-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Sabtu, 20 September 2014

Sajak (1)



/1/
            Dia, semacam keindahan yang gagal dicatat dalam buku kuliah. Dia mempunyai kuasa atas segala bahasa. Sering menghanyutkanmu dalam suasana. Dia endapan yang sangat syahdu dari setiap pengalamanmu. Dia sesuatu yang telah hilang: hendak kau hadirkan kembali. Dia tak bisa dipaksa mengikuti langkah kakimu. Kau yang harus setia mengikutinya. Merawatnya, atau bahkan menyembunyikannya rapat-rapat dari bahasa. Dia kesyahduan yang maha. Lembut tetapi menyentak. Lirih tapi selalu bergema. Dilupakan tetapi selalu di inggat. Dia adalah kejujuran yang membrontak dari kata-kata. Tak ada yang bisa menampungnya.
Dia bisa saja dirimu yang tertelungkup kaku dalam sunyi ruang hidupmu. Tapi dia bukan dirimu yang menyeru dengan dalil-dalil hantu. Dia samar, suaranya lamat-lamat saja, tidak jelas, bahkan sangat lirih. Siapkan telingamu untuk mendengarnya. Dia tidak selalu berwujud dalam kata dan bahasa. Dia adalah kesunyian. Atau penjaga kesunyian: tempat kesehatan hidup dirawat. Dia hidup tidak dengan nyawa, tapi kehidupanya melebihi 1000 nyawa. Kekuatanya syahdu, tenaganya menekanmu: kembali, dan sunyi. Dia bukan gelak tawa tanpa ampun. Dia bukan ambisi. Temui dia segera.
Dia tidak beralamat dalam kata. Dia bisa saja senja yang hendak kau tikam dengan kata. Tapi kesyahduanya membunuhmu sejak kali pertama ingin mengabadikanya. Dia seperti juga senja yang tak bisa kau ringkus dalam satu kali gores: bait-bait indah. Dia menawarkanmu ruang dan waktu yang lain: dunia lain. Dunia lain: tempat segalanya hanya permainan. Dunia yang jauh, masuklah dan lihat dirimu disana yang semakin lusuh dan angkuh. Pesonya adalah kejujuran dan bahasanya adalah kesyahduan tak terkata. Lagi-lagi tak terkata, tetapi penuh rasa. Ingat kau bisa mati karenanya!!
/2/


Senin, 15 September 2014

Cerita dalam Sebuah Sajak Sentimentil (Sekadar Tanggapan Pembaca atas Cerpen Marie karya Khoiril Maqin)



















(gambar: Denting by danang tp. pencil on kertas, awur-awuran)

Di jalan itu tinggal aku, kecepatan, jarum jam, dan kata-kata Marie.. begitulah khoiril maqin mengakhiri kalimat penutup dalam paragraph pertama cerita pendeknya “Marie”. Bagi saya kalimat tersebut kunci untuk mehami jalan pikiran Maqin sekaligus alur cerita pendeknya. Tentu dengan sangat penuh kesadaran bahwa pemahaman saya tidak pas, atau bahkan keliru. Tapi memang begitulah cerpen dan penulisnya memang tidak menuntut keshahihan tafsir yang mutlak.  Permainan dengan ambiguitas justru malah mengasikkan.
Saya rasa keberhasilan cerpen ini memukau para pembacanya, karena permainanya dengan ambiguitas dan ketidakjelasan. Sebuah usaha menarik kekosongan sepi yang melingkupi diri penulisnya, menjadi sebuah cerita, yang bisa jadi tidak pernah terjadi, atau bahkan penuh ilusi.
Dimulai dengan penggambaran tentang suasana yang telah berlalu. Mengingat masa-masa dengan marie, sosok yang saya rasa sangat fiktif. Sang narator sedang berjalan dalam kesepian malam, hening, hanya ada lampu-lampu kota , dan kecepatan motor. Dalam suasana itulah sang narator teringat tuhan dan memerintahnya untuk “ tidak terburu-buru mengajaknya ke surga atau tempat yang jauh di sana” .
Mengingat tuhan juga mengingatkanya pada marie. Lampu-lampu kota dan deru kecepatan motor membawa ingatan narator pada tuhan. Sementara notalgi dengan sosok marie diingat melalui bait-bait sajak yang ditulis menggunakan tinta merah. Pada akhirnya bait-bait sajak benar-benar terasa magis bagi narator, hingga sosok marie yang entah berada di mana bisa hadir dalam nostalgi narator.
Ambiguitas dalam cerpen ini cukup berhasil tersampaikan melalui sajak-sajak yang menghiasi beberapa akhir paragraph cerpen. Sambil bermain-main dalam ruang sajak yang sentimentil narator meloncat ke ruang nyata yang dia alami. Sebuah sepi yang nyata di depan mata. Sepi yang damai dan mendesak, seperti juga sosok marie. “Aku kenal dia melalui sajak yang ia tulis awal musim hujan, di stasiun kereta. Sajak damai, tapi mendesak”.
Marie sosok wanita yang mungkin sekali hanya ilusi. Sosok wanita yang hadir melalui sajak. Sosok wanita yang hadir dalam kesepian diri sang narator. Hendak mengantarkan sang narator menuju sebuah tempat. Tidak melalui jalanan aspal dengan garis-garis putih yang terlewati dan tak pernah ada habisnya. Tetapi mengantar melalui sajak. Narator menungang sajak untuk mencapai marie.
Deskripsi-deskripsi yang dihadirkan dalam beberapa paragraf sangat sederhana. Mungkin memang sengaja dibuat sesederhana mungkin. Karena sejak awal keindahan cerita dihadirkan melalui puisi. Dunia nyata hanya jembatan menuju dunia sajak yang tak terbatas.
Perjalanan nostalgi sang narator akan sosok marie akhirnya berlabuh pada sebuah pantai. Setelah mengetahui sia-sia mengendarai motor diatas pasir pantai. Akhirnya motor dia lemparkan dan dia berlari menuju deburan ombak. Buih ombak menyambutnya. “ mungkin ada rasi bintang unik di atas buih-biuh itu. Bukan-bukan rasi cuma bintang gemintang biasa” . sekali lagi ambiguitas pun dihadirkan penulis dalam diskripsinya.
Ambiguitas, sesuatu yang tidak jelas, bisa jadi bertentangan, terjadi dalam satu waktu. Saling sesak. Rumit. Memang sangat efektif untuk mengantarkan keindahan, apalagi seperti dalam cerpen ini yang mengunakan bahasa yang terasa sangat liris dan prosaic. Ambiguitaspun terasa menjadi sarana paling pas untuk mengungkapkan keindahan. Dalam khasanah sastra pedhalangan jawa kita bisa menjumpai banyak suluk (puisis jawa) yang menggunakan ambiguitas bahas prosa untuk mengantarkan suasana keindahan. Misal:..Ooongg ono lintang dudu wengi, ada bintang tetapi ini bukan malam hari. Bagaimana mungkin itu terjadi dalam dunia nyata? Disinilah keindahan sastra berkuasa. Tekhnik seperti itu, sepertinya sangat dimanfaatkan dalam beberapa diskripsi cerpen karangan maqin.
Dalam suasana nostalgi dengan sebuah sajak dari marie. Narator hilang kesadaran, masuk dalam ruang awang-awung, sunyoruri –kosong, hampa-  yang penuh dengan keidahan yang bisa jadi sangat melankoli. Laku gerak tubuhnya lepas kendali. Pun akhirnya narator juga tidak sadar telah dibawa oleh sebuah sajak menuju tepi sebuah pantai. “ ayahku bukan nelayan marie, bukan petani garam, mengapa kau membawaku kesini?”. Setealah kalimat Tanya tersebut, seperti sebuah gumam tak terucapkan. Narator kembali masuk dalam dunia nyata. Mungkin dalam titik ini narator menyadari posisinya di tepi sebuah pantai. Tetapi kesadaran itu tetap terbaca sangat lirih dan terbata-bata.
Di tepi pantai sajak kembali hadir untuk mengakhiri cerita perjalanan narator bersamanya. Dalam bentuk apa sajak itu hadir tidak jelas. Tetapi sajak menguasai suasana. Ternyata marie memberi sang narator sebuah amplop. Lagi-lagi berisi kalimat-kalimat liris prosaic. “ ini marie, kasihmu sajak-sajak yang kau tulis di awal musim penghujan. Maaf aku kini jadi lautan, tapi, bagaimana denganmu, bisa berenang? . seperti kalimat penutup dalam cerita ini yang diakhiri tanda tanya. Cerita inipun diakhiri juga dengan tanda tanya. Tanda Tanya. Sesuatu yang tidak selesai. Mungkin tak menuntut jawab terang.
Ending yang dihadirkan penulis memukau. Penulis cerita seperti ingin melanjutkan cerita. Tetapi setelah sejenak diam, menghisap sebatang rokok, dan membau harum kopi dalam cangkir cina yang munggil. Akhirnya Maqin tidak bisa melanjutkan cerita. Bisa jadi sebuah kesegajaan untuk berhenti dalam tanda Tanya. Berhenti dalam ketidakjelsan akhir. Atau bisa saja berhenti karena telah menemu sedikit cahaya dalam ruang kosong yang dia hayati.
akupun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis dan berkata: mungkin tak ada dosa,
tapi ada yang percuma saja.

