-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Rabu, 22 Januari 2014

BULAN


Bulan tak juga memepermasalahkan tentang langit yang tergelar
Apakah dia menemaninya?
Juga tentang bintang yang berkedip-kedip di kejauhan
Apakah dia menemaninya
Bulan angkuh dengan kesendirianya
Tak ia permasalahkan ada atau tidak adanya teman disampingya
Di sana, di kejauhan
Bulan siap menemani siapa saja yang kedinginan menekuk sepi hingga menyatu kaki dan dadanya
Tak ia hiraukan jarak yang jauh
Karena yang dekat mudah berhianat
Sementara dengan yang jauh hanya saling berpandangan
Mengadu rasa yang manusia menyebutnya rindu







keterangan gambar: Duplikasi karya instalasi yang pernah dibuat Mbak Prilla Tania, untuk pameranya, karena sensasi keindahan yang dihasilkan instalasi, itu saya merasa perlu membuatnya di kamar kost saya dgn beberapa tambahan. mkasih mbak prill. 

Senin, 20 Januari 2014

AGAMA ADALAH MONSTER, SEPERTI JUGA SAYA*

*Tanggapan dan terimkasih saya untuk Pak Goenawan Muahammad atas tulisnya RELIGIO. Ini hanya tulisan kecil saya untuk tulisan pak gun yang besar, terimkasih sekali lagi pada pak gun, juga pada temann saya yang mengenalkan saya dengan pak gun beberapa hari yang lalu. 


Terimkasih untuk pak gun, atas tulisanya religio. Ketika akhir-akhir ini benar saya dibuat kecewa oleh orang-orang yang dalam bayangan saya mereka pemilik tuhan paling sah. Saya akrab dengan mereka, tetapi keakrabahan saya ternyata hanya semacam keakraban bayangan. Indah cintra yang di munculkan benatuknya, tapi hitam bayangan yang dihasilkanya. Selama ini saya terpesona dengan bentuk. Teman, teman sholeh yang menawarkan agama sebagai puncak kedamaian sufisme, atau sistem paling pas untuk menjaga keberagaman. Agama yang merangkul semua kalangan. Setelah saya jenuh dengan agama yang hanya sesosok polisi moral yang meneriaki apa saja tentang kemungkaran. Kehadiran teman-teman saya yang bersuara tentang dosa yang enteng, tentang tuhan yang maha pemaham, dan bahkan maha bercanda. Tapi saya kembali dibuat mereka kecewa, itulah kebodohan saya yang gampang terpesona dengan orang-orang disekitar saya. Sementara saya melanggar setiap sepi yang selalu menghampiri saya mengajak saya menemukan kebebasan yang jernih. Sekali lagi itulah kebodohan saya.
Mereka ternyata sama saja, yang menyuarakan agama sebagai puncak sufisme yang katanya menghargai pluralitas apa saja, termasuk menghargai keberadaan dosa. Mereka sama saja. Fundamentalisme, sufisme, pluralisme dan sekandang isme-isme lain tentang agama ternyata hanyalah suara monster yang tak urung membuat saya kecewa berkali-kali. Stelah saya lihat bayangan hitam mereka yang berteriak tentang pluralisme, atau bahkan suvisme. Setiap malam mereka bersengama dengan kekasihnya, sambil terus bersaksi bahwa agama adalah kelembutan