-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Senin, 30 Juni 2014

BERTUHAN DI UJUNG BATAS SEPI KOSMOS (Ringkasan dan Tanggapan atas BAB 2 Filsafat Agama Einstein, karya Max Jammer)


Dia yang berilmu dan berseni
Maka dia pun beragama
Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni
Maka baiklah jika dia beragama!
__Sigmund Freud___

Para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam sebuah gedung besar. Pagi itu di luar salju turun ragu-ragu, awal musim dingin mulai datang, lamban. Kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan. Tapi tidak dengan para ahli fisika itu, mereka berdebat, berdiskusi, sementara salju turun lamban tapi pasti di luar ruangan.
Peristiwa tersebut terjadi pada 1927 di salah satu kota di eropa. Kebetulan saya lupa nama kotanya. Akan tetapi saya benar-benar teringgat sebuah kalimat yang terlontar dalam diskusi para ahli fisika tersebut. Mereka para ahli fisika – Max Planck, Pauli, dan Heisenbergh - sedang membahasa tentang Einstein, teoritikus fisika terbesar abad ini. Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang terlalu sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceremahnya. Kata Einstein, “aku ingin membaca pikiran tuhan”, “tuhan tidak bermain dadu” Lalu bagaimana para ilmuwan harus menyikapi kelakukan Einstein tersebut? Setelah perdebatan senggit akhirnya Pauli mengatakan –kata-kata inilah yang saya ingat-:
 “ Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes
***
Saya tidak tahu kenapa, begitu akan mengerjakan tugas Filsafat agama tentang Einstein, tiba-tiba saja teringgat cerita tentang kejadian tersebut dan kata-kata dari Pauli. Akan tetapi, ketidaktahuan saya sedikit menemu titik simpulnya ketika selesai membaca bab Filsafat Agama Einstein. Baiklah titik simpul tersebut akan coba saya urai dalam tulisan ini.
Pada intinya kosmologi adalah sebuah bidang yang sangat menarik. Bidang tersebut secara langsung beririsan dengan teologi, ilmu fisika, kimia, dan filsafat. Penyelidikan fisika yang ditarik pada konsepsi abstrak teoritikal akan menemu ujungnya pada filsafat tentang kosmos atau kosmologi. Setidaknya itulah yang telah dilakukan oleh Einstein.
Pada ujung penarikan fisika pada konskuensi paling jauhnya, bisa saja  juga akan bertemu dengan teologi. Bisa juga tidak bertemu dengan apa-apa, hanya ada ruang kosong kosmos. Hampa. Tak bisa lagi disimbolkan dengan bahasa matematika. Ilmuwan harus berhenti. Alam sudah tidak bisa ditembus lagi. Lalu alam akan mengajak ilmuwan menyadari keterbatasan dirinya sebagai manusia, yang bertentangan dengan kehendaknya yang selalu ingin menembus batas kosmos.
 Alam mengajak ilmuwan masuk ujung paling sepi dari semua kerja kerasnya menteorikan alam. Batas sudah sangat menajam, ilmuwan harus berhenti tertunduk, dan mungkin meneteskan air mata. Einstein telah sampai pada titik ini sehingga ia pun berkata “ alam adalah misteri”. Hal tersebut tentu akan sangat berpengaruh bagi pandangan Einstein tentang agama. Karena sekali lagi, kosmologi adalah ilmu yang beririsan salah satunya dengan teologi.    
Maka, Sebagai ilmuwan Einstein menolak konsepsi agama tentang tuhan yang Antroposentris. Einstein melihat ide tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme. Pada intinya seperti alam, tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa manusia. Kenapa? Karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=mc2. Itupun tidak juga menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan tuhan tetap misteri yang tak akan pernah terungkap tuntas.
Kita melihat faramorgana disiang hari sebagai cakrawala batas terdekat kita, tapi begitu kita mendekat batas itu menjauh. Hanya itu yang bisa dilakukan manusia, berjalan lamban mendekati batas dengan niat menembus batas, akan tetapi kita ternyata hanya bergerak sedikit saja, dan di depan akan ada batas lagi yang menyambut.
Einstein meyakini agama yang ia sebut sebagai agama kosmis. Tentu agama tersebut adalah agama dengan tuhan yang tidak bisa dilukiskan. Agama yang menumpu pada religiusitas penghayatan manusia atas alam sebagai sebuah mistri terbesar. Agama yang merupakan titik kulminasi paling ujung dari penyelidikan ilmiahnya atas alam. Pada titik itulah alam memaksanya bertuhan. Berikut kata Einstein :
“ dalam hukum-hukum alam termanifestasikanlah eksistensi roh yang lebih superior terhadap diri manusia, dan bila seseorang berhadapan dengannya, kita dengan seluruh kekuatan kita seharusnya merasa rendah dan hina”
Kalimat itu bagi saya adalah sebuah kalimat yang bernada penyerahan diri. Kalimat yang tidak jauh beda dengan perkataan Pauli pada sebuah seminar di eropa. Kalimat penyerahan diri pada batas kesepian kosmos, dimana ilmuwan sebagai manusia biasa harus benar-benar tunduk dengan kenyataan bahwa alam, bagaimanapun juga tetaplah misteri agung yang tak tertuntaskan.
Penyangkalan Einstein tentang tuhan personal, adalah juga penolakanya terhadap agama-agama ibrahimiah. Akan tetapi yang harus difahami, bahwa Einstein menolak tuhan personal bukan dalam rangka sebuah argumen ateisme. Setelah memperolah wawasan luas tentang hubungan sebab –akibat, Einstein selalu menolak dikatakan ateis. Kata Einstein “ bahwa yang membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal tuhan, mengunakan argumenku untuk mendukung pandangan mereka”
***
Einstein adalah seorang yang bertuhan dengan mengalami dan menghayati penyelidikanya akan kosmos. Sebuah cara bertuhan yang naturalistik. Kosmos membawanya pada sebuah kenyataan tentang batas pengetahuan manusia dihadapan misteri kosmos. Dia tertunduk di ruang sunyi dari ujung penyelidikanya tentang kosmos, yang tidak bisa tertembus lagi. Mau tidak mau manusia harus bertuhan jika telah dihadapkan pada ruang sunyi tersebut.  
Pada akhirnya, perjalanan Einstein, dengan kerja keras yang maha yang telah mengantarnya dengan E = mc2 menjadi teoritikus terbesar abad ini. Kerja tersebut adalah sebuah gerak yang di dorong oleh rasa religiusitas yang meletup-letup, seperti kata Einstein  “religiusitas adalah ruh dari sains”. Maka pertemuanya dengan tuhan adalah pertemuan dengan jalur sains yang tidak bisa dilukiskan.
Pertemuan dengan tuhan di ujung batas kosmos dimana bahasa matematika tidak lagi berguna. Dan menjadi benar kata Manggunwijaya “ kata membunuhmu ruh menghidupkanmu”, dan pada batas sunyi kosmos semoga “ kita tidak dipaksa meneteskan air mata”, seperti kata Pauli. 