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
 Dan itulah saoalnya
--G.M dalam Interlude—

Pun saya juga harus lekas berkemas, berhenti menulis ini. Menyerah pada sesuatu yang tidak jelas. Sesuatu yang jauh tetapi dekat, nyata tetapi juga ghaib. Megitulah sepertinya melodrama keindahan nostalgi dengan sebuah sajak dalam cerita marie karya Maqin.
 Saya menulis ini, Tentu dengan tanpa memaksudkan tulisan ini sebagai sejenis ulasan cerpen, apalagi kritik sastra. Sekadar tanggapan pembaca saja cukup. Begitulah kiranya.

Danang t.p klebengan 11-9-14

NYANYI SUNYI SASTRA INDONESIA ( Sastra di Tengah Budaya Layar dan Merayakan Matinya Kemanusiaan) *



**dimuat dalam buku kumpulan esai Nyanyi Sunyi Sastra Indonesia, Terbitan balai Bahasa 2014

A.    PENGANTAR
           
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada

(Amir Hamzah, dari karya puisi Insaf)

Beberapa waktu yang lalu, saya makan di sebuah rumah makan di Kota Yogyakarta. Ada satu kejadian yang menganggu kenikmatan makan saya. Seorang anak kecil, sepertinya masih tingkat sekolah dasar. Sedang duduk di depan televisi, dan senyum-senyum sendiri. Tanganya cekatan menganti channel ke acara yang dia sukai. Anak itu sudah menemukan channel yang tepat. Sebuah acara talkshow, tentang desas-desus selebritis. Saya kembali melihat anak itu asik senyum-senyum,  sambil matanya konsentrasi penuh pada layar kaca.
Sebenarnya kejadian itu bukanlah sesuatu yang aneh. Dalam keseharian saya, juga mungkin keseharian kita semua. Sering kita jumpai orang-orang yang asik dengan layar kaca. Baik itu gedget ataupun bentuk teknologi layar lainya. Dan sudah lama, hal itu kita anggap sebagai sebentuk kewajaran saja.
Tapi bagaimana jika kesibukan di depan layar kaca itu dilakukan oleh seorang anak kecil? Apalagi yang sedang dilihat adalah sesuatu yang kurang tepat.  Sekali lagi, itu semua juga tidak terlalu menjadi masalah yang besar. Kehidupan kebudayaan sehari-hari kita secara umum, memang mengijikan itu sebagai sesuatu yang wajar saja.
Cerita pada paragraf di atas hanya saya maksudkan sebagai sebuah pengantar. Semacam jalan awal, untuk kita masuk secara lebih dalam ketika melihat fenomena sejenis di atas. Tidak mengijinkan kejadian di atas sebagai bentuk konskuensi wajar globalisasi dan dominasi budaya layar. Tapi bagaimana, identitas kemanusiaan kita telah dibentuk dan sekaligus dibunuh berlahan oleh dominasi budaya yang menawakan segalanya dalam bentuk kecepatan.
Sebuah dominasi budaya kecepatan. Bentuk paling menakutkanya adalah teknologi, fungsinya sebagai perpanjangan panca indra manusia untuk mempermudah kehidupan berubah. Alat-lat itu menjadi panca indra kita, dan kita tidak mampu mengendalikan geraknya. Dalam kondisi kehidupan budaya yang seperti itu, kita bisa bertanya lantas di mana posisi kesusastraan kita? Untuk apa menghadapkan semua persoalan di atas di depan muka kesusastraan kita? Kenapa harus sastra?
Dalam dunia sastra semuanya serba berlahan-lahan. Tidak ada yang instan. Orang harus meluangkan waktu untuk membaca ataupun mencipta karya sastra. Sastra mengajak kita masuk dalam alam penghayatan. Maka menjadi menarik menghadapan dua persoalan antara dominasi budaya layar dengan kesusastraan. Dua bentuk kebudayaan yang sangat berbeda karakter. Dimana yang satu, dalam kondisi kontemporer sekarang sedang sangat digandrungi dan meluas tanpa batas. Sementara yang satunya lagi, mungkin hanya bisa kita dengar sunyi nyanyiannya.
Esai terbatas ini hanya ingin mengajak, sejenak kita mendengar suara sunyi sastra Indonesia. Suara sunyi di tengah hiruk pikuk kehidupan kebudayaan layar kita yang penuh dengan keindahan dan kebisingan artifisial. Sambil lalu bertanya, apakah kita masih menjadi manusia? Setelah setiap saat diburu waktu. Setiap saat dituntut mengkonsumsi berbagai hal tanpa pernah melihat nilai guna. Dituntut secara tidak sadar untuk duduk di café, berganti-ganti gedget, menerobos batas-batas ruang dan waktu melalui koneksi, mencari hiburan-hiburan yang sejenak bisa melupakan kepenatan, sejenak saja tapi.
Sambil lalu juga, kita bisa bertanya apa yang ditawarkan sastra Indonesia dengan kesunyiannya?  Sebagai sebentuk budaya tandingan atas dominasi budaya layar. Jika itu semua kita lihat sebagai sebentuk keseriusan komitmen budaya. Kita tidak bisa memfikirkanya sambil lalu saja.
B.                 MERAYAKAN  KEDATANGAN BUDAYA LAYAR,  MELUPAKAN SASTRA

Secara umum kita bisa berpegang pada pemahaman, kebudayaan sebagai suatu proses keberlangsungan hidup sehari-hari manusia dalam dunianya. Atas pemahaman tersebut lantas dalam sebuah kelangsungan kehidupan budaya, jelas menuntut partisipasi manusia sebagai individu maupun kelompok. Membaca kebudayaan adalah membaca keseharian kehidupan kita. Lantas, cerita yang saya tulis sebagai pembuka esai ini, menjadi relevan untuk kita gunakan membaca kondisi kehidupan budaya kita.
Sebuah kondisi budaya yang pada titik awalnya bermula dari ambisi manusia. Ambisi untuk menerjang segala keterbatasan dalam dirinya. Pada puncaknya yang paling ambisius, melahirkan abad teknologi. Sebuah zaman, ketika realitas didominasi oleh jaringan-jaringan rumit, khas teknologi tingkat tinggi, yang itu semua pada tesis awalnya bertujuan mulia, “memudahkan kehidupan manusia”.
