A. Permasalahan Awal
Semuanya sudah tahu bahwa Indonesia
adalah negara yang sangat kaya dalam hal keberagaman. Mulai dari agama,
walaupun Islam dianut sebagai agama mayoritas di negeri ini, tetapi ada 5 agama
lain yang dianut dan berkembang di Indonesia. Keberagaman suku, sudah tidak
usah ditanyakan lagi, Pulau yang cukup kecil saja seperti bali, dihuni sangat
banyak suku. Tak akan ada habisnya jika kita uraikan semua keberagaman yang ada
dan hidup di Indonesia. Konskuensi dari keberagaman yang ada di Indonesia
adalah toleransi, manusia Indonesia dituntut hidup di tengah-tengah berbagai
perbedaaan, tanpa harus saling injak, atau bahkan hanya saling sengol.
Akhir-akhir ini keberagaman
kita sedang di uji. Berbagai peristiwa konflik yang dilatar belakangi perbedaan
agama, suku, aliran, atau yang berbau sara, sudah menjadi headline yang setiap
hari menghiasi media-media di republik ini. Mulai dari kasus yang paling hangat
konflik antara kelompok syiah dan anti syiah di sampang. konflik yang didasari
perbedaan pandangan tentang masalah agama ini sampai menelan korban, terjadi
pengrusakan, pembakaran, dan diskriminasi.
Kehidupan keberagamaan di negeri ini, sudah sangat identik dengan
kegiatan saling sesat menyesatkan, semua mengklaim bahwa klompoknya adalah
wakil tuhan paling benar di muka bumi, sementara yang lain salah, kafir dan
harus dimusnahkan.
Konflik antaretnis yang dahulu
menjadi problem besar dan sekarang masih menghantui kehidupan keberagaman kita.
Konflik antar warga dayak dan madura di sampit kalimantan tengah yang
berkembang menjadi konflik antaretnis. Dalam waktu seminggu jumlah korban yang
tewas dari etnis madura tercatat 315 orang. Belum habis cerita tentang
pertikaian antar etnis yang berbeda agama di maluku, menyentak masyarakat
konflik yang lebih laten dan mengoyak-oyak srambi mekah, aceh juga belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir(Choirul Mahfudz, 2006:128-129).Jika kita
bercermin pada semua konflik yang telah terjadi itu. Ada beberapa pertanyaan yang
mengangu. Belumkah bangsa ini sadar tentang berbagai perbedaan yang ada?.
Kenapa bangsa kita tak kunjung berbenah dari berbagai konflik yang dalam
perjalanan sejarah kita sudah sangat sering terjadi?. Kenapa orang-orang negeri
ini masih sangat egoistis, semua memperjuangkan kepentingan diri dan
kelompoknya, lalu siapa yang memperjuangkan Indonesia?. Kemana pancasila dan
bhineka tunggal ika yang selalu kita bangga-bangga kan itu?.
Akar dari semua masalah tersebut
adalah pandangan manusia di negeri ini tentang manusia lain. Kita masih sering
menganggap ada orang yang lebih rendah dari kita hanya karena beda agama, suku,
kelompok dan lain-lain. Dalam berbagai kasus konflik dan berbagai tindakan yang
memecah persatuan, kita sebenarnya bisa belajar dari ajaran filsafat universal love-nya Mo Tzu. Bukan bermaksut mengabaikan peran pancasila sebagai sumber
inspirasi persatuan, hanya saya ingin belajar dari bangsa lain. Dalam
pengamatan saya bangsa ini sepertinya juga sudah sangat mensakralkan pancasila, sehingga setiap
silanya seperti menjadi mantra dzikir yang tiap hari dirapalkan, karena terlalu
sibuk merapalkan pancasila kita lupa mengali apa lagi mewujudkan sila-sila
pancasila dalam kehidupan. Inilah saatnya kita belajar dari bangsa lain,
belajar dari seorang tokoh besar filsafat cina Mo Tzu.
