-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Minggu, 30 Desember 2012

MARI MISUH PADA DIRI SENDIRI


Misuh, kata ini cukup trend di daerah jawa timuran, entah sebenarnya secara etimologis atau terminologis misuh itu definisinya apa, saya belum tahu. Saya memahami kata misuh itu sebagai kalau dalam bahasa indonesia itu umpatan. Misuh itu biasanya dilakukan  ketika kita marah dengan seseorang, ada berbagai jenis kata yang biasanya digunakan untuk misuh dan cukup populer sebagai berikut, : dancuk, asu, bajingan, bangsat dan masih banyak lagi.
Misuh itu menurut saya adalah ekspresi budaya rakyat jelata kita terhadap berbagai tatanan kehidupan sosial yang merugikan dirinya. Ada pihak-pihak yang merusak tatanan sosial masyarakat dalam segala bidang baik ekonomi, budaya, dan lain-lain, pihak-pihak itulah yang biasanya menjadi sasaran pisuh-an masyarakat. Tetapi dewasa ini misuh sudah menjadi sesuatu yang biasa, kita dibohongi orang misuh, ban motor kita kempes di jalan juga kita misuh-misuh, sampai tetanga saya di kampung karena tak dapat BLT lalu berkata “ SBY ASU, Pemerintah bajingan”.
Banyak orang yang mengatakan misuh sebagai sebuah prilaku tak terpuji. Mungkin orang yang berkata begitu tidak pernah dihadapkan pada kenyataan sosial yang begitu menghimpit sehingga misuh adalah pelampiasan paling murah. Orang yang mengatakan misuh itu tak terpuji mungkin tak pernah merasakan sulitnya rakyat kecil dalam keterhimpitan indutrialisasi harus mencari sesuap nasi. Sulitnya tukang becak mencari penmupang ditengah menjamurnya Taxi dan angkutan umum bermesin lainya. Kalau memang kita terlahir sebagai keluarga yang secara ekonomi mapan, kita tak perlu ikut-ikut jadi tukang becak, kita hanya perlu melihat apa yang ada dibalik relitas, mata kita harus kita latih untuk lebih tajam melihat sebuah bingkai peristiwa. misuh itu adalah keseharian rakyat kecil kita, tukang becak, glandangan, preman, kernet, sopir bus, petani, buruh mereka sangat dekat dengan budaya misuh itu.
Kalau kata cak nun (ehma ainun nadjib) Agama memang mengajarkan pada kita untuk berkata yang baik-baik, tetapi dalam kondisi yang begitu tertekan misuh itu boleh . Yang harus dipersoalkan bukan misuhnya, tetapi apa yang mendorong misuh itulah yang harus kita lihat dengan cermat. Apakah kita akan menyalahkan dan mengharamkan prilaku misuh rakyat kecil kita yang termiskinkan oleh sistem negara yang tak pernah memihak pada rakyat. Bukankah negara yang tak memihak  pada rakyat itu dancuk namanya. Apakah kita akan menyalahkan rakyat yang mengatakan pemerintah itu dancuk, sementara dalam buktinya memang rakyat kecil kita seperti anak ayam tanpa bapak.
Sekarang ada inovasi dari saya, bagaimana kalau mulai sekarang kita (termasuk yg nulis) belajar untuk misuh i diri kita sendiri. Biasa kalau kita misuh atas kesalahan orang-orang lain disekitar kita. Mari kita coba belajar menyalahkan setiap perbuatan kita yang sangat bodoh. Saya sudah tahu kalau melihat gambar-gambar porno itu adalah keburukan dalam berbagai aspek, tetapi kadang-kadang saya juga masih mengulang melihat gambar porno. Bukankah ini sangat bodoh. Maka beranikah saya mengatakan bahwa saya ini DANCUK, ASU, BAJINGAN,. Kadang saya juga masih mengelak, bukankah melihat gambar porno itu manusiawi. Inilah manusia, inilah saya yang semakin hari semakin cerdas tetapi semakin sulit untuk menjadi manusia yang paling manusia. Jadi semakin saya cerdas semakin pula saya pandai membungkus keburukan menjadi kebaikan. Lalu beranikah saya berkata DANANG DANCUK TENAN, DANANG ASU TENAN. Sudah sangat jelas konsep bahwa bohong itu perbuatan tercela dan hina, tetapi saya kadang juga masih berbohong untuk menyembunyikan kejelekan saya. Bukankan saya asu dalam sikap itu.
 Memang butuh keberanian untuk kita dengan tegas menertawakan atau misuh-i semua kelakukan kita yang sangat lucu. Ini sangat akan bermanfaat jika koruptor berani misuh-i dirinya sendiri, KPK dan polisi tidak akan begitu aktif bertugas, jika koruptor setelah melakukan perbuatan korupnya dengan tegas berani misuh-i dirinya sendiri, WAH ASU TENAN AKU, TIKUS MALING DUWIT NEGORO. Tetapi kalau memang para koruptor berani misuh i dirinya sendiri saya kok khawatir anggota dpr masuk penjara semua ya. Lebih asik lagi kalau presiden kita berani misuh i dirinya sendiri, WAH DANCUK TENAN, AKU IKI PRESIDEN OPO MOSOK KEKAYAAN ALAM TAK KASIHKAN AMERIKA, AKU BISA DIKENDALIKAN IMF DAN AMERIKA, AKU IKI PRESIDEN ASU TENAN, MESAKKE RAKYATKU. Sudah-sudah mari kita belajar misuh-i diri kita sendiri, mari kita menunduk memandang diri sendiri dan selanjutnya berkata lantang ASU TENAN AKU INI. Semoga gustiallah memberikan nikmat agar kita dicurahkan keberanian untuk misuh-i kelakukan kita sendiri, agar kita bisa menertawakan kebodohan kita. Amin.