Globalisasi informasi, khususnya perkembangan mutakhir teknologi internet. Semua itu telah membawa perubahan besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global. Pengertian-pengertian konvensional tentang masyarakat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial serta budaya, mendapatkan tantangan besar dengan telah memasyarakatnya teknologi informasi yang berbasis layar itu. Realitas-realitas sosial dan budaya yang ada mendapatkan tandingan dari budaya layar, yang pada akhirnya mengaburkan perbedaan mana realitas yang nyata, dan mana yang virtual. [1]
Kondisi dominasi budaya layar tersebut juga berpengaruh bagi individu. Budaya layar baik sistem jaringan internet, televisi maupun yang lainya, telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang identitas. Tegasnya, media komunikasi yang berbasis layar telah melenyapkan batas-batas indentitas manusia sebagai individu. Di dalamnya setiap orang bisa berpura-pura menjadi orang lain. Kita digiring berlahan untuk mengalami kekacauan indentitas kemanusiaan kita, yang pada puncaknya adalah kematian identitas kemanusiaan.
Pada saat seseorang memegang remote control, sesunguhnya bukan berarti ia sedang mengendalikan suatu acata TV. Akan tetapi, ia sedang memproyeksikan dirinya untuk menjadi seperti apa yang ada di layar kaca. Nilai-nilai yang tanpa batas, dengan konsepsi hidup menjadi sesuatu proses yang serba mungkin. Berbelanja tanpa mengenal tanggal tua, seperti dilakukan Si Doel dan Mandra. Doraemon sedang mengajarkan anak-anak di tanah air untuk berfikir hidup ini gampang, nothing imposible[2].
Jika, realitas zaman ini telah didominasi oleh segala sesuatu yang bertumpu pada layar virtual. Dari sanalah manusia dilahirkan, dari layar-layar teknologi tingkat tinggi, dari sistem jaringan web rumit yang menerjang segala batas ruang dan waktu.
Atas semua kondisi tersebut, kita tidak pernah menganggapnya sebagai permasalahan yang serius. Buktinya, kita tetap membiarkan anak-anak menonton televisi tanpa henti, berselancar di dunia maya tanpa batasan, dan kadang kita juga ikut melakukan itu dan berada di samping mereka. Maka menjadi relevan jika kedatangan budaya layar saya sebut sebagai sesuatu yang harus kita rayakan. Kita tidak pernah merasa sedang ditundukkan di bawah budaya layar, dimatikan dimensi-dimensi kemanusiaan kita, kita nikmat sekali menggeluti budaya layar. Lalu kata apa yang paling pas digunakan selain “merayakan” untuk mengambarkan sikap kita tersebut.
Kini kita bisa dengan mudah menemukan orang yang sedang sibuk dengan layar kaca di tangan. Baik itu hand phone, tab, dan berbagai jenis gadget lainya. Dalam kondisi tersebut dimana sastra kita berada?
Mungkin kita bisa memahami bahwa mencipta karya sastra memerlukan bakat, atau paling tidak kemampuan dan keseriusan yang ekstra. Tapi membaca karya sastra bukankah hal yang mudah? Asal setiap orang bisa membaca, dan bersedia meluangkan waktunya. Menyisakan sedikit waktu dari kesibukan mereka, untuk membaca. Tapi hal itu terbukti sangatlah sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa.
Dalam arah kehidupan kita yang didominasi orientasi pragmatis dan kapital yang muaranya jika kita telusuri adalah materialisme. Lebih mudah melupakan sastra. Untuk apa membaca sastra, lebih baik berselancar di dunia maya, memperluas jaringan bisnis, memuaskan hasrat kita akan kecepatan koneksi tanpa henti dalam jejaring sosial virtual.
Sastra tidak memberikan manfaat yang jelas secara material akan kehidupan manusia. Lalu untuk apa kita membacanya. Kita bisa berasumsi bahwa anggapan itulah yang telah menjangkiti masyarakat kita. Anggapan itu lagi-lagi diperparah dengan perkembangan teknologi layar virtual, juga kapitalisme dalam berbagai dimensi kehidupan.
Perkembangan budaya layar mempermudah urusan manusia. Sampai pada titiknya yang paling ekstrim manusia menjadi manja. Tidak lagi membutuhkan bertemu orang lain secara langsung karena semua telah terhubungan koneksi data internet. Tidak lagi membutuhkan waktu senggang untuk menghayati kemanusiaanya.
Kebutuhan mendesak manusia adalah keasikan hiburan berselancar dalam dunia maya, menonton televisi, dan asik dengan layar HP. Konskuensi dari itu semua, sastra harus dilupakan. Lebih mudah dan nikmat berselancar dalam dunia hiburan budaya layar. Menikmati ektase yang meriah dalam koneksi kecepatan data internet dan hiburan artifisial televisi. Dalam kemeriahan dunia budaya layar, pada hakikatnya manusia sendiri dalam kesepian identitas, akan tetapi, ia bisa menerobos ruang dan waktu kesendirianya, melupa dalam nikmat ektase hiburan-hiburan layar, yang sejenak saja melupakan manusia dari kepenatan kehidupannya.
Di depan itu semua sastra menjadi tidak menarik, dan harus dilupakan. Tapi apakah dengan itu semua kita sudah cukup, dan telah menjadi benar-benar manusia yang otentik? Dunia dengan budaya layar telah melepaskan manusia dari realitas budaya dan sosialnya. Membuat manusia tidak peka, termasuk juga dengan kebutuhanya akan perenungan atas kemanusiaanya.
Berikut puisi Goenawan Mohammad mungkin bisa lebih menyentuh relung estetik kita, kaitanya dengan persoalan yang telah dipaparkan
         Kepada Kota
Apabila engkaulah cinta, lepaskanlah, kota
Dari guhamu beribu gema
Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap
Deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap

Apabila engkaulah setia, tenangkanlah cinta, kota
Hatimu yang mendengar semesta dunia
Biarkan kini kita terjaga
Biarkan bumi semakin bergesa

C.    RUANG SUNYI SASTRA:  SEBUAH TAWARAN UNTUK KEMANUSIAAN

Segala dimensi dalam kehidupan manusia, prilaku, sistem sosial, tata nilai, seni, dan ekonomi,  adalah sebuah proses yang lahir dari keterlibatan manusia dengan lingkungan budayanya. Lingkungan budaya dibentuk sekaligus juga membentuk manusia. Begitupun karya sastra, adalah produk yang dibentuk manusia dan juga akan membentuk manusia.
Karya sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan maupun peradaban. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Prof.Abdul Hadi WM menyinggung masalah otentisitas produk dari suatu peradaban kebudayaan. Abdul Hadi, mengatakan bahwa yang otentik sebagai suatu pembeda dari sebuah produk peradaban yang satu dengan lainya, adalah sastra dan filsafat. Pemikiran filosofis dan karya sastra dari berbagai belahan dunia pasti berbeda-beda.
Karya sastra dibentuk dan pada akhirnya akan membentuk manusia. Hubungan dialektik antara proses membentuk dan dibentuk dalam kebudayaan adalah sesuatu yang kehadiranya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan sebuah irama dalam kehidupan manusia. Irama yang sangat menentukan dalam usaha pencapaian pribadi manusia yang unggul.
Irama yang dimaksudkan adalah sebuah proses saling ganti-mengganti. Irama tersebut secara nyata terwujud dalam dua proses.  Pertama,  keharusan manusia keluar dari dirinya sendiri, bergaul dengan manusia dan masyarakat dunia. Pada titik inilah manusia membentuk realitas budayanya. Kedua, keharusan manusia kembali pada dirinya sendiri. Melakukan perenungan atas hubungannya dengan dunia luar. Kedua irama ini saling mempengaruhi, saling menentukan. Seandainya manusia tidak keluar untuk berjumpa dengan dunia, maka kehampaan dan kesepian menjadi nasibnya. Sebaliknya, bila manusia tidak pulang pada dirinya sendiri, maka manusia akan terasing dari dirinya.[3]
Dua irama dialektik tersebut apakah masih bisa berjalan dengan sempurna? Ketika kehidupan budaya kita telah didominasi budaya layar. Sebuah budaya yang secara hakiki menawarkan segala bentuk kemudahan dan kenyamanan.
Manusia harus kembali pada dirinya. Masuk dalam suasana hening penghayatan akan kedirianya, juga perenungan akan aktivitas yang telah dilakukannya. Pada proses dialektika kedua inilah sastra dengan dimensi kesunyiannya yang dalam dan subtil seharusnya mengambil peran.
Bila manusia hendak melakukan penghayatan atas dirinya. Kembali pada dirinya. Setelah terlibat dalam keriuhan realitas budaya layar. Manusia hendaknya pulang. Akan tetapi ketika manusia pulang, dunia yang ia tinggalkan tetap melekat pada dirinya. Kita pulang dengan membawa oleh-oleh, kesan-kesan. Proses kembalinya manusia pada perenungan atas dirinya sendiri, memerlukan cermin, semacam batu loncatan untuk lebih mudah menjalankan proses kedua dalam dialektika kehidupanya tersebut. [4]
Romo Dick Hartoko, megungkapkan bahwa salah satu cermin yang bisa digunakan manusia dalam proses kedua itu ialah buku. Terutama buku yang dengan intuisi seorang penyair, menafsirkan hidup manusia dengan dunianya.[5]
Pada titik inilah sastra mendapat kedudukan yang pas. Sebagai sebuah budaya tanding atas dominasi budaya layar. Buku-buku sastra diperlukan manusia. Akan tetapi yang lebih penting adalah kesediaan untuk meluangkan waktu. Tentu kita tidak ingin anak-anak negeri ini yang masih kecil kecanduan layar, dan menjadi budak televisi. Jika memang benar seperti itu kita harus memulai itu semua dari diri kita.
Memang harus diakui bahwa sastra adalah pergulatan manusia dengan kehidupanya, yang dibentuk menjadi semacam ramuan ajaib yang secara sekilas hanya sunyi yang ditawarkanya. Tidak ada keriuhan artifisial dalam membaca maupun mencipta karya sastra. Tidak ada kenikmatan-kenikmatan fisik dan materi yang benar-benar berarti dari kegiatan sastra. Karena, memang bidikan sastra bukanlah semua itu.  Bidikan sastra adalah kekuatan jiwa dan mental manusia. Kadang untuk mencapai bidikan itu fisik dan materi kita harus benar-benar sengsara dan terkuras habis.
Segala gerakan manusia tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. Membaca karya sastra, maupun mencipta karya sastra adalah berhenti pada satu titik ruang dan waktu tertentu. Setelah realitas kita didominasi oleh budaya layar yang meringkas segalanya dengan kecepatan yang maha. Maka waktu hanya kita hayati sebagai 24 titik mekanis jarum jam yang seolah sangat cepat. Bahkan penghayatan kita akan waktu telah mati, karena koneksi dalam budaya layar bisa menerobos segala dimensi ruang maupun waktu.
Sebagai sebuah alternatif untuk menghayati kemanusiaan. Sastra telah jelas memiliki keunggulan. Akan tetapi kita dihadapkan lagi pada persoalan teknis. Bagaimana meluangkan waktu dalam gerak budaya yang serba terlipat dan terburu-buru ini? Jangankan untuk sekadar meluangkan waktu, bahkan persepsi dan orientasi kita tentang waktu telah begitu kacau, akibat pemapatan ruang dan waktu yang terjadi melalui koneksi yang maha tinggi dalam kebudayaan layar.