B. Pembahasan
Mo Tzu adalah
seorang Filsuf Cina yang hidup sekitar tahun 479-381. Nama keluarganya adalah
Mo dan namanya adalah Di. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa Mo Tzu berasal dari Sung (sekarang
disebelah utara Honan dan Barat Shantung) dan beberapa ilmuwan
lain mengatakan bahwa ia berasal dari Lu, daerah yang sama dengan Konfusius.
Pokok-pokok ajaran Mo Tzu diantaranya tentang: uiniversal love, pemerintahan, emosi,
identification with the superior, dan demokrasi. Mengenai universal love atau kasih saying yang universal, dikatakanya
bersifat uitilitaris, dapat membawa kepada kedamaian dunia dan kebahagiaan umat
manusia. Kasih saying universal ini menekankan azaz kesmarataan, tidak ada
perbedaan tingkat di dalam masyarakat, tidak mebedakan yang satu dengan yang
lain. Untuk mendorong agar setiap orang mengamalkan universal love, ia mengajukan sanksi keagamaan dan sanksi politik
(Fung Yu Lan, 1964:56)
Ajaran Mo
Tzu tentang universal love bisa
kita jadikan landasan untuk resolusi berbagai macam konflik yang berkembang di Indonesia.
Langkah untuk resolusi konflik tersebut adalah dengan memandang kesamaan drajat
antar manusia. Realitas keberagaman yang ada di Indonesia harus kita pandang
dari sudut pandang universal love,
bahwa semua manusia sama rata, tidak ada perbedaan tingkatakan dalam
masyarakat. dengan begitu kita bisa faham bahwa perbedaaan yang ada hanya
menyangkut identitas parsial, sementara identitas hakiki kita sama yaitu
manusia. Kita seharusnya bisa belajar untuk mencintai
dan memandang manusia bukan dari embel-embelnya (suku, agama, ras, kelompok)
kita harus mencintai manusia karena kemanusiaanya, bukan yang lain. Selama kita
masih mencintai diri kita, kelompok kita, agama kita, lebih dari yang lain maka
tidak akan ada kedamaian di tengah berbagai perbedaan.
Dengan memperbaiki cara
pandang kita tentang manusia dan tentang keberagaman yang ada di Indonesia
melalui ajaran filsafat universal love-nya
Mo Tzu. Hasil akhir yang kita tuju
adalah persatuan di tengah kebhinekaan. Bersatu karena berbeda, bukan
keseragaman. Masyarakat Indonesia tidak bisa diseragamkan. 32 tahun era orde
baru dengan berbagai macam trik untuk menyeragamkan masyarakat Indonesia,
terbukti malah menyulut berbagai konflik. Dengan begitu kita dapat bersatu
dalam kebhinekaan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
C. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan tentang masalah
konflik dan resolusinya serta bersatu dalam kebhinekaan. Terlihat bahwa
filsafat universal love nya Mo Tzu sangat sesuai jika kita jadikan
basis resolusi konflik, untuk mencapai persatuan di Indonesia. Kedamaian dan
persatuan dalam sebuah keberagaman, seperti hal nya Indonesia hanya bisa dicapai
jika masyarakatnya memandang masyarakat lain setara. Tidak ada perasangka buruk
tentang suatu, etnis, agama, ras, suku dan lain-lain. Dengan cara pandang
seperti itu kita akan bisa mencintai manusia karena kemanusiaanya sesuai ajaran
universal love.
Tulisan ini tidak akan berarti
apa-apa jika kita tidak berusaha memulai mengaplikasikan universal love dari sekarang. Mari kita belajar bersama untuk
mencintai manusia karena kemanusiaanya, bukan embel-embelnya. Bukankah begitu?.
yogyakarta 22 10 12 di perpus ugm yang klasik
yogyakarta 22 10 12 di perpus ugm yang klasik