sufisme, dna tuhan maha faham. Aku tak habis fikir, suara kekasih mereka membuat orgasme tanpa henti, dan tuhan aku tak tahu apakah tak kecewa dengan mereka. Teman yang pendiam, karena kata agama banyak bicara itu tak baik, tetapi ketika malam tiba mereka menjelma monster yang terus berbicara sendu dengan kekasihnya hingga subuh menjelang. Sampai celana dalam mereka basah kuyup oleh orgasme berkali-kali. Sementara kekasih disebarang sana sedang mendengar suara laki-laki nya sambil menekuk lutut bersila membaca kitab suci. Permainan apalagi ini. Esok paginya mereka bertemu saya dengan muka pendiam, hanya senyum simpul, karena katanya senyum itu sedekah. Saya semakin muak dengan macam-macam basa-basi itu, basa-basi tak lagi membuat saya bahagia( kata pram).
Seruan lucretius tentang kesalihan yang pak gun tulis sedikit membuat saya lega
“ Maka tak ada gunanya bersikap salih seperti yang dilembagakan agama: “Kesalihan bukan karena kita sering menundukkan kepala yang bercadar ke arah batu-batu,” demikian tertulis dalam De Rorum Natura. “Bukan karena kita menghampiri semua altar, bukan dengan bersujud di kuil para dewa, bukan pula karena kita membasahi altar dengan darah hewan korban”.
Kesalihan adalah kesanggupan kita menatap semua hal “dengan pikiran yang damai”.Pikiran yang damai itu — dengan menghalau “teror dan kemuraman jiwa”
Saya sudah muak dengan segala bentuk pura-pura. Pak gun. Saya belum bisa merumuskan kesalihan untuk diri saya sendiri. Sebab bagi saya dosa adalah kesalihan yang lebih agung daripada pura-pura. Sebotol bir yang hampir setiap malam mengalir di tenggorokan saya adalah perlawanan saya pada teman-teman dan mereka yang terus saja menyebut basa-basi dan pura-pura sebagai kesalihan. Perlawanan pada mereka yang tak berani berkata jorok, pada mereka yang pendiam di depan masa, tapi ketika malam tiba di kamar dua kali empat bersengama dengan kekasihnya melalui telpon gengam. Sementara sesegera mungkin bicara tentang gama esok harinya.
Kesalihan bagi saya adalah saya dan teman teman yang bersengama bareng di depan layar yang sedang memutar adegan bersetubuh, sambil menegak sebotol bali hai. Lalu esok hari kami tak lagi kuasa berkata tentang agama, apalagi tentang tuhan. Karena memang kami tak punya kuasa atas hal itu. Dan semoga tak akan pernah punya kuasa. Kuasa kami hanya tertawa atas kesalehan kami yang lucu.
Betul pak gun agama alah monster, bertopeng . saya benar-benar sudah muak dengan basa-basi. Juga dengan suvisme, pluralisme atau isme isme lain, itu hanya sampah topeng-topeng kebejatan manusia yang malu bersengama di tengah jalan raya, sambil menegak sebotol vodka. Entah nanti saya seperti voltaire yang tak kunjung menemukan kuil-kuil dama para aulia atau bagaimanalah, semoga saya tak memedulikanya pak gun.
Sudah dulu ya pak gun. 