Saya teringat, seoang filsuf prancis Gaston Bachelard. Mantan guru fisika dan kimia yang pada periode awal pemikiranya banyak menulis tentang filsafat ilmu pengetahuan. Sampai pada suatu waktu dia merasa benar benar telah bosan terjebak dalam rutinitas akademis. Seorang muridnya dalam sebuah kuliah berkata “dunia Bachelard adalah dunia yang dipasteurisir” (ajeg dan steril). Sejak itu ia mulai tertarik pada dunia seni khususnya masalah tentang poetika, -imaji-imaji dalam sastra- yang melepaskan manusia dari segala bentuk kotak-kotak filosofis dikotomis.
Sepertinya kita bisa berasumsi, - tentu anda punya hak  tidak setuju dengan asumsi saya-  bahwa kehidupan kita sekarang telah begitu steril dan ajeg. Jika Gaston terjebak dalam rutinitas akademik yang ketat. Kita sedang terjebak dalam dunia yang disterilkan oleh budaya layar. Budaya layar dan kapitalisme, dalam bentuk paling ekstrim teknologi telah melipat-lipat dunia kita. Kapitalisasi dalam selaga aspek kehidupan, menuntut kita untuk berekerja terus tanpa libur, bergerak dan bergerak. Kehidupan kita disterilkan dalam layar-layar produk teknologi. Dan kita bahagia.
Menjadikan manusia terjebak dalam kecepatan yang mengasikkan. Kemanusiaan kita berlahan dibunuh, dengan cara yang sangat nikmat dan memanjakan. Nikmat dan manja dalam keahagiaan semu.  Beralih dari FB, Twitter hingga video call. Dari Fried chicken ke bergunung-gunung makanan siap saji lainya. Dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan yang lain. Mari kita lihat suasana kota kita, jam berapakah jalanan benar-benar sepi tanpa kendaraan?.  Waktu hanya kita fahami 24 titik yang berputar menakutkan di jarum jam itu. Kamar di rumah tempat tinggal kita sekadar ruang singgah sebentar saja. Dan kita harus bergerak!, kita harus berlari!, jangan diam!, sunyi itu menakutkan!!. Puisi Romo Mudji Sutrisno cocok untuk  melukiskan keadaan tersebut.
Mesti bergegas dalam tubuh-tubuh tergesa
Tanpa hening proses
Perang. Piring berhemburan pecah dalam keping hati
Dia ditikam gegas langkah
Tanpa renung arah
Di zaman ini yang layak berarti dan disebut berguna adalah kecepatan itu sendiri. Karya seni dengan segala bentuk keberlahan-lahananya tidak ada guna. Karya seni khususnya sastra membutuhkan penghayatan dalam menikmatinya. Hendak dengan dalil apa, kita berkata dalam kecepatan yang merajalela ada penghayatan. Kita berlari mencipta tanda-tanda –produk budaya- yang mengagumkan, tapi dibalik itu kosong. Gerak kecepatan kita didekte oleh produk-produk yang menciptakan hasrat tanpa henti. Logika yang kita gunakan dalam konsumsi produk-produk adalah membeli kepuasan memperoleh ketidakpuasan. Saat meilhat layar kita melihat keterpesonaan tapi kita memperoleh kehampaan. Maka di depanya kita harus faham, sangat sulit untuk melawan. – sengaja saya gunakan kata tunjuk kita, karena saya juga sedang hidup dan bergumul dalam zaman kecepatan itu-.
Dihadapan karya sastra kita harus diam. Menghayati waktu antropologis – gagasan filsuf Maurice Marleu Ponty-, bukan lagi waktu mekanis dalam gerak jarum jam. Waktu antopologis yang muncul karena kehadiran kita sebagai subjek. Ketika apa yang di depan kita, merangkum segala yang terjadi di masa lalu, dan sekaligus yang akan datang. Misal, ketika membaca novel, yang kita baca bukan saja sebuah tulisan yang berbentuk material dalam buku itu. Tetapi dengan satu cara kita juga melihat tulisan lama yang pernah ada dan tidak terlihat lagi, dalam diri kita. Serentak juga ada gambaran tentang tulisan-tulisan yang akan datang –semacam proyeksi makna-.
Penghayatan waktu antropologis adalah titik awal kita, untuk mencapai ruang sunyi bersama buku sastra. Jika telah pada titik itu, sastra bisa kita gunakan untuk mempertanyakan dan menghayati dimensi kemanusiaan kita yang maha luas dan rumit.
D.    PENUTUP  
Budaya layar yang menawarkan segalanya dalam bentuk instan. Manusia dicetak menjadi mahluk-mahluk mati, dengan hasrat konsumsi hiburan dan kecepatan data yang tak terbendung. Segala usaha dasariah dari sifat manusia untuk memertanyakan jati diri kemanusiaannya berusaha dimatikan. Rasionalitas dan kepekaan jiwa kita dimatikan melalui koneksi-koneksi dan kemudahan-kemudahan yang menuntut kita terus bergerak, berpacu, tanpa henti.
Sastra hanya terdengar nyanyi sunyinya,itupun hanya bagi mereka yang sedia untuk meluangkan waktu. Mundur dari rutinitas kecepatan. Kembali pada dirinya sendiri. Menghayati kedirianya mencari celah ruang sunyi di tengah hiruk pikuk artifisial budaya layar.
Dalam kondisi yang seperti sekarang, kita tidak dituntut melawan dengan berteriak. Melawan dengan diam. Melawan dengan sastra. Melawan dengan kemanusiaan. Dalam sunyi penjara Pramoedya Ananta Toer, melawan dengan kemanusiaan dan jiwanya. Pram diam tetapi jiwanya yang terpantulkan lewat karya sastranya, bergriliya menyentil relung-relung kemanusiaan manusia zaman itu hingga sekarang.
Tetapi lagi-lagi kelakone ilmu kanthi laku. Bukankah begitu ?



