**dimuat dalam buku kumpulan esai Nyanyi Sunyi Sastra Indonesia, Terbitan balai Bahasa 2014
A.
PENGANTAR
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada
(Amir Hamzah, dari
karya puisi Insaf)
Beberapa waktu yang lalu, saya makan di
sebuah rumah makan di Kota Yogyakarta. Ada satu kejadian yang menganggu
kenikmatan makan saya. Seorang anak kecil, sepertinya masih tingkat sekolah dasar.
Sedang duduk di depan televisi, dan senyum-senyum sendiri. Tanganya cekatan
menganti channel ke acara yang dia
sukai. Anak itu sudah menemukan channel
yang tepat. Sebuah acara talkshow,
tentang desas-desus selebritis. Saya kembali melihat anak itu asik
senyum-senyum, sambil matanya
konsentrasi penuh pada layar kaca.
Sebenarnya kejadian itu bukanlah sesuatu
yang aneh. Dalam keseharian saya, juga mungkin keseharian kita semua. Sering
kita jumpai orang-orang yang asik dengan layar kaca. Baik itu gedget ataupun bentuk teknologi layar
lainya. Dan sudah lama, hal itu kita anggap sebagai sebentuk kewajaran saja.
Tapi bagaimana jika kesibukan di depan
layar kaca itu dilakukan oleh seorang anak kecil? Apalagi yang sedang dilihat
adalah sesuatu yang kurang tepat. Sekali
lagi, itu semua juga tidak terlalu menjadi masalah yang besar. Kehidupan
kebudayaan sehari-hari kita secara umum, memang mengijikan itu sebagai sesuatu
yang wajar saja.
Cerita pada paragraf di atas hanya saya
maksudkan sebagai sebuah pengantar. Semacam jalan awal, untuk kita masuk secara
lebih dalam ketika melihat fenomena sejenis di atas. Tidak mengijinkan kejadian
di atas sebagai bentuk konskuensi wajar globalisasi dan dominasi budaya layar.
Tapi bagaimana, identitas kemanusiaan kita telah dibentuk dan sekaligus dibunuh
berlahan oleh dominasi budaya yang menawakan segalanya dalam bentuk kecepatan.
Sebuah dominasi budaya kecepatan. Bentuk
paling menakutkanya adalah teknologi, fungsinya sebagai perpanjangan panca
indra manusia untuk mempermudah kehidupan berubah. Alat-lat itu menjadi panca
indra kita, dan kita tidak mampu mengendalikan geraknya. Dalam kondisi
kehidupan budaya yang seperti itu, kita bisa bertanya lantas di mana posisi
kesusastraan kita? Untuk apa menghadapkan semua persoalan di atas di depan muka
kesusastraan kita? Kenapa harus sastra?
Dalam dunia sastra semuanya serba
berlahan-lahan. Tidak ada yang instan. Orang harus meluangkan waktu untuk
membaca ataupun mencipta karya sastra. Sastra mengajak kita masuk dalam alam
penghayatan. Maka menjadi menarik menghadapan dua persoalan antara dominasi
budaya layar dengan kesusastraan. Dua bentuk kebudayaan yang sangat berbeda
karakter. Dimana yang satu, dalam kondisi kontemporer sekarang sedang sangat
digandrungi dan meluas tanpa batas. Sementara yang satunya lagi, mungkin hanya
bisa kita dengar sunyi nyanyiannya.
Esai terbatas ini hanya ingin mengajak,
sejenak kita mendengar suara sunyi sastra Indonesia. Suara sunyi di tengah
hiruk pikuk kehidupan kebudayaan layar kita yang penuh dengan keindahan dan
kebisingan artifisial. Sambil lalu bertanya, apakah kita masih menjadi manusia?
Setelah setiap saat diburu waktu. Setiap saat dituntut mengkonsumsi berbagai
hal tanpa pernah melihat nilai guna. Dituntut secara tidak sadar untuk duduk di
café, berganti-ganti gedget,
menerobos batas-batas ruang dan waktu melalui koneksi, mencari hiburan-hiburan
yang sejenak bisa melupakan kepenatan, sejenak saja tapi.