RELIGIO

RELIGIO

Agama adalah monster: beberapa dasawarsa menjelang kelahiran Isa Almasih, Lucretius, penyair dan pemikir Romawi, menggambarkan religio sebagai makhluk mengerikan yang menindas manusia.
….di seluruh negeri,
hidup manusia rusak terlindas
di bawah beban berat agama,
yang menampakkan kepalanya,
dari lapis langit,
mengancam manusia yang fana
dengan wajah yang menakutkan.
Lucretius menuliskan itu di pembukaan De Rorum Natura (“Tentang Kodrat Benda-Benda”). Ia menuliskannya ketika republik Romawi berkecamuk oleh revolusi dan kontra-revolusi, antara tahun 145-130 Sebelum Masehi.
Sampai hari ini, kita hampir tak tahu apa-apa tentang Lucretius, kecuali karyanya itu. Kita hanya bisa memperkirakan bagaimana suasana dalam periode yang disebutnya sebagai “masa rusuh tanahair kita” itu, dan bagaimana agama berperan.
De Rorum Natura menggambarkan betapa gelap dan gairahnya hasrat manusia untuk mashur dan berkuasa — gelap dan sia-sia. Seraya orang-orang mendaki ke puncak kehormatan, mereka selalu dalam bahaya. “Rasa iri, bagaikan sambaran petir, terkadang melontarkan mereka dari puncak hingga terperosok ke dasar Tartarus yang busuk”.
Dalam pandangan Lucretius, ambisi dan kecemburuan itu akan berakhir ke titik yang kosong. Sisiphus membawa batu berat itu ke puncak, tapi tiap kali baru itu terlontar kembali ke kaki gunung.
Tiap kekuasaan — seperti ditunjukkan dalam sejarah Romawi — segera berakhir. Maka manusia, kata Lucretius, jika harus memilih, sebaiknya “tinggal diam”, ketimbang punya kuasa dan mahkota.
Yang hendak ditawarkan Lucretius sebenarnya ajaran Epicurus, seorang pemikir Yunani yang dikaguminya. Bagi Epicurus, tujuan hidup adalah kenikmatan, dalam arti yang khusus: kenikmatan yang tenang tenteram, justru dengan cara meniadakan hasrat yang berlebihan.
Tapi manusia takut. Ia takut mati. Dalam ketakutan itu — ketakutan yang tak berdasar, sebab mati harus diterima sebagai bagian dari hidup — orang-orang menghimpun harta, kalau perlu dengan “pertumpahan darah antara sesama warga”. Dengan rakus mereka “menggandakan kekayaan”, “menumpuk pembantaian di atas pembantaian.”
De Rorum Natura– yang terdiri dari enam buku — ditulis dengan keinginan untuk membebaskan zamannya dari semua itu. “Kita harus mengusir ketakutan dalam jiwa ini, kegelapan ini”, tulis Lucretius, “bukan dengan sinar surya atau anak panah hari yang bercahaya, melainkan dengan nalar dan tatapan alam.”