Daftar Pustaka
Dick Hartoko. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius
 Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital.  Jakarta: Grasindo



[1] Lih, Yasraf Amir Piliang. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital. (Jakarta: Grasindo, 2004) p. 64
[2] Lih, Irwan Abdullah. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 54
[3] Lih. Dick Hartoko. Tonggak Perjalanan Budaya. (Yogyakarta: Kanisius, 1986), p. 45.

[4] Lih, Ibid, p.46-47
[5] Lih, Ibid, p. 47

DIALOG FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN *


(SEBUAH SURAT UPAYA MEMAHAMI GAGASAN TOETI HERATY) 
Oleh: danang t.p
*disampaikan sebagai pengantar " forum diskusi catatan kaki"


Filsafat tidak bisa sibuk dengan dirinya sendiri. Kalimat itu rasanya paling pas saya pakai untuk mengambarkan kesan mendalam saya atas buku orasi guru besar Prof Toeti Heraty. Dialog filsafat dengan ilmu-ilmu pengetahuan, suatu pengantar meta-metodologi. Sebuah orasi guru besar yang pendek kata tapi mendalam makna. Sebuah upaya mengusik kedudukan filsafat dengan ilmu pengetahuan. Maka tulisan singkat ini, saya tulis sebagai sebuah surat upaya untuk memahami gagasan Ibu Toety. Selayaknya sebuah surat upaya maka kesalahan pemahaman, atau bisa kita sebut saja reduksi bisa sangat mungkin terjadi. Maka solusi terbaik, mungkin anda harus membaca sendiri tulisan Ibu Toety.
-------
 Kita sudah faham tentu dengan berbagai pujian atau semacam predikat yang melekat pada filsafat. Induk ilmu pengetahuan, dasar segala kepastian-kepastian epistemologis pada ilmu-ilmu lain. Sebagai induk apakah tugas filsafat hanya melahirkan anak-anak –baca ilmu lain-. Lalu filsafat akan sibuk dengan dirinya sendiri lagi. Senggama terus menerus untuk melahirkan anak-anak baru. Setelah itu cuci tangan atas kehidupan anak-anaknya. Saya teringgat kata Gibran, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Tapi kalimat itu tidak lahir dalam rangka memberikan pembenaran sikap cuci tangan filsafat terhadap anak-anaknya.
Filsafat sebagai sebuah ilmu spekulatif, memang memiliki kecenderuangan untuk bermonolog dengan dirinya sendiri. Lalu ada keraguan tentang kemampuan filsafat berdialog dengan limu-ilmu lain. Bercengkrama dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer yang semarak dengan ledakan teknologi dan kecenderuangan saintismenya.  
Akar permasalahanya adalah filsafat dalam perkembanganya di Indonesia sudah didudukkan sebagai cabang ilmu disamping ilmu-ilmu lain. Lalu dalam kedudukan itu bagaimana filsafat berdialog dengan ilmu-ilmu lain. Kita dituntut dengan kerendahan hati dan kecermatan menentukan relevansi filsafat dengan ilmu pengetahuan lain. Sebagai titik tolak dialog itu adalah filsafat ilmu pengetahuan, tetapi kemudian terkait secara fungsional dengan epistemology, dengan logika, dan kemudian dengan metodologi khususnya meta-metodoogi.
------
Secara sistematis tubuh besar filsafat biasa kita bagi merunut pada tiga bagian besar. Menyangkut tentang kenyataan, atau dasar segala realitas yang dapat kita indra, metafisika generalis (ontology) dan yang tidak dapat kita indra (metafisika spesialis). Selanjutnya mnegnai bidang nilai aksiologi, yang berpokok pada estetika dan etikaa. Wilayah terakhir adalah yang menyangkut prosedur tentang sah atau tidaknya pengetahuan, epistemologi. Yang ketiga ini bisa kita dasarkan atas pertanyaan Imanuel Kant “ wa kann ich wissen” apa yang dapat diketahui?. Tiga bidang itu buakn sebuah pemilahan kaku, yang menghendaki sebuah batas-batas ketat dan jelas. Aakn tetapi ketiganya saling kelindan, pembahasan satu bidang pasti gayung bersambut denagn bidang lainya.
Pada bidang ketiga yang menjadi titik tumpu adalah epistemology, yaitu teori pengetahuan yang menjadi dasar hakikat pengetahuan. Sedang filsafat ilmu pengetahuan adalah menyangkut kajian-kajian filosofis tentang ilmu-ilmu khusus. Cara-cara yang ditempuh ilmu-ilmu khusus untuk mencapai tataran yang ilmiah. Mengenai cara-cara itu kita mengenal metodologi. Metodologi pada akhirnya gayung bersambut dengan bidang logika mengenai cara-cara penalaran yang tepat.
Lantas atas bidang ketiga tersebut kiat bisa mengajukan pertanyaan, bukankah setiap ilmu sudah ditentukan dengan jelas objek penelitian serta metode penelitianya?. Atas kemapanan objek dan metode penelitian dalam pembagian ilmu-ilmu khusus bisa diajukan lagi sebuah pertanyaan meta-metodologi. Sejauh mana ilmu-ilmu khusus mempunyai titik tolak metodologis yang sama? Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebuah penjelasan historis filsafat tentang awal mula pendasan metode ilmu-ilmu khusus. Lantas atas kedudukan masing-masing ilmu itu, kita bisa bertanya bagaimana sifat pembedaan antara kelompok-kelompok ilmu dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda. Benarkan kita dapat bertumpu pada apa yang disebut unified science yang monometodologis dan menghendaki objentivitas universal dalam ilmu. Ataukah kita hendak bergerak pada arah kebebasan metodologi dalam plurimetodologi pada ilmu-ilmu sebagai keseluruhan.
-----
Dialog dengan relevansi metodolis antara filsafat modern dengan ilmu pengetahuan modern bisa kita temukan pada karta risalah tentang metode dari Descartes. Descartes aadalah sosok yang dengan adagium cogito ergo sum nya meulai babakan baru yang kiat kenang sebagai modernisme. Sebuah babakan baru yang meninggalkan tradisi berfikir lama. Sebuah cara pembuktian eksistensial manusia melalui kesangsian kesadaran. Gagasan Descartes itu memulai cara meyakinkan diri dengan gaya baru. Jika dahulu meyakinkan bisa dilakukan dengan meneror, menyuap, menghasut dan lain-lain. Maka secak zaman pencerahan di eropa meyakinkan bisa dilakukan dengan bernalar, Cogito. Penalaran yang cermat hanya bisa dilakukan denagn pembuktian matematik, Descartes adalah ahli matematika yang kemudian menerapkan gagasanya pada filsafat.
Ternyata secara tidak langsung gaya penalaran Descartes tidak hanya diterapkan pada filsafat, tetapi juga atas ilmu-ilmu lain. Ditulisnya Makalah tentang Dunia, Risalah tentang Metode. Bagian pertama tidak jadi diterbitkan karena ketakutan atas kondisi zaman. Pada saat itu Galileo yang mengungkapkan gagasan dunia yang mengitari matahari, dihukum mati karena dia menyangsikan tradisi yang sudah lama dipegang dan diyakini kebenaranya. Descartes yang isi karya pertamanya tentang dunia mendukung pendapat Galileo, takut bernasib sama. Dia tidak jadi menerbitkan karyanya. Kemudian dia memilih menulis denagn cara yang lebih halus Risalah tentang Metode. Mengkaji dan menjabarkan metode dinggapnya lebih aman karena abstrak. Memang pokok bahasanya tidak jauh dari karya pertama yang gagal terbit, bahasanya tetap tentang dunia, tuhan dan jiwa tetapi denagn menyangsikan pengetahuan terdahulu. Risalah tentang Metode penuh nada penyelamatan diri dan basa-basi kehati-hatian. Jangan menyingung orang lain walaupun merasa menemukan sesuatu yang baru.  
