tulisan saya dalam antologi buku esai Merah, FISIP UNY
“
kekuasaan yang telah semakin besar dan kuat tidak lagi memfikirkan kebudayaan”
....padahal kebudayaan adalah kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah buatanya
orang banyak kekuasaan pada kenyataanya (di negeri kita) adalah semata-mata
untuk mengatur sumber-sumber pendapatan
(refleksi
Umar Kayam di atas pembaringan sebelum wafat)
- Pengantar
Dalam sebuah forum yang di hadiri
oleh para pakar pemerintahan, politisi, dan kaum intelektual. Mereka duduk dan
asik berbincang tentang masalah kemiskinan dan kesejahteraan di negeri ini yang
tak kunjung terselesaikan. Salah seorang dari mereka berkata “ pemerintah sudah
berkerja maksimal dengan program-programnya, tetapi memang pribadi masyarakat
kita adalah masyarakat malas. Dalam dunia kebudayaan jawa ada sebuah adagium
populer Alon-alon waton kelakon, mangan ora mangan kumpul. Dalih
macam apa yang kita gunakan untuk menyanggah adagium tersebut yang saya kira
tidak hanya meresap dalam psikologi budaya manusia jawa, tetapi juga budaya
nasional kita. Lalu haruskah kita pasrah pada opini sebagian elite bahwa memang
bangsa kita adalah bangsa malas.
Berangkat dari kenyataan itu, entah
rasa pesimis macam apa yang saya derita. Saya tak pernah percaya penuh, bahwa berbagai
forum seminar dan sejenisnya bisa benar-benar merubah keadaan. Sebuah forum
dimana setiap orang berbicara, misal tentang kemiskinan, kesejahteraan dan
lain-lain. Rasa pesimis yang saya derita bukan tanpa dasar.
Coba
bayangkan bagaimana mungkin sebuah seminar tenatng penyelesaian problem
kemiskinan yang berbicara seorang profesor, doktor yang jelas tak pernah ikut
merasakan beratnya menahan lapar satu hari saja. Lalu diantara meraka berkata
rakyat kita rakyat yag malas. Bagaimana bisa rakyat kita dianggap malas sedang
bisa kita amati dengan jelas sejak jam tiga pagi para pedagang di pasar-pasar
tradisional sudah menata daganganya. Beberapa perempuan di bawah terik
matahari, membawa beban lebih dari sepuluh kilo di pundak mereka naik dan turun
tangga pasar Bringharjo. Inikah yang mereka sebut sebagai bentuk kemalasan.
Jika memang ini yang disebut kemalasan, lalu apa namanya pejabat yang selalu bangun
setelah ayam-ayam sudah berkeliaran kemana-mana. Duduk santai di kursi malas
sambil membaca koran, minum teh, lalu berangkat mengisi seminar dan berbicara
tentang rakyat kita yang malas.
Gambaran tentang kondisi masyarakat
dan bangsa kita yang terus saja mengumandangkan suluk goro-goro. Bumi
gonjang mangklung, kang langit, samudra kocak sumamburat yayah kinebur banyune
hoyag. Suluk, (jenis puisi jawa) pertanda rusaknya segala atuan-aturan
duniawi itu terus berkumandang tanpa
henti, jelas yang kita tunggu-tunggu adalah keluarnya Ki Lurah Semar dan
anak-anaknya untuk memberikan nasehat tentang sosok negarawan sejati yang
ditungu-tunggu.
Kondisi
tersebut dengan jelas digambarkan oleh Prof.Soejadmoko. “ Telah terjadi
disintegrasi serta kekacauan yang tak terhingga dan dengan demikian bungkamlah
para seniman, melancarkan protespun tak sanggup, korup pegawainya, lesu kaum
tuanya, dan sinis kaum mudanya. Demikianlah hubungan antara krisis kepemimpinan
dan krisis umum yang begitu pedih dirasakan oleh kita semua”. (Soedjatmoko,1996:12)
Sumber kekacaun itu adalah kelirunya
orientasi perjuangan para pejabat-pejabat kita. Tujuan-tujuan politis
memperebutkan harta dan kekuasaan masih menjadi panglima. Perjuangan politis
seharusnya sudah selelsai sejak kekuasaan penjajah Belanda telah berhasil kita
tumbangkan. Tuntutan zaman sekarang adalah suatu tuntutan yang memerlukan
kekuatan kreatif. Dan disinilah sumber krisis kita.(Sudjatmoko,1996:11)
- Mencari
Negarawan
Negara
ini tidak dibuat sekali jadi. Kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan
rakyat, namun yang terjadi kekusaan diperebutkan untuk dapat mengatur
sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah
rebutan maka yang brutal yang menang. Ini yang harus kita waspadai, harus kita
jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik. some theories on how to organize the
society gombal kabeh, apalagi political science kuwi tai kabeh. Kekuasaan
yang telah semakin besar dan kuat tidak lagi memfikirkan kebudayaan padahal
kebudayaan adalah kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah buatanya orang banyak
kekuasaan pada kenyataanya (di negeri kita) adalah semata-mata untuk mengatur
sumber-sumber pendapatan. (refleksi Umar Kayam diatas pembaringan sebelum
wafat).
Jika
benar-benar kita ingin merubah strategi perjuangan politik yang hanya
berorientasi materi, jalanya adalah perjuangan kebudayaan. Politik yang
berbudaya. Politik yang tidak melahirkan para pemimpin, tetapi negarawan. Dalam
diri seorang politikus belum tentu bersemai pribadi negarawan, tetapi dalam
diri negarawan bisa dipastikan memepunyai kapasistas kepemimpinan yang mumpuni.