Memakai nalar, menelaah alam: Lucretius, sebagaimana Epicurus, adalah pendahulu ilmu modern dan filsafat “serba-zat”. Ia menjelaskan terjadinya wabah — yang dilukiskan dengan sangat mengerikan di Buku VI — bukan sebagai tulah dari langit, melainkan akibat “partikel-partikel yang beterbangan sekitar manusia yang membawa penyakit dan kematian.” Baginya, yang ada hanya “atom dan kehampaan,” zat dan ruang. Atom tak bisa dihancurkan; tiap kehancuran sebenarnya hanya perubahan bentuk. Atom (Lucretius menyebutnya dengan primodia, elementa atau semina) saling bertaut membentuk kombinasi yang tanpa henti, dan bergerak terus menerus, tanpa wujud akhir yang disiapkan.
Maka kematian bukanlah titik putus. Tak ada akhirat. Neraka ada di dunia ini sebagai akibat kebodohan dan keserakahan. Surga ada di dunia dalam bentuk sapientum templa serena, “kuil-kuil tenteram para aulia”.
Dari sajak panjangnya, bisa dilihat Lucretius bukan seorang atheis. Tapi baginya Tuhan, atau dewa-dewa, tak terlibat dengan hidup kita. Mereka bukan pencipta makhluk, bukan sebab musabab kejadian. Alam menjalankan roda hidupnya sendiri.
Maka tak ada gunanya bersikap salih seperti yang dilembagakan agama: “Kesalihan bukan karena kita sering menundukkan kepala yang bercadar ke arah batu-batu,” demikian tertulis dalam De Rorum Natura. “Bukan karena kita menghampiri semua altar, bukan dengan bersujud di kuil para dewa, bukan pula karena kita membasahi altar dengan darah hewan korban”.
Kesalihan adalah kesanggupan kita menatap semua hal “dengan pikiran yang damai”.Pikiran yang damai itu — dengan menghalau “teror dan kemuraman jiwa” — tumbuh bila manusia bisa menangkis “ancaman nabi-nabi”. Lucretius menyatakan bahwa ia menulis De Rerum Natura untuk “membebaskan pikiran manusia dari belenggu agama yang menjerat”.
Dengan sikap yang seperti itu, tak mengherankan bila berabad-abad kemudian, setelah teks De Rerum Natura ditemukan di tahun 1417 muncul tangkisan demi tangkisan. terutama dari Gereja Katolik. Tapi tak mengherankan pula bila pandangannya disambut orang di zaman “Pencerahan”, yang merayakan kemerdekaan berpikir — sebuah zaman yang, seperti dikatakan Kant, didukung Frederick II. Penguasa Prusia ini, yang berteman dengan Voltaire, berkata di tahun 1741: agama adalah “monster kuno”.
Tapi agama tak mati-mati. Mungkin karena tak seluruhnya Lucretius benar bahwa agama “mengarahkan manusia ke dalam mala dan kekejian”. Mungkin karena proyek pencerahan Lucretius gagal.
Di tahun 1771 Voltaire mengarang surat-menyurat imajiner yang membicarakan penyair Romawi itu. Di sana disebutkan Lucretius mati bunuh diri. Kita ingat De Rerum Natura yang dibuka dengan semangat berpendar-pendar diakhiri dengan deskripsi suram tentang Athena yang kena sampar. Sang filosof tak kunjung menemukan “kuil-kuil tenteram para aulia”. Yang ia lihat hanya neraka: kebodohan, kerakusan…
Meskipun sesekali ada secercah kemerdekaan.