Sambil lalu juga, kita bisa bertanya apa
yang ditawarkan sastra Indonesia dengan kesunyiannya? Sebagai sebentuk budaya tandingan atas
dominasi budaya layar. Jika itu semua kita lihat sebagai sebentuk keseriusan
komitmen budaya. Kita tidak bisa memfikirkanya sambil lalu saja.
B.
MERAYAKAN KEDATANGAN BUDAYA LAYAR, MELUPAKAN SASTRA
Secara
umum kita bisa berpegang pada pemahaman, kebudayaan sebagai suatu proses keberlangsungan
hidup sehari-hari manusia dalam dunianya. Atas pemahaman tersebut lantas dalam
sebuah kelangsungan kehidupan budaya, jelas menuntut partisipasi manusia
sebagai individu maupun kelompok. Membaca kebudayaan adalah membaca keseharian
kehidupan kita. Lantas, cerita yang saya tulis sebagai pembuka esai ini,
menjadi relevan untuk kita gunakan membaca kondisi kehidupan budaya kita.
Sebuah
kondisi budaya yang pada titik awalnya bermula dari ambisi manusia. Ambisi untuk menerjang segala keterbatasan
dalam dirinya. Pada puncaknya yang paling ambisius, melahirkan abad teknologi.
Sebuah zaman, ketika realitas didominasi oleh jaringan-jaringan rumit, khas
teknologi tingkat tinggi, yang itu semua pada tesis awalnya bertujuan mulia,
“memudahkan kehidupan manusia”.
Globalisasi informasi, khususnya perkembangan
mutakhir teknologi internet. Semua itu telah membawa perubahan besar dan
mendasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global.
Pengertian-pengertian konvensional tentang masyarakat, komunitas, komunikasi,
interaksi sosial serta budaya, mendapatkan tantangan besar dengan telah
memasyarakatnya teknologi informasi yang berbasis layar itu. Realitas-realitas
sosial dan budaya yang ada mendapatkan tandingan dari budaya layar, yang pada
akhirnya mengaburkan perbedaan mana realitas yang nyata, dan mana yang virtual.
Kondisi dominasi budaya layar tersebut juga
berpengaruh bagi individu. Budaya layar baik sistem jaringan internet, televisi
maupun yang lainya, telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman
kita tentang identitas. Tegasnya, media komunikasi yang berbasis layar telah
melenyapkan batas-batas indentitas manusia sebagai individu. Di dalamnya setiap
orang bisa berpura-pura menjadi orang lain. Kita digiring berlahan untuk
mengalami kekacauan indentitas kemanusiaan kita, yang pada puncaknya adalah
kematian identitas kemanusiaan.
Pada saat seseorang memegang remote control, sesunguhnya bukan berarti ia sedang mengendalikan
suatu acata TV. Akan tetapi, ia sedang memproyeksikan dirinya untuk menjadi
seperti apa yang ada di layar kaca. Nilai-nilai yang tanpa batas, dengan
konsepsi hidup menjadi sesuatu proses yang serba mungkin. Berbelanja tanpa mengenal
tanggal tua, seperti dilakukan Si Doel dan Mandra. Doraemon sedang mengajarkan
anak-anak di tanah air untuk berfikir hidup ini gampang, nothing imposible.
Jika, realitas zaman ini telah didominasi oleh
segala sesuatu yang bertumpu pada layar virtual. Dari sanalah manusia
dilahirkan, dari layar-layar teknologi tingkat tinggi, dari sistem jaringan web
rumit yang menerjang segala batas ruang dan waktu.
Atas semua kondisi tersebut, kita tidak pernah
menganggapnya sebagai permasalahan yang serius. Buktinya, kita tetap membiarkan
anak-anak menonton televisi tanpa henti, berselancar di dunia maya tanpa
batasan, dan kadang kita juga ikut melakukan itu dan berada di samping mereka.