Coba
kita lihat saja dari segi bahasa. Pemimpin adalah orang yang berkemampuan
mengorganisir. Kata yang tak bermakna apapun. Kata yang netral tak mempunyai
muatan makna baik ataupun buruk. Maka tidak mengherankan jika sosok pemimpin
bisa saja berbuat baik pun juga bisa berbuat buruk. Pemimpin adalah orang yang
memiliki kuasa, maka tak heran jika banyak pemimpin yang memiliki kuasa
mengatur sumber-sumber pendapatan untuk memperkaya diri.
Jika
dalam keadaan seperti sekarang yang kita cari adalah pemimpin, maka setiap
orang potensial jadi pemimpin. Filsafat politik Thomas Hobbes, merumuskan bahwa
kodrat manusia adalah sama secara fisik. Kondisi awal manusia adalah kondisi
kelangkaan sumber daya yang mengakibatkan setiap orang berlomba-lomba mengumpulkan
sumber daya, terutama materi untuk mencapai kebahagiaanya. Hasilnya seperti di
negara kita sekarang, kekacauan, perang yang tak henti-hentinya untuk
mengakumulasikan sumber daya sebanyak mungkin. Kondisi ini diperparah dengan
orientasi perjuangan politik kita yang melupakan aspek-aspek kebudayaan,
sebagai simbul pencerahan kehidupan manusia.
Pemimpin
berbeda dengan sosok negarawan. Negarawan adalah gabungan pribadi intelektual
yang benar-benar memahami akar kebudayaan yang menjadi dasar hidup bangsanya.
Negara adalah konsep filosofis geografis, dalam kata negara ada pemahaman,
tentang penjaminan hak atas harta,keamanan, dan kesejahteraan hidup. Negara
juga menunjuk pada orientasi geografis suatu tempat. Maka negarawan adalah
sosok yang benar-benar memahami dasar-dasar kehidupan manusia yang bisa
digunakan utnuk melakukan penjaminan harta benda, kemanan dan kesejahteraan.
Jiwa
seorang negarawan adalah jiwa intelektual. Mereka adalah agen sosial yang mampu
mentransendensikan diri dari kepentingan material karena kapasitas rasionalitas
dan otonomi relatifnya. Ketika berbagai ketimpangan struktural terjadi begitu
jelas. goro-goro yang tak kunjung selesai, Ki Lurah Semar yang kian lama
tak kunjung keluar. Max weber percaya bahwa dalam kondisi seperti itu, yang
dibutuhkan bukanlah seorang pemimpin populer, namum seorang philosopherking
yang memerintah lewat pemilihan secara demokratis. (Gaus AF,2003:25)
Intelektual
saja tentu tidak cukup. Negarawan haruslah orang yang benar-benar mencintai
rakyatnya dan faham dengan kondisi mereka. Tak ada jalan lain untuk mencintai
rakyat dan memahami kondisi mereka, selain jalan kebudayaan. Negarawan bukanlah
jalan instan, seperti halnya politikus partai. Seorang negarawan benar-benar
dibentuk oleh berbagai realitas budaya dalam kehidupan manusia di negaranya.
Negarawan adalah sosok yang benar-benar tahu susahnya menanam padi hingga
panen, memanen padi dengan keringat bercucuran. Hati negarawan tak akan mampu
melihat itu semua. Hatinya akan luluh bagai bongkahan es yang disengat matahari,
maka dia tidak akan berani memajang foto dirinya dipinggir jalan sambil memebawa
segepok padi, lalu di sampingnya terpampang tulisan panen raya.
Tidak
seperti sekarang calon pemimpin kita yang jelas tak pernah ikut menanam padi di
pinggiran daerah Sleman. Tak ikut juga memebersihkan rumput-rumput dan hama
liar. Tiba-tiba saja berpose memegang segepok padi, dan berteriak panen raya. Segala
aturan berfikir logis, dan berbagai jenis kaidah rasionalitas dalam berfikir yang
saya ketahui, benar-benar tak mampu memahami tingkah laku mereka. Sampai
selesai tulisan ini ditulis, pun juga tak ada benar-benar perubahan yang yang
berarti. Sejatining ilmu, kelakone kanthi laku. Kesejatian ilmu, itu
adalah yang benar-benar dilaksanakan
- PENUTUP
Saya
tak ingin berkata bahwa untuk semua ini saya harus optimis. Dalam pemahaman
saya setiap adegan sulukan goro-goro yang mengambarkan rusaknya tatanan
hidup negara dan manusia, pasti akan berakhir. Dan setelah itu pasti seorang
kesatria yang negarawan sejati datang diikuti keluarnya Ki Lurah Semar untuk
memeberikan nasehat-nasehat agar segera lekas tiba masanya kejayaan yang
ditunggu-tunggu. Goro-goro juga hanya sebuah episode untuk menghormati
keluarnya Ki Lurah Semar, seorang dewa yang berwujud rakyat jelata. Sebuah
gambaran kesatuan elite dan rakyat kecil. Maka sosok negarawan yang bertemu Semar,
akan diberi nasehat bagaimanan menjadi seorang negarawan agung yang sekaligus
rakyat jelata.
Daftar
Pustaka
Ahmad Gaus. 2003. Begawan Jadi
Capres, Cak Nur Menuju Istana. Jakarta: Kelompok Populer Paramadina.
Soejatmoko.1996.
Etika Pembebasan. Jakarta: Pustka LP3ES.