Goenawan Mohamad

Minggu, 19 Januari 2014

Temu


Di tepian waktu
Senja
Malam
Pagi
Siang
Sore
Kuasa waktu tak ada ditanganku
Aku ingin temukan kau sedang sendiri
Seperti juga aku
Kita akan belajar berhitung
Tak akan kuiijinkan siapapun mengusik kemesraan kita
Termasuk diriku sendiri
Tak ku ijinkan

Oh
Tapi kuasa waktu tak ada ditanganku kan?

Dispenser


Dispenser

Kemarin katamu tuhan menaruh jiwa dimana saja
Dari thales hingga plato
Mereka mencari yang tak bisa dikatan bahasa
Air, udara,to apeiron, sampai ide
Arkhe , jiwa
Yang tunggal tetapi meresap dalam segalanya
Kini katamu segalanya adalah arkhe
Dari thales hingga plato sudah mulai kutinggalkan

Hari-hariku malam tak kunjung pagi
Senja yang mulai sedikit-sedikit merajut simpul malam
Itulah hariku,
Ketika sekali lagi rasa melilitmu sehingga bahasa mati berlahan
Rasa berkuasa bahasa tinggal basa-basi

Dengar saja suara dispenser meraung tersengat arus listrik
Itu bukan sauara kata-kata
Ruh, jiwa, arkhe kata manusia
Ruh, jiwa, arkhe itu kata manusia

Tapi ruh, tak pernah punya bahasa
Maka aku gagal meramu kata untuk ruh di dalam dispenser
Aku gagal
Rasa berkuasa bahasa tinggal basa basi




gadis


Ada yang disembunyilkan senyumannya
Gigi kelinci yang bercerita, mungkin tentang keceriaan
Rambut panjang dikepang. Beberapa helai sudah memutih
Seorang gadis duduk menghadapi segelas jus
Orang-orang mengiranya menunggu sesuatu
Aku mendapat kabar dari daun
Senyumanya bercerita pada daun dia tak menunggu apa-apa
Lalu bagaimana dengan kata orang bahwa dia selalu kesepian
AngIn bercerita padaku
Dia tahu setiap jiwa tumbuh dimana saja
Dan mengajak bercengkrama siapa saja
Lalu apakah ada kesendirian

TENTTANG GRIMIS


Malam itu gerimis tak kunjung reda. Lampu-lampu kota seperti mengejek setiap orang yang meringkuk, mengigil kedinginan di pelataran toko. Dari air hujan yang jatuh, menjelma kolam-kolam kecil di setiap jalan-jalan yang bercekung. Permukaanya tenang, tapi tiba-tiba ketengan air terusik oleh ban mobil, kaki, ban motor yang melewatinya. Pyar..air cekungan itu muncrat, tumpah ke kanan dan ke kiri. Mataku memandang setiap mobil dan motor di depanku. Lampu-lampu kendaraan bermotor itu berulang kali menyorot wajah berseri-seri para pengemis, dan anak gelandangan yang berteduh dibawah pohon, pinggir jalan. Pandanganku tetap saja tak buyar, fokus memandang mahluk-mahluk dari besi berjalan dengan menyorotkan matanya. Seperti kucing-kucing raksasa yang ada dikegelapan. Dari lampu mobil itu, aku melihat mata-mata mencorong bernyala-nyala, bagai dua pasang mata kucing dalam kegelapan. Benar-benar bagai mata kucing. Sorotan lampu itu memperlihatkan air hujan yang jatuh. Jika dalam kegelapan setiap titik hujan yang jatuh tak pernah kelihatan, tapi dibawah cahaya titik air hujan yang jatuh sangat nyata.
            Bulan malam itu kelihatan bersinar, tapi malu-malu. Atau memang mendung yang bersusun-susun hitam menghalangi wajah bulan. Bulan yang malu, atau mendung yang mengambil jatah bulan untuk menampakkan diri. Entahlah aku tak tahu. Di beberapa sudut langit cahaya bintang terlihat sedikit memberi warna pada hitamnya awan. Langit malam itu benar-benar terasa luas dimataku. Gelapnya mendung mencengkramku. Kegelapan memang selau menyembunyikan teka-teki dan kejutan. Dari awan-awan yang gelap itulah air hujan turun. Seperi perasan air jeruk yang menetes dari saringan. Saringan memecah air menjadi butiran-butiran kecil. Adakah awan juga disaring lalu menghasilkan butiran air hujan, aku tak tahu.
            Kondisi dilangit tak berbeda dengan di bumi. Aku melihat kunang-kunang besi menyorotkan matanya. Dari matanya cahaya keluar menyinari malam dan mendung yang gelap.