Bisa disimak 59 halaman risalah tentang metode yang terdiri dari enam bagian, berikut akan diringkas gagasan utama setiap bagian. Bagian pertama membahas masalah ilmu-ilmu dengan menyebutkan akal sehat yang dimiliki semua manusia dengan intensitas yang berbeda-beda. Akan tetapi itu tidak menjadi masalah, yang terpenting kemampuan itu digunakan. Descartes tida menggap dirinya lebih unggul dari yang lain, dia bersukur diberi kesempatan merumuskan metode tentang kemampuan daya nalar manusia, dalam hidup yang pendek ini. Sikapnya pada ilmu-ilmu ditunjukan dalam bagian ini. Pengetahuan budaya tetap kabur, pengetahuan bahasa memang berguna, puisi memang indah tetapi memerlukan bakat, tetapi kekagumanya tetap pada matematika yang dianggapnya belum dimanfaatkan kemungkinannya secara cemerlang. Filsafat memang rancu dnegan gagasan-gagasan yang bertentangan. Kahirnya dia memutuskan akan belajar dari alam raya dan dirinya sendiri.
Bagian kedua, menjelaskan tentang kaidah pokok metode. Penjabaranya adalah bahwa yang dikerjakan satu orang lebih utama dari yang patungan. Cotohnya dari arsitektur, aturan kebudayaan dan tatanegara, tidak perlu ditirukan. Lebih baik mencabut akar semua pendpaat orang lain, dan mengikuti pendapat sendiri. Metode aljabar dan geometri perlu dilengkapi ddengan metod elain yang memiliki kelebihan. 1) tidak menerima apapun sebagai benar, kecuali diyakini sendiri. 2) memilah masalah menjadi bagian terkecil agar mudah diselesaikan. 3) berfikir runtut, sedikit-sedikit, dari sederhana sampai yang rumit. 4) perincian lengkap dan menyeluruh perlu supaya tidak ada yang terlupakan. Demikian Descartes menerapkan aljabar dan geometri ssambil menambal kekuranganya dengan obsesi metodenya bisa diterapkan untuk segala sesuatu, sehingga objek penelitian menjadi jelas dan terang.
Bagian ketiga, menyebutkan beberapa kaidah moral yang menajdi pegangan baik sebagai penerapan metode di atas maupun sebagai landan metode.
Bagian keempat, menyatakan pengabdianya pada kebenaran, dan kesalahanya yang sering terkecoh secara indrawi. Kebenaran eksistensial bahwa Descartes benar-benar ada dan eksistensinya sempurna, karena keberadaanya berdasar pada pengyangsian.
Bagian kelima, mengungkapan tegas dualitasnya atas tubuh dan jiwa. Segala sesuatu yang ada dalam tubuh manusia dan alam dikerjakan secara mekanis. Tubuh sebagai mesin ciptaan tuhan yang memiliki kelebihan. Yang penting dalam bagian ini, jiwa sebagai seuatu yang bernalar menyangsikan adalah abadi. Jiwa tidak mungkin mati bersama badan.
Bagian keenam, mengungkapkan keharusan untuk membuka semua pengetahuan yang dimiliki untuk menajid pengetahuan umum. Pengetahuan spekulatif tentang kemampuan api, air, udara, dan planet-planet, dapat menjadi pengetahuan praktis. Dengan pengetahuan itu kita akan menajid penguasa dan pemilik alam.
Dari keenam bagian tersebut dapat disimpulkan, pengtingnya pengetahuan spekulatif untuk selanjutnya dibuktikan dalam eksperimen-eksperimen. Descartes memulai gaya berfikir rasionalitas axiomatic yang diturunkan dari logika dan matematika. Penglihatanya atas pengetahuan adalah segi instrumentalisnya untuk mewujudkan manusia yang dapat menguasai alam dengan rasionalitas instrumental yang ditopang keyakinan pada tuhan. Demikian Descartes dengan risalah tentang metode mengungkapkan kote etik atau metodologi umum bagi ilmu-ilmu, meta-metodologi.
----
Dualitas Descartes antara subjek manusia yang bercirikan kesadaran dengan objek fisik yang diteliti, adalah dasar semua pandanganya. Sebuah bentuk penjarakan atas dunia. Lalu bagaimana kedudukan ilmu-ilmu yang bukan berupa objek fisik dapat dibenarkan? Bagaimana pula keabsahan metode yang ahrus ditempuhnya. Descartes mnegisolasi subjek hanya sebagai yang melakukan pengamatan, tidak sebagai bjek penelitian. Lalu jiwa memang harus didudukkan pada posisi nyaman subjek sebagai pengamat. Hal tersebut ditegaskan oleh Kant, karena memang jiwa bukanlah fenomena (yang tertangkap oleh ruang dan waktu, serta mencangkup akal denagn kategori kausalitas). Kant memisahkan objek fenomena dengan nomena (wilayah kebebasan manusia yang bermoralitas. Lalu bagaimana dunia batin bisa dijadikan objek pengetahuan. Setelah kant dan Descartes mendudukankanya pada posisi mantap nomena.
Hal tersebut kemudian mendapat tanggapan dari hegel dan dilthey. Hegel denagn roh objektif, berusaha menyelamatkan roh yang menurutnya empiric dan dapat diteliti, karena telah terobjektivikasi. Melalui pembagian dilthey atas ilmu nature dan geist. Maka perkembangan itu menuntut metode baru. Dilthey merumuskan keprihatinannya berdasar pada esai-esai yang Scopenhauer. Historisisme yang digagas dilthey belum matang, maka Scopenhauer mengungkapkan. 1) ilmu metupakan konsep umum sehingga selalu melibatkan spesies, sedang sejarah selalu bicara tentang hal  individual particular 2) sejarah merupakan objek lampau yang tidak dapat di uji melalui eksperimen. 3) sejarah sebagai keseluruhan peristiwa lampau, hanya bisa difahami sebagai urutan.
Hal tersebut oleh dilthey ditanggapi, bahwa memang sejarah harus ditunggu kelengkapanya. Dengan menggabung minat filsafat dan sejarah dilhey membedakan dua kelompok filsuf, yaitu yang di kutub ilmu matematika fisika, dan ilmu historis politis. Karya dilthey mengcangkup masalah filsafat psikologis, seni dan estetika. Kesemuannya itu menuntut pemahaman diri melalui apa yang disebut historisisme. Pada titik ini jiwa manusia sebagai sesuatu yang unik mendapatkan tempat khusus. Selanjutnya pendasaran atas kedudukan khusus jiwa manusia dalam sejarah filsafat sesuai bagan berikut.
FILSAFAT
EPISTEMOLOGI
METODOLOGI
Filsafat dualistic Descartes, dikotomi subjek-objek
Epistemology objek dengan jaminan kebenaran ilahi
Fenomen 1 kant (ruang waktu dan ketegori kausalitas)
Triade
Sangsi-kesadaran-kebenaran
Logika
Deduksi-matematis
Hipotesis-spekulatif
Romantisme Schleiermacher denagn otonomi dunia emosi subjek