Maka menjadi relevan jika kedatangan budaya layar saya sebut sebagai sesuatu
yang harus kita rayakan. Kita tidak pernah merasa sedang ditundukkan di bawah
budaya layar, dimatikan dimensi-dimensi kemanusiaan kita, kita nikmat sekali
menggeluti budaya layar. Lalu kata apa yang paling pas digunakan selain
“merayakan” untuk mengambarkan sikap kita tersebut.
Kini kita bisa dengan mudah menemukan orang yang
sedang sibuk dengan layar kaca di tangan. Baik itu hand phone, tab, dan berbagai jenis gadget lainya. Dalam kondisi tersebut dimana sastra kita berada?
Mungkin kita bisa memahami bahwa mencipta karya
sastra memerlukan bakat, atau paling tidak kemampuan dan keseriusan yang
ekstra. Tapi membaca karya sastra bukankah hal yang mudah? Asal setiap orang
bisa membaca, dan bersedia meluangkan waktunya. Menyisakan sedikit waktu dari
kesibukan mereka, untuk membaca. Tapi hal itu terbukti sangatlah sulit, tetapi
bukan berarti tidak bisa.
Dalam arah kehidupan kita yang didominasi orientasi
pragmatis dan kapital yang muaranya jika kita telusuri adalah materialisme.
Lebih mudah melupakan sastra. Untuk apa membaca sastra, lebih baik berselancar
di dunia maya, memperluas jaringan bisnis, memuaskan hasrat kita akan kecepatan
koneksi tanpa henti dalam jejaring sosial virtual.
Sastra tidak memberikan manfaat yang jelas secara
material akan kehidupan manusia. Lalu untuk apa kita membacanya. Kita bisa
berasumsi bahwa anggapan itulah yang telah menjangkiti masyarakat kita.
Anggapan itu lagi-lagi diperparah dengan perkembangan teknologi layar virtual,
juga kapitalisme dalam berbagai dimensi kehidupan.
Perkembangan budaya layar mempermudah urusan
manusia. Sampai pada titiknya yang paling ekstrim manusia menjadi manja. Tidak
lagi membutuhkan bertemu orang lain secara langsung karena semua telah
terhubungan koneksi data internet. Tidak lagi membutuhkan waktu senggang untuk
menghayati kemanusiaanya.
Kebutuhan mendesak manusia adalah keasikan hiburan
berselancar dalam dunia maya, menonton televisi, dan asik dengan layar HP.
Konskuensi dari itu semua, sastra harus dilupakan. Lebih mudah dan nikmat
berselancar dalam dunia hiburan budaya layar. Menikmati ektase yang meriah
dalam koneksi kecepatan data internet dan hiburan artifisial televisi. Dalam
kemeriahan dunia budaya layar, pada hakikatnya manusia sendiri dalam kesepian
identitas, akan tetapi, ia bisa menerobos ruang dan waktu kesendirianya, melupa
dalam nikmat ektase hiburan-hiburan layar, yang sejenak saja melupakan manusia
dari kepenatan kehidupannya.
Di depan itu semua sastra menjadi tidak menarik, dan
harus dilupakan. Tapi apakah dengan itu semua kita sudah cukup, dan telah
menjadi benar-benar manusia yang otentik? Dunia dengan budaya layar telah
melepaskan manusia dari realitas budaya dan sosialnya. Membuat manusia tidak
peka, termasuk juga dengan kebutuhanya akan perenungan atas kemanusiaanya.
Berikut puisi Goenawan Mohammad mungkin bisa lebih menyentuh relung
estetik kita, kaitanya dengan persoalan yang telah dipaparkan
Kepada Kota
Apabila engkaulah cinta, lepaskanlah, kota
Dari guhamu beribu gema
Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap
Deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap
Apabila engkaulah setia, tenangkanlah cinta, kota
Hatimu yang mendengar semesta dunia
Biarkan kini kita terjaga
Biarkan bumi semakin bergesa
C.