kediri 30-12-12. ditengah hasrat untuk misuh-misuh pada diri sendiri

JIKA SAYA SEORANG SYIAH (Belajar Mencintai Manusia karena Kemanusianya)

Muslim, Hindu, Kristen Aku tak peduli
Syiah, Sunni. NU atau Muhammadiyah
Kau manusia, karena itu pandang pula aku sebagai manusia
Baru lihat embel-embelnya
(Sajak Kelahiran,karya  Abdul Hadi WM.)





Hidup di negeri yang sangat plural dalam segala hal itu tidak mudah. Berbagai tantangan harus siap dihadapi kaitanya dengan pluralitas. Akhir-akhir ini kesatuan dan pluralitas di negeri kita sedang diuji. Berbagai tindakan kriminalitas yang menyangkut keyakinan agama semakin marak. Mulai dari kasus penyerangan dan penuntutan pembubaran ahmadiyah, kasus pembekaran gereja, bom gereja hingga yang paling segar di inggatan kita adalah kasus penyerangan komunitas syiah di Madura.
Semakin banyak kelompok yang dengan lantang mengatakan bahwa keyakinan yang dianut adalah paling benar. Maka setiap keyakinan apapun yang berbeda dinggap salah. Saya sangat miris melihat hal ini, sekitar dua miggu yang lalu saat saya berdiskusi dengan komunitas syiah di Yogyakarta. Komunitas syiah itu menceritakan bagaimana penderitaan saudara-saudara syiah di Madura, yang di deskriminasi lahir batin. Setelah diskusi itu yang ada dalam benak saya hanya satu pertanyaan, apa yang terjadi pada diri saya andaikan saya seoarang syiah?. Di dalam esai ini saya akan berusaha menempatkan diri saya sebagai seseorang syiah. Namun tanpa bermaksud mengurangi netralitas dalam tulisan saya ini (meskipun jelas konten esai lebih cenderung kepada subjektivitas).
Jika saya menjadi seoarang syiah berikut adalah kemungkinan-kemungkinan kejadian yang akan saya alami. 1) saya pasti akan dilihat sebelah mata, karena selama ini mayoritas masyarakat Islam di Indonesia menggap komunitas syiah sesat. Hanya karena syiah berbeda dengan mayoritas aliran Islam di Indonesia lantas komunitas saya dianggap sesat. Apakah parameter sesat hanya karena perbedaan?. 2) jika saya seorang syiah pasti saya harus beribadah dengan dijaga polisi, atau paling tidak harus beribadah dengan penuh ketakutan jika sewaktu-waktu komunitas saya diserang, seperti yang terjadi di Madura. Selain itu saya harus siap menerima berbagai tindakan-tindakan kriminal. Pembunuhan, kekerasan, pengusuran seperti yang sudah terjadi pada komunitas syiah di Madura. 3) jika saya menjadi syiah, pasti saya akan menjadi komunitas yang terkucil dari pergaulan masyarakat di Indonesia. Dalam sebuah berita seoarang ulama garis keras menyatakan bahwa syiah kafir, sesat dan menyesatkan. Akibat fatwa ulama itu pasti akan membuat saya dijahui dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan mungkin bagi mereka darah saya halal, karena saya orang kafir. Hal tersebut juga akan mengakibatkan sulitnya saya mengakses berbagai fasilitas umum. Sebenarnya masih banyak lagi kemungkina kejadian yang akan saya alami jika saya menjadi seoarng syiah.
