Dia
yang berilmu dan berseni
Maka
dia pun beragama
Tapi
dia yang tak berilmu maupun berseni
Maka
baiklah jika dia beragama!
__Sigmund Freud___
Para
ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam sebuah gedung besar.
Pagi itu di luar salju turun ragu-ragu, awal musim dingin mulai datang, lamban.
Kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu
disambut dengan kemalasan. Tapi tidak dengan para ahli fisika itu, mereka
berdebat, berdiskusi, sementara salju turun lamban tapi pasti di luar ruangan.
Peristiwa
tersebut terjadi pada 1927 di salah satu kota di eropa. Kebetulan saya lupa nama
kotanya. Akan tetapi saya benar-benar teringgat sebuah kalimat yang terlontar
dalam diskusi para ahli fisika tersebut. Mereka para ahli fisika – Max Planck,
Pauli, dan Heisenbergh - sedang membahasa tentang Einstein, teoritikus fisika
terbesar abad ini. Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang
terlalu sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceremahnya. Kata
Einstein, “aku ingin membaca pikiran tuhan”, “tuhan tidak bermain dadu” Lalu
bagaimana para ilmuwan harus menyikapi kelakukan Einstein tersebut? Setelah
perdebatan senggit akhirnya Pauli mengatakan –kata-kata inilah yang saya ingat-:
“ Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran
dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah
kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes”
***
Saya
tidak tahu kenapa, begitu akan mengerjakan tugas Filsafat agama tentang
Einstein, tiba-tiba saja teringgat cerita tentang kejadian tersebut dan
kata-kata dari Pauli. Akan tetapi, ketidaktahuan saya sedikit menemu titik
simpulnya ketika selesai membaca bab Filsafat Agama Einstein. Baiklah titik
simpul tersebut akan coba saya urai dalam tulisan ini.
Pada
intinya kosmologi adalah sebuah bidang yang sangat menarik. Bidang tersebut
secara langsung beririsan dengan teologi, ilmu fisika, kimia, dan filsafat.
Penyelidikan fisika yang ditarik pada konsepsi abstrak teoritikal akan menemu
ujungnya pada filsafat tentang kosmos atau kosmologi. Setidaknya itulah yang
telah dilakukan oleh Einstein.
Pada
ujung penarikan fisika pada konskuensi paling jauhnya, bisa saja juga akan bertemu dengan teologi. Bisa juga
tidak bertemu dengan apa-apa, hanya ada ruang kosong kosmos. Hampa. Tak bisa
lagi disimbolkan dengan bahasa matematika. Ilmuwan harus berhenti. Alam sudah
tidak bisa ditembus lagi. Lalu alam akan mengajak ilmuwan menyadari
keterbatasan dirinya sebagai manusia, yang bertentangan dengan kehendaknya yang
selalu ingin menembus batas kosmos.
Alam mengajak ilmuwan masuk ujung paling sepi
dari semua kerja kerasnya menteorikan alam. Batas sudah sangat menajam, ilmuwan
harus berhenti tertunduk, dan mungkin meneteskan air mata. Einstein telah
sampai pada titik ini sehingga ia pun berkata “ alam adalah misteri”. Hal
tersebut tentu akan sangat berpengaruh bagi pandangan Einstein tentang agama.
Karena sekali lagi, kosmologi adalah ilmu yang beririsan salah satunya dengan
teologi.
Maka,
Sebagai ilmuwan Einstein menolak konsepsi agama tentang tuhan yang
Antroposentris. Einstein melihat ide tuhan personal sebagai bentuk
antropomorfisme. Pada intinya seperti alam, tuhan adalah misteri tak
terlukiskan dengan bahasa manusia. Kenapa? Karena ia pun tidak bisa melukiskan
batas sepi kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=mc2. Itupun
tidak juga menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan tuhan tetap misteri yang tak
akan pernah terungkap tuntas.
Kita
melihat faramorgana disiang hari sebagai cakrawala batas terdekat kita, tapi
begitu kita mendekat batas itu menjauh. Hanya itu yang bisa dilakukan manusia,
berjalan lamban mendekati batas dengan niat menembus batas, akan tetapi kita
ternyata hanya bergerak sedikit saja, dan di depan akan ada batas lagi yang
menyambut.
Einstein
meyakini agama yang ia sebut sebagai agama kosmis. Tentu agama tersebut adalah
agama dengan tuhan yang tidak bisa dilukiskan. Agama yang menumpu pada
religiusitas penghayatan manusia atas alam sebagai sebuah mistri terbesar.
Agama yang merupakan titik kulminasi paling ujung dari penyelidikan ilmiahnya
atas alam. Pada titik itulah alam memaksanya bertuhan. Berikut kata Einstein :
“ dalam hukum-hukum alam
termanifestasikanlah eksistensi roh yang lebih superior terhadap diri manusia,
dan bila seseorang berhadapan dengannya, kita dengan seluruh kekuatan kita
seharusnya merasa rendah dan hina”
Kalimat
itu bagi saya adalah sebuah kalimat yang bernada penyerahan diri. Kalimat yang
tidak jauh beda dengan perkataan Pauli pada sebuah seminar di eropa. Kalimat
penyerahan diri pada batas kesepian kosmos, dimana ilmuwan sebagai manusia
biasa harus benar-benar tunduk dengan kenyataan bahwa alam, bagaimanapun juga
tetaplah misteri agung yang tak tertuntaskan.
Penyangkalan
Einstein tentang tuhan personal, adalah juga penolakanya terhadap agama-agama
ibrahimiah. Akan tetapi yang harus difahami, bahwa Einstein menolak tuhan
personal bukan dalam rangka sebuah argumen ateisme. Setelah memperolah wawasan
luas tentang hubungan sebab –akibat, Einstein selalu menolak dikatakan ateis.
Kata Einstein “ bahwa yang membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal
tuhan, mengunakan argumenku untuk mendukung pandangan mereka”
***
Einstein
adalah seorang yang bertuhan dengan mengalami dan menghayati penyelidikanya
akan kosmos. Sebuah cara bertuhan yang naturalistik. Kosmos membawanya pada
sebuah kenyataan tentang batas pengetahuan manusia dihadapan misteri kosmos.
Dia tertunduk di ruang sunyi dari ujung penyelidikanya tentang kosmos, yang
tidak bisa tertembus lagi. Mau tidak mau manusia harus bertuhan jika telah
dihadapkan pada ruang sunyi tersebut.
Pada
akhirnya, perjalanan Einstein, dengan kerja keras yang maha yang telah
mengantarnya dengan E = mc2 menjadi teoritikus terbesar abad ini. Kerja
tersebut adalah sebuah gerak yang di dorong oleh rasa religiusitas yang
meletup-letup, seperti kata Einstein
“religiusitas adalah ruh dari sains”. Maka pertemuanya dengan tuhan
adalah pertemuan dengan jalur sains yang tidak bisa dilukiskan.
Pertemuan
dengan tuhan di ujung batas kosmos dimana bahasa matematika tidak lagi berguna.
Dan menjadi benar kata Manggunwijaya “ kata membunuhmu ruh menghidupkanmu”, dan
pada batas sunyi kosmos semoga “ kita tidak dipaksa meneteskan air mata”,
seperti kata Pauli.