KESEPIAN


SUDAH HABIS CARAKU MENGHABISKAN KESEPIAN
HARUS DENGAN APALAGI AKU MENDEKATI DIRIKU
AKU BERLARI TAPI AKU HENDAK MENGEJAR APA
AKU TAK KEMANA-MANA KAU BERLARIAN
KATA ORANG-ORANG HANYA KEMATIAN YANG MENGAKHIRI SEGALANYA
LALU KEHIDUPAN KATANYA TAK MENJANJIKAN APA-APA
AKU BERPALING DARI MEREKA
MENCARI JALAN
KERAMIANKU SENDIRI

POLITIK TAI KABEH !!!



tulisan saya   dalam antologi buku esai Merah, FISIP UNY


“ kekuasaan yang telah semakin besar dan kuat tidak lagi memfikirkan kebudayaan” ....padahal kebudayaan adalah kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah buatanya orang banyak kekuasaan pada kenyataanya (di negeri kita) adalah semata-mata untuk mengatur sumber-sumber pendapatan

(refleksi Umar Kayam di atas pembaringan sebelum wafat)
  1. Pengantar
            Dalam sebuah forum yang di hadiri oleh para pakar pemerintahan, politisi, dan kaum intelektual. Mereka duduk dan asik berbincang tentang masalah kemiskinan dan kesejahteraan di negeri ini yang tak kunjung terselesaikan. Salah seorang dari mereka berkata “ pemerintah sudah berkerja maksimal dengan program-programnya, tetapi memang pribadi masyarakat kita adalah masyarakat malas. Dalam dunia kebudayaan jawa ada sebuah adagium populer Alon-alon waton kelakon, mangan ora mangan kumpul. Dalih macam apa yang kita gunakan untuk menyanggah adagium tersebut yang saya kira tidak hanya meresap dalam psikologi budaya manusia jawa, tetapi juga budaya nasional kita. Lalu haruskah kita pasrah pada opini sebagian elite bahwa memang bangsa kita adalah bangsa malas.
            Berangkat dari kenyataan itu, entah rasa pesimis macam apa yang saya derita. Saya tak pernah percaya penuh, bahwa berbagai forum seminar dan sejenisnya bisa benar-benar merubah keadaan. Sebuah forum dimana setiap orang berbicara, misal tentang kemiskinan, kesejahteraan dan lain-lain. Rasa pesimis yang saya derita bukan tanpa dasar.
Coba bayangkan bagaimana mungkin sebuah seminar tenatng penyelesaian problem kemiskinan yang berbicara seorang profesor, doktor yang jelas tak pernah ikut merasakan beratnya menahan lapar satu hari saja. Lalu diantara meraka berkata rakyat kita rakyat yag malas. Bagaimana bisa rakyat kita dianggap malas sedang bisa kita amati dengan jelas sejak jam tiga pagi para pedagang di pasar-pasar tradisional sudah menata daganganya. Beberapa perempuan di bawah terik matahari, membawa beban lebih dari sepuluh kilo di pundak mereka naik dan turun tangga pasar Bringharjo. Inikah yang mereka sebut sebagai bentuk kemalasan. Jika memang ini yang disebut kemalasan, lalu apa namanya pejabat yang selalu bangun setelah ayam-ayam sudah berkeliaran kemana-mana. Duduk santai di kursi malas sambil membaca koran, minum teh, lalu berangkat mengisi seminar dan berbicara tentang rakyat kita yang malas.
            Gambaran tentang kondisi masyarakat dan bangsa kita yang terus saja mengumandangkan suluk goro-goro. Bumi gonjang mangklung, kang langit, samudra kocak sumamburat yayah kinebur banyune hoyag. Suluk, (jenis puisi jawa) pertanda rusaknya segala atuan-aturan duniawi  itu terus berkumandang tanpa henti, jelas yang kita tunggu-tunggu adalah keluarnya Ki Lurah Semar dan anak-anaknya untuk memberikan nasehat tentang sosok negarawan sejati yang ditungu-tunggu.
Kondisi tersebut dengan jelas digambarkan oleh Prof.Soejadmoko. “ Telah terjadi disintegrasi serta kekacauan yang tak terhingga dan dengan demikian bungkamlah para seniman, melancarkan protespun tak sanggup, korup pegawainya, lesu kaum tuanya, dan sinis kaum mudanya. Demikianlah hubungan antara krisis kepemimpinan dan krisis umum yang begitu pedih dirasakan oleh kita semua”. (Soedjatmoko,1996:12)
            Sumber kekacaun itu adalah kelirunya orientasi perjuangan para pejabat-pejabat kita. Tujuan-tujuan politis memperebutkan harta dan kekuasaan masih menjadi panglima. Perjuangan politis seharusnya sudah selelsai sejak kekuasaan penjajah Belanda telah berhasil kita tumbangkan. Tuntutan zaman sekarang adalah suatu tuntutan yang memerlukan kekuatan kreatif. Dan disinilah sumber krisis kita.(Sudjatmoko,1996:11)