Lebensfilosofie dilthey emosi+tindakan
Understanding and the other, sebagai subjek kreatif= lewat naskah
Objek =naskah klasik
Sastra teologi jurisprudensi

Erlebnis-ekspressien-vestehen
Metode understanding dalam filologi



Understanding membedakan nature and geist
Rasio neokantianisme windelband


Rickert 
Neo Kantian dengan dua metode



dijabarkan menurut prinsip formal dan material
Natur=nomotetis=generalisasi dan hukum
Kultur =ideografis=enigmalig

Generalisasi natur
Individualisasi geist
Linguistic of being gadamer
Dasein haidegger menjadi terfahami lewat bahasa dalam konteks tradisi dan otoriras melihat
Triade bahasa-eksistensi-pemahaman
Interpretasi dasein lewat kebahasaan disanggah habermas bahasa adalah dominasi

Lalu bagaimana kaitan subjek dalam kedudukanya sebagai manusia yang memiliki dorongan dan kebutuhan utilitarian? Bagiaman kepentingan utilitarian atas ilmu memiliki pendasaran metodologisnya?
Pendudukan Descartes atas subjek sebagai pengamat, dan pendudukan berikutnya subjek sebagai objek penelitian. Apakah dua pendudukan metodologis itu akan berjalan sendiri-sendiri? Lalu bagaimana perkembangan ilmu dengan teknologi dan politik bisa mendapatkan pendasaran metodologisnya?
Lalu kualitas apakah dari manusia yang hendak kita lihat setelah kita dilengkapi metode itu?