Jika kita amati berbagai kasus konflik atas nama agama, sebenarnya semuanya mengarah kepada satu hal yaitu kriminalisasi perbedaan. Setiap orang yang berbeda dengan mayoritas dinggap sesat, dan cap sesat ini pasti akan berakhir dengan tindakan anarkis, dan kriminal. Contohnya saja dalam internal agama Islam, kasus label sesat Ahmadiyah, dan Syiah, menunjukkan bahwa yang disebut Islam kian hari kian sempit. Semboyan bhineka tunggal ika sudah kita hianati. Kita selama ini hanya sebatas tahu bahwa Indonesia adalah negeri dengan berbagai keberagaman. Tetapi kita sebagai mayoritas tetap membuat bahkan membangun skat yang lebih tinggi untuk pembeda kita dengan komunitas mayoritas. Sudah waktunya kita sadar kebenaran milik semua orang, semakin banyak perbedaan semakin banyak pula yang bisa kita pelajari.
Kalau kerja kita hanya sesat-menyesatkan saya hawatir, tidak hanya syiah atau ahmadiyah yang kita cap sebagai komunitas sesat yang harus dibubarkan. Bahwa label sesat dari manusia tidak bisa dijadikan dalil untuk membasmi suatu keyakinan, keyakinan adanya di hati dan tidak bisa dibubarkan. Kita harus segera menyudahi episode pembenaran kelompok dan diri sendiri. Sudah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri, sudahkan kita menjadi manusia yang paling manusia, manusia yang mengerti manusia dan manusia yang memanusiakan manusia?.
Sudah saatnya kita mulai belajar melihat manusia karena kemanusiaanya, bukan karena embel-embelnya. Dengan begitu kita akan mudah mencitai manusia bukan karena, agama, suku, ras. Saya juga sedang belajar untuk mencintai manusia karena kemanusiaanya, mari kita belajar bersama.

Kamis, 27 Desember 2012

DIAMNYA SEORANG PENCARI


DIAMNYA SEORANG PENCARI

Aku pencariMU
Dalam lautan kata-Kata tentangMU
Beri aku nikmat untuk mendengar semua kata tentangMU

Aku pencariMU
Dalam setiap perselisihan tentangMU
Beri aku nikmat untuk melihat kejernihan dibalik perselisihan

Aku pencariMU
Dalam lautan fikiran-fikiran tentangMU
Beri aku nikmat ketulusan fikir untuk merenungkanMU

Aku pencariMU
Dalam lautan kesalahan tentangMU
Beri aku nikmat secercah kebenaran agungMU

Aku pencariMU
Dalam setiap hiruk pikuk duniaMU
Beri aku nikmat jalan kesunyian bersamaMU

Aku pencariMU
Dalam gelap dunia tanpa matahari
Beri aku nikmat terang cahayaMU

Aku pencariMU
Dalam setiap langkah dosa-dosaku
Beri aku nikmat kasi sayang maha maafmu

Aku pencarimu
Dalam jalan-jalan fantasi  remang maksiatku
Beri aku nikmat keindahan fantasiku tentangmu