BELAJAR FILSAFAT


Beberapa waktu yang lalu, ketika ada seorang pendidik yang berkata filsafat itu tetap sesuatu yang membahayakan. Pada intinya agama harus benar-benar dipegang teguh. Pendidik itu meragukan manfaat belajar filsafat. Pun akhirnya kami dipaksa juga bertanya pada diri kami sendiri.
Sekiranya apa yang beliau maksud dengan filsafat? Pada bagian mana filsafat itu membahayakan? Aksiologi-kah? Metafisika-kah? Atau epistemology-kah? Apakah filsafat harus selalu dipertentangkan dengan agama? Bagian filsafat mana yang harus dipertentangkan dengan agama? Pertanyaan kami pun mengkrucut pada persoalan yang lebih sempit. Dengan posisi pendidik tersebut sebagai lulusan magister apakah tidak pernah belajar filsafat ilmu? Pada akhirnya juga pertanyaan –pertanyaan tersebut hanya kami pendam sendiri.
Kami tidak juga memunculkan pertanyaan kami pada pendidik tersebut, yang memang saat mengutarakan itu posisi beliau adalah mitra bicara kami. Bukan karena takut. Lebih karena kesadaran filsafat tidak akan pernah bisa diringkas jelaskan, akan tetapi tidak berarti filsafat itu rumit. Semuanya hanyalah soal waktu. Filsafat menuntut dan meminta waktu pada kita untuk dipelajari, dialami, , dan dirasakan.
Tapi akhirnya kami dihantui rasa miris, lebih pada posisi beliau sebagai pendidik yang mempunyai peran besar menghasilkan siswa-siswa yang berpengetahuan luas dan bersifat terbuka. Juga karena usia beliau yang cukup tua dan menyandang gelar magister yang secara umum pasti sudah memepelajari filsafat.
 Bisa jadi apa yang dikatakan beliau tentang filsafat sebagai ilmu yang terkesan negative hanyalah untuk menguji tekad dan kemantapan kami dalam jalan filsafat. Jika memang begitu, tentu gayung bersambut dengan harapan kami “ agar diberi kelempangan dan kemantapan dalam jalan filsafat”.
Akan tetapi jika tidak demikian. Tentu itu sebuah bencana, bagi siapa? bagi masa depan pendidikan kita. Kami tidak bisa membayangkan jika pendidikan kita digerakkan oleh orang-orang yang mempunyai prasangka buruk terhadap suatu ilmu pengetahuan. Kemungkinan besar –bisa juga kemungkinan ini mleset- orang yang akan dilahirkan dari pendidikan yang penuh pransangka terhadap ilmu, adalah orang-orang yang tertutup dalam berfikir. Merasa cukup dengan hanya digerakkan oleh dugaan-dugaan yang belum tentu benar. Merasa tidak perlu lagi belajar, membaca dan melakukan penyelidikan lebih dalam.
Tapi lagi-lagi kami dipaksa memahamkan diri kami sendiri, bahwa “bayang-bayang” tentang filsafat pada masyarakat luas sudah begitu mapan. Maka asumsi kami, untuk menjelas terangkan apa dan bagaimana sebenarnya belajar filsafat harus dengan kesabaran, kerendahan hati, dan kemulusan tutur kata yang maha.
Kami teringgat ujaran Prof Alois Agus Nugroho, “ untuk menjadi filsuf atau paling tidak pendidik filsafat, yang diperlukan adalah kerendahan hati”. Beliau Prof Agus mencontohkan, Ludwig Witgenstein, terlalu tinggi hati dan berpegang seolah keyakinanya paling benar pada periode pertama pemikiranya. Sehingga menyatakan bahasa yang tidak ada referensi empirisnya dalam dunia nyata tidaklah bermakna, maka batas bahasa adalah batas dunia. Yang jelas pemikiran itu kemudian harus ditolaknya pada periode pemikiran kedua. Maka dari kasus tersebut rendah hati dalam menyampaikan segala hal adalah sesuatu yang penting, khususnya dalam filsafat yang memang coba terus-menerus kami geluti.