah
mencatat keberadaan orang-orang semacam tetangga saya itu, biarlah memang itu
kebodohan manusia dengan tatanan ekonomi yang katanya modern, tetapi hanya bisa
mengukur standart ekonomi berdasar angka-angka, apakah yang selain angka
seperti, kebagiaan, ketenangan dan ke-sumeleh-an itu bukan modal ekonomi?.
Kembali pada inti persoalan. Tetangga saya itu setelah
bincang-bincang ngalor-ngidul dengan
saya, ada kata-kata beliau yang mengusik saya. Berikut petikan dialognya:
Tetangga: “jerene
rhoma irama arep nyalon presiden?”
Saya:” iyo bek* “
Tetangga: “wah lek
aku nduwe nomer hp ne rhoma irama, arep tak telpon, wes pak rausah nyalon
presiden diguyu gurem karo rayap”. (dengan raut muka bercanda dan mimik
yang khas rakyat kecil melepas kesumpekan)
Saya: “hahahaha”
(saya tertawa lepas, tebahak-bahak)
Tetangga: “mbok yo
uwes dadi penyanyi wae, wes dadi raja dangdut kok yo sek kurang wae “
Saya: masih melanjutkan menahan tawa
*bek
adalah sebutan orang yang lebih tua kalau dalam bahasa indonesia bibik, tapi
penyebutan bek ini tidak harus ada hubungan darah bibik, karena di desa saya
semua orang perempuan yang umurnya sekitar 30-45 tahunan disebut bek.
Saya tak bisa membayangkan andaikan dialog itu terjadi
antara orang-orang penting di negeri ini. pasti sangatlah fenomenal kata-kata
tetangga saya itu ketika diucapkan oleh pengedhe
negeri ini. Dan kata-kata itu adalah sarapan
paling mengiurkan bagi para wartawan. Tetapi ya karena dialog itu terjadi
antara sesama orang kecil yang sefenomenal apapun wartawan juga tak akan
bernafsu meliputnya. Memang bangsa ini sudah terbiasa dalam lakon perjalanan
sejarahnya mematikan punokawan, limbuk (tokoh wayang yang mencerminkan rakyat
jelata). Bangsa ini berusaha menghidupkan gatotkaca, janaka, rama, tetapi
nafsu-nafsu yang dihempaskan dasamuka malah menjadikan semunya tidak tuntas,
menjadi gatotkca tidak, menjadi janaka juga tidak apalagi menjadi rama, entah
dalam lakon selanjutnya kita beri nama apa mahluk ini.
Kembali pada diloag saya dan tetangga. Jika kita coba
menafsirkan secara sedergana isi dialog tersebut dengan cara mengambil pesan
utama dari dialog. Dialog tersebut hendak menyampaikan pesan bahwa rhoma irama
jika akan mencalonkan sebagai preseiden, gurem dan rayap pun akan tertawa.
Mungkin belum banyak yang mengetahui sebenarnya gurem dan rayap ini mahluk dari
bangsa apa. Ini adalah dua jenis hewan yang biasanya dalam dunia perhewanan
kurang begiru diperhatikan karena ukuranya yang begitu kecil. Rayap sejenis
hewan pemakan kayu yang biasanya hidup di kayu-kayu yang sudah kropos, mungkin
hewan ini lebih populer daripada gurem. Gurem itu adalah hewan yang amat kecil,
lebih kecil dari rayap saya sendiri belum pernah melihat gurem. Dilingkungan
desa saya, masyarakat mengatakan gurem hidup di badan bebrapa jenis hewan
seperi ayam, anjing, dan kucing, gurem ini akan menghisap darah hewan yang
dihinggapinya, jadi gurem ini semacam kutu.
Bagi saya gurem dan rayap adalah representasi dari rakyat
kecil kita, gurem dan rayap adalah rakyat kecil yang keberadaanya kian hari
semakin tidak dianggap. Jadi kita bisa menerka maksut tetangga saya bahwa jika
abah roma mencalonkan diri sebagai preseiden maka lapisan terbawah bangsa ini
yaitu rakyat kecil akan tertawa ngakak.
Jangan-jangan rakyat kecil kita memang butuh presiden yang
sekaligus dagelan . mungkin juga.
Tetapi apakah kita tidak capek setiap hari tertawa, setiap hari melihat ketoprak plesetan gartis. Lho Kapan kita
melihat ketoprak plesetan gratis??. Lho
lha bukanya orang-orang nDuwuran
di negara kita ini pemain ketoprak semua, akting semua. Ada yang bagian jadi
orang baik, ada yang bagian jadi koruptor, ada yang bagian jadi tersangka, ada
yang bagian jadi penegak hukum, ada yang bagian jadi pembela HAM, ada yang
bagian nonton film sama mencipta lagu, dan ada pula yang bagian jadi Tuhan
mengeluarkan faktwa-fatwa bagai ayat-ayat Tuhan. Lho lalu siapa yang bagian jadi presiden?.
Tapi yang namanya
akting nanti ya dibelakang pangung honornya tetap dibagi sama- rata. Lalu
apakah penonton seperti kita ini dapat bagian, wah itu urusan nanti.
Atau jangan-jangan
aku danang yang nulis tulisan ini, kamu, dan kita semua juga termasuk dalam
pemain ketoprak itu, jangan-jangan kita selama ini juga akting. Lalu
jangan-jangan negara ini juga cuma pangung ketoprak
plesetan.
Yogyakarta 04.01.2013
sore yang grimis