RUANG
SUNYI SASTRA: SEBUAH TAWARAN UNTUK
KEMANUSIAAN
Segala
dimensi dalam kehidupan manusia, prilaku, sistem sosial, tata nilai, seni, dan
ekonomi, adalah sebuah proses yang lahir
dari keterlibatan manusia dengan lingkungan budayanya. Lingkungan budaya
dibentuk sekaligus juga membentuk manusia. Begitupun karya sastra, adalah
produk yang dibentuk manusia dan juga akan membentuk manusia.
Karya
sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan maupun peradaban. Dalam
sebuah diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Prof.Abdul Hadi WM
menyinggung masalah otentisitas produk dari suatu peradaban kebudayaan. Abdul
Hadi, mengatakan bahwa yang otentik sebagai suatu pembeda dari sebuah produk
peradaban yang satu dengan lainya, adalah sastra dan filsafat. Pemikiran
filosofis dan karya sastra dari berbagai belahan dunia pasti berbeda-beda.
Karya
sastra dibentuk dan pada akhirnya akan membentuk manusia. Hubungan dialektik
antara proses membentuk dan dibentuk dalam kebudayaan adalah sesuatu yang
kehadiranya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan
sebuah irama dalam kehidupan manusia. Irama yang sangat menentukan dalam usaha
pencapaian pribadi manusia yang unggul.
Irama
yang dimaksudkan adalah sebuah proses saling ganti-mengganti. Irama tersebut
secara nyata terwujud dalam dua proses. Pertama, keharusan manusia keluar dari dirinya sendiri,
bergaul dengan manusia dan masyarakat dunia. Pada titik inilah manusia
membentuk realitas budayanya. Kedua,
keharusan manusia kembali pada dirinya sendiri. Melakukan perenungan atas
hubungannya dengan dunia luar. Kedua irama ini saling mempengaruhi, saling
menentukan. Seandainya manusia tidak keluar untuk berjumpa dengan dunia, maka
kehampaan dan kesepian menjadi nasibnya. Sebaliknya, bila manusia tidak pulang
pada dirinya sendiri, maka manusia akan terasing dari dirinya.
Dua
irama dialektik tersebut apakah masih bisa berjalan dengan sempurna? Ketika
kehidupan budaya kita telah didominasi budaya layar. Sebuah budaya yang secara
hakiki menawarkan segala bentuk kemudahan dan kenyamanan.
Manusia
harus kembali pada dirinya. Masuk dalam suasana hening penghayatan akan
kedirianya, juga perenungan akan aktivitas yang telah dilakukannya. Pada proses
dialektika kedua inilah sastra dengan dimensi kesunyiannya yang dalam dan
subtil seharusnya mengambil peran.
Bila
manusia hendak melakukan penghayatan atas dirinya. Kembali pada dirinya.
Setelah terlibat dalam keriuhan realitas budaya layar. Manusia hendaknya
pulang. Akan tetapi ketika manusia pulang, dunia yang ia tinggalkan tetap
melekat pada dirinya. Kita pulang dengan membawa oleh-oleh, kesan-kesan. Proses
kembalinya manusia pada perenungan atas dirinya sendiri, memerlukan cermin,
semacam batu loncatan untuk lebih mudah menjalankan proses kedua dalam
dialektika kehidupanya tersebut.
Romo
Dick Hartoko, megungkapkan bahwa salah satu cermin yang bisa digunakan manusia
dalam proses kedua itu ialah buku. Terutama buku yang dengan intuisi seorang
penyair, menafsirkan hidup manusia dengan dunianya.
Pada
titik inilah sastra mendapat kedudukan yang pas. Sebagai sebuah budaya tanding
atas dominasi budaya layar. Buku-buku sastra diperlukan manusia. Akan tetapi
yang lebih penting adalah kesediaan untuk meluangkan waktu. Tentu kita tidak ingin
anak-anak negeri ini yang masih kecil kecanduan layar, dan menjadi budak
televisi. Jika memang benar seperti itu kita harus memulai itu semua dari diri
kita.