Aku pencarimu
Ajari
Tuntun
Atau
Bila perlu
Sorong
Atau
Jongkrokke

Aku
Rela


YOGYA 25-12-12 

KITA DAN SANDAL JEPIT


3 hari ini saya berganti 3 kali sandal jepit. Dengan mudahnya sandal jepit itu saya gonta-ganti. Dimulai saat kumpul di HMI sampai pada saat acaranya cak nun. Karena memang dalam acara-cara itu cukup banyak orang, sehingga saya pun waton sarampang sandal, sekenanya saya pakai. Tidak lucu kalau saya harus mencari sandal jepit milik saya diantara lautan sandal jepit. Akhirnya ya, sekenanya saja saya ambil dan pakai yang penting sandal jepit. Kalau dahulu di pesantren kelakukan ini disebut nGosop, yang jelas saya agak keberatan jika kelakuan ini disebut mencuri, bagaimana bisa ini hanyalah model pertukaran sama nilai antar manusia, sandal jepit ditukar dengan sandal jepit. Tak ada yang lebih, sama-sama rendah mungkin hanya beda sangat sedikit mengenai ketebalan masing-masing sandal, yang jelas jika sandal jepit itu (di)ungkan tak akan bernialai apapun. Sangat beruntung jika ditengah bangsa yang kemaruk duwit ini ada orang yang mau membeli sandal jepit bekas, jika memang ada luar biasa bangsa ini, tapi saya kok ya haqqul yakin tidak akan ada yang mau.
Walapaun 3 kali berganti sandal jepit, ya ternyata rasanya tetap sama, tak ada keistemewaannya. Beda dengan ganti-ganti yang lain, kalau ganti istri mungkin tiap istri rasanya beda –mungkin,  saya juga belum pernah mencobanya- yang jelas nikmat memakai sandal jepit adalah nikmat luar biasa. Sandal jepit adalah simbol penjara yang paling bebas, bagaimana bisa kaki kita dipenjara sandal, tapi lihatlah si jempol atau jentik mu masih bisa tengok kanan-kiri tanpa malu. Inilah kehebatan mutakhir teknologi bangsa kita!!. Kaki kita ibarat jiwa kita, yang karena gerak dan langkahnyalah kualitas hidup kita ditentukan, sandal jepit adalah raga fisik yang memenjara jiwa.
 Pelajaran besar dari sandal jepit, sandal jepit begitu lentur mengikuti kemauan kaki kita, itulah sharusnya hidup kita. Seharusnya jiwa yang baik lah yang mengerakkan raga fisik kita, tapi dibangsa ini semuanya sudah mapan dengan budaya wolak-walik. Kita yang seharusnya dikendalikan jiwa malah kuwalik raga fisik yang mengendalikan diri kita. Kita telah lama dikuasai fisik kita, kita bahkan telah menindas jiwa kita hingga pada titik yang paling rendah. Kita telah membiarkan sandal jepit mengendalikan kaki kita. -Kalau boleh pinjam istilah gus mus,- Kita tak lebih dari budak-budak perut dan klamin –ingat kita disini termasuk semuanya, termasuk diri yang nulis tulisan ini- . Tampaknya sangat indah jika kita bisa menjadikan raga fisik kita seperti normalnya sandal jepit yang penuh dikendalikan oleh kaki kita secara lentur.
Lalu bagaimana dengan masalah awal, gonta-ganti sandal jepit. Sebenarnya itu tidak begitu penting. Saya masih yakin bahwa dalam batas-batas tertentu ngosop itu diperbolehkan. Batas apakah itu?, batas dimana barang yang kita gosop setara dengan barang yang kita korbankan untuk juga nanti digosop orang. Cerita pertukaran sandal jepit tak lebih hanya sebuah pengantar, agar kita-kita ini manusia yang mulia mau belajar dari si sandal jepit. Agar kita tidak lupa bahwa dirikita sebenarnya adalah miniatur kaki dan sandal jepit. Kita tahu dan sudah sangat faham bahwa sandal dan kaki letaknya adalah dibawah, dan biasanya tidak terperhatikan. Memangnya ada calon suami yang jatuh cinta pada pandangan kaki istri yang pertama, memangnya ada calon pegawai negeri yang dilihat kakinya saat tes. Kita ini begitu rendah serendah sandal jepit, kalau masih ada yang meninggikan diri, kenapa tidak menyusun proposal saja pada Gustiallah untuk merubah kakinya menjadi diatas, pasti akan sangat lucu.
Tidak ada ciptaan gustiallah di dunia ini yang sia-sia, termasuk sandal jepit.


Yogyakarta 19-12-12. menjelang malam