  1. Mencari Negarawan  
Negara ini tidak dibuat sekali jadi. Kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat, namun yang terjadi kekusaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan maka yang brutal yang menang. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik.  some theories on how to organize the society gombal kabeh, apalagi political science kuwi tai kabeh. Kekuasaan yang telah semakin besar dan kuat tidak lagi memfikirkan kebudayaan padahal kebudayaan adalah kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah buatanya orang banyak kekuasaan pada kenyataanya (di negeri kita) adalah semata-mata untuk mengatur sumber-sumber pendapatan. (refleksi Umar Kayam diatas pembaringan sebelum wafat).
Jika benar-benar kita ingin merubah strategi perjuangan politik yang hanya berorientasi materi, jalanya adalah perjuangan kebudayaan. Politik yang berbudaya. Politik yang tidak melahirkan para pemimpin, tetapi negarawan. Dalam diri seorang politikus belum tentu bersemai pribadi negarawan, tetapi dalam diri negarawan bisa dipastikan memepunyai kapasistas kepemimpinan yang mumpuni.
Coba kita lihat saja dari segi bahasa. Pemimpin adalah orang yang berkemampuan mengorganisir. Kata yang tak bermakna apapun. Kata yang netral tak mempunyai muatan makna baik ataupun buruk. Maka tidak mengherankan jika sosok pemimpin bisa saja berbuat baik pun juga bisa berbuat buruk. Pemimpin adalah orang yang memiliki kuasa, maka tak heran jika banyak pemimpin yang memiliki kuasa mengatur sumber-sumber pendapatan untuk memperkaya diri.
Jika dalam keadaan seperti sekarang yang kita cari adalah pemimpin, maka setiap orang potensial jadi pemimpin. Filsafat politik Thomas Hobbes, merumuskan bahwa kodrat manusia adalah sama secara fisik. Kondisi awal manusia adalah kondisi kelangkaan sumber daya yang mengakibatkan setiap orang berlomba-lomba mengumpulkan sumber daya, terutama materi untuk mencapai kebahagiaanya. Hasilnya seperti di negara kita sekarang, kekacauan, perang yang tak henti-hentinya untuk mengakumulasikan sumber daya sebanyak mungkin. Kondisi ini diperparah dengan orientasi perjuangan politik kita yang melupakan aspek-aspek kebudayaan, sebagai simbul pencerahan kehidupan manusia.
Pemimpin berbeda dengan sosok negarawan. Negarawan adalah gabungan pribadi intelektual yang benar-benar memahami akar kebudayaan yang menjadi dasar hidup bangsanya. Negara adalah konsep filosofis geografis, dalam kata negara ada pemahaman, tentang penjaminan hak atas harta,keamanan, dan kesejahteraan hidup. Negara juga menunjuk pada orientasi geografis suatu tempat. Maka negarawan adalah sosok yang benar-benar memahami dasar-dasar kehidupan manusia yang bisa digunakan utnuk melakukan penjaminan harta benda, kemanan dan kesejahteraan.
Jiwa seorang negarawan adalah jiwa intelektual. Mereka adalah agen sosial yang mampu mentransendensikan diri dari kepentingan material karena kapasitas rasionalitas dan otonomi relatifnya. Ketika berbagai ketimpangan struktural terjadi begitu jelas. goro-goro yang tak kunjung selesai, Ki Lurah Semar yang kian lama tak kunjung keluar. Max weber percaya bahwa dalam kondisi seperti itu, yang dibutuhkan bukanlah seorang pemimpin populer, namum seorang philosopherking yang memerintah lewat pemilihan secara demokratis.  (Gaus AF,2003:25)
Intelektual saja tentu tidak cukup. Negarawan haruslah orang yang benar-benar mencintai rakyatnya dan faham dengan kondisi mereka. Tak ada jalan lain untuk mencintai rakyat dan memahami kondisi mereka, selain jalan kebudayaan. Negarawan bukanlah jalan instan, seperti halnya politikus partai. Seorang negarawan benar-benar dibentuk oleh berbagai realitas budaya dalam kehidupan manusia di negaranya. Negarawan adalah sosok yang benar-benar tahu susahnya menanam padi hingga panen, memanen padi dengan keringat bercucuran. Hati negarawan tak akan mampu melihat itu semua. Hatinya akan luluh bagai bongkahan es yang disengat matahari, maka dia tidak akan berani memajang foto dirinya dipinggir jalan sambil memebawa segepok padi, lalu di sampingnya terpampang tulisan panen raya.
Tidak seperti sekarang calon pemimpin kita yang jelas tak pernah ikut menanam padi di pinggiran daerah Sleman. Tak ikut juga memebersihkan rumput-rumput dan hama liar. Tiba-tiba saja berpose memegang segepok padi, dan berteriak panen raya. Segala aturan berfikir logis, dan berbagai jenis kaidah rasionalitas dalam berfikir yang saya ketahui, benar-benar tak mampu memahami tingkah laku mereka. Sampai selesai tulisan ini ditulis, pun juga tak ada benar-benar perubahan yang yang berarti. Sejatining ilmu, kelakone kanthi laku. Kesejatian ilmu, itu adalah yang benar-benar dilaksanakan
  1. PENUTUP
Saya tak ingin berkata bahwa untuk semua ini saya harus optimis. Dalam pemahaman saya setiap adegan sulukan goro-goro yang mengambarkan rusaknya tatanan hidup negara dan manusia, pasti akan berakhir. Dan setelah itu pasti seorang kesatria yang negarawan sejati datang diikuti keluarnya Ki Lurah Semar untuk memeberikan nasehat-nasehat agar segera lekas tiba masanya kejayaan yang ditunggu-tunggu. Goro-goro juga hanya sebuah episode untuk menghormati keluarnya Ki Lurah Semar, seorang dewa yang berwujud rakyat jelata. Sebuah gambaran kesatuan elite dan rakyat kecil. Maka sosok negarawan yang bertemu Semar, akan diberi nasehat bagaimanan menjadi seorang negarawan agung yang sekaligus rakyat jelata.
Daftar Pustaka
Ahmad Gaus. 2003. Begawan Jadi Capres, Cak Nur Menuju Istana. Jakarta: Kelompok Populer Paramadina.
Soejatmoko.1996. Etika Pembebasan. Jakarta: Pustka LP3ES.