Memang
harus diakui bahwa sastra adalah pergulatan manusia dengan kehidupanya, yang
dibentuk menjadi semacam ramuan ajaib yang secara sekilas hanya sunyi yang
ditawarkanya. Tidak ada keriuhan artifisial dalam membaca maupun mencipta karya
sastra. Tidak ada kenikmatan-kenikmatan fisik dan materi yang benar-benar
berarti dari kegiatan sastra. Karena, memang bidikan sastra bukanlah semua
itu. Bidikan sastra adalah kekuatan jiwa
dan mental manusia. Kadang untuk mencapai bidikan itu fisik dan materi kita
harus benar-benar sengsara dan terkuras habis.
Segala
gerakan manusia tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. Membaca karya sastra,
maupun mencipta karya sastra adalah berhenti pada satu titik ruang dan waktu
tertentu. Setelah realitas kita didominasi oleh budaya layar yang meringkas
segalanya dengan kecepatan yang maha. Maka waktu hanya kita hayati sebagai 24
titik mekanis jarum jam yang seolah sangat cepat. Bahkan penghayatan kita akan
waktu telah mati, karena koneksi dalam budaya layar bisa menerobos segala dimensi
ruang maupun waktu.
Sebagai sebuah
alternatif untuk menghayati kemanusiaan. Sastra telah jelas memiliki
keunggulan. Akan tetapi kita dihadapkan lagi pada persoalan teknis. Bagaimana
meluangkan waktu dalam gerak budaya yang serba terlipat dan terburu-buru ini?
Jangankan untuk sekadar meluangkan waktu, bahkan persepsi dan orientasi kita
tentang waktu telah begitu kacau, akibat pemapatan ruang dan waktu yang terjadi
melalui koneksi yang maha tinggi dalam kebudayaan layar.
Saya teringat, seoang filsuf prancis
Gaston Bachelard. Mantan guru fisika dan kimia yang pada periode awal
pemikiranya banyak menulis tentang filsafat ilmu pengetahuan. Sampai pada suatu
waktu dia merasa benar benar telah bosan terjebak dalam rutinitas akademis.
Seorang muridnya dalam sebuah kuliah berkata “dunia Bachelard adalah dunia yang
dipasteurisir” (ajeg dan steril). Sejak itu ia mulai tertarik pada dunia seni
khususnya masalah tentang poetika, -imaji-imaji dalam sastra- yang melepaskan
manusia dari segala bentuk kotak-kotak filosofis dikotomis.
Sepertinya kita bisa berasumsi, - tentu
anda punya hak tidak setuju dengan
asumsi saya- bahwa kehidupan kita
sekarang telah begitu steril dan ajeg. Jika Gaston terjebak dalam rutinitas
akademik yang ketat. Kita sedang terjebak dalam dunia yang disterilkan oleh
budaya layar. Budaya layar dan kapitalisme, dalam bentuk paling ekstrim
teknologi telah melipat-lipat dunia kita. Kapitalisasi dalam selaga aspek
kehidupan, menuntut kita untuk berekerja terus tanpa libur, bergerak dan
bergerak. Kehidupan kita disterilkan dalam layar-layar produk teknologi. Dan
kita bahagia.
Menjadikan manusia terjebak dalam
kecepatan yang mengasikkan. Kemanusiaan kita berlahan dibunuh, dengan cara yang
sangat nikmat dan memanjakan. Nikmat dan manja dalam keahagiaan semu. Beralih dari FB, Twitter hingga video call. Dari Fried chicken ke
bergunung-gunung makanan siap saji lainya. Dari satu tempat hiburan ke tempat
hiburan yang lain. Mari kita lihat suasana kota kita, jam berapakah jalanan
benar-benar sepi tanpa kendaraan?. Waktu
hanya kita fahami 24 titik yang berputar menakutkan di jarum jam itu. Kamar di
rumah tempat tinggal kita sekadar ruang singgah sebentar saja. Dan kita harus
bergerak!, kita harus berlari!, jangan diam!, sunyi itu menakutkan!!. Puisi
Romo Mudji Sutrisno cocok untuk melukiskan keadaan tersebut.
Mesti
bergegas dalam tubuh-tubuh tergesa
Tanpa
hening proses
Perang.
Piring berhemburan pecah dalam keping hati
Dia
ditikam gegas langkah
Tanpa
renung arah
Di zaman ini yang layak berarti dan
disebut berguna adalah kecepatan itu sendiri. Karya seni dengan segala bentuk
keberlahan-lahananya tidak ada guna. Karya seni khususnya sastra membutuhkan
penghayatan dalam menikmatinya. Hendak dengan dalil apa, kita berkata dalam
kecepatan yang merajalela ada penghayatan. Kita berlari mencipta tanda-tanda
–produk budaya- yang mengagumkan, tapi dibalik itu kosong. Gerak kecepatan kita
didekte oleh produk-produk yang menciptakan hasrat tanpa henti. Logika yang
kita gunakan dalam konsumsi produk-produk adalah membeli kepuasan memperoleh
ketidakpuasan. Saat meilhat layar kita melihat keterpesonaan tapi kita
memperoleh kehampaan. Maka di depanya kita harus faham, sangat sulit untuk
melawan. – sengaja saya gunakan kata tunjuk kita, karena saya juga sedang hidup
dan bergumul dalam zaman kecepatan itu-.
Dihadapan karya sastra kita harus diam.
Menghayati waktu antropologis – gagasan filsuf Maurice Marleu Ponty-, bukan
lagi waktu mekanis dalam gerak jarum jam. Waktu antopologis yang muncul karena
kehadiran kita sebagai subjek. Ketika apa yang di depan kita, merangkum segala
yang terjadi di masa lalu, dan sekaligus yang akan datang. Misal, ketika
membaca novel, yang kita baca bukan saja sebuah tulisan yang berbentuk material
dalam buku itu. Tetapi dengan satu cara kita juga melihat tulisan lama yang
pernah ada dan tidak terlihat lagi, dalam diri kita. Serentak juga ada gambaran
tentang tulisan-tulisan yang akan datang –semacam proyeksi makna-.
Penghayatan waktu antropologis adalah
titik awal kita, untuk mencapai ruang sunyi bersama buku sastra. Jika telah
pada titik itu, sastra bisa kita gunakan untuk mempertanyakan dan menghayati
dimensi kemanusiaan kita yang maha luas dan rumit.
D.
PENUTUP
Budaya
layar yang menawarkan segalanya dalam bentuk instan. Manusia dicetak menjadi
mahluk-mahluk mati, dengan hasrat konsumsi hiburan dan kecepatan data yang tak
terbendung. Segala usaha dasariah dari sifat manusia untuk memertanyakan jati
diri kemanusiaannya berusaha dimatikan. Rasionalitas dan kepekaan jiwa kita
dimatikan melalui koneksi-koneksi dan kemudahan-kemudahan yang menuntut kita
terus bergerak, berpacu, tanpa henti.
Sastra
hanya terdengar nyanyi sunyinya,itupun hanya bagi mereka yang sedia untuk
meluangkan waktu. Mundur dari rutinitas kecepatan. Kembali pada dirinya
sendiri. Menghayati kedirianya mencari celah ruang sunyi di tengah hiruk pikuk
artifisial budaya layar.
Dalam
kondisi yang seperti sekarang, kita tidak dituntut melawan dengan berteriak.
Melawan dengan diam. Melawan dengan sastra. Melawan dengan kemanusiaan. Dalam
sunyi penjara Pramoedya Ananta Toer, melawan dengan kemanusiaan dan jiwanya.
Pram diam tetapi jiwanya yang terpantulkan lewat karya sastranya, bergriliya
menyentil relung-relung kemanusiaan manusia zaman itu hingga sekarang.
Tetapi
lagi-lagi kelakone ilmu kanthi laku.
Bukankah begitu ?
Daftar Pustaka
Dick Hartoko. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta:
Kanisius
Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan
Digital. Jakarta: Grasindo