I.Fakta
yang saya lihat
Globalisasi,
itulah nama zaman dimana banyak kalangan meyakini sebagai suatu titik dimana
sesuatu yang baik bisa berakibat buruk, tetapi sesuatu yang buruk juga bisa
menguntungkan untuk beberapa orang. Zaman dimana sekat-sekat antar negara
tebuka lebar, segala macam informasi bisa dengan dengan mudah dan cepat masuk
kenegara lain. Hal ini memberikan pengaruh besar baik yang bersifat positif
maupun negarif pada kehidupan generasi muda kita. Pengaruhnya dalam segala
aspek kehidupan termasuk kehidupan beragama. Pertama, anda semua akan saya ajak
untuk melihat kehidupan beragama generasi muda Indonesia dalam pandangan saya,
melalui beberapa fakta :
#Fakta Pertama. Awal tahun 2011
ketika saya masih kelas dua madrasah aliyah. Terjadi sebuah diskusi sengit,
saat itu ada dua orang teman dari adik kelas saya yang menginap di asrama
sekolah kami. Mereka berdua adalah alumni Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki,
Solo pimpinan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Usia mereka berdua sebaya dengan saya.
Saat itu kami sedang ngobrol santai
tanpa arah tetapi tiba-tiba salah satu dari kami ada yang menyingung masalah
ideologi negara. Saat itu pembicaraan semakin menarik. Sebagian besar
teman-teman saya mengatakan untuk memperbaiki Indonesia ideologi Pancasila
harus diubah dengan ideologi Islam.
Saat
itu dengan beberapa argumen saya tetap bertahan membela Pancasila sebagai
ideologi yang pada hakikatnya digali dari nilai-nilai Islam yang diterjemahkan
untuk masyarakat Indonesia yang plural. Dua teman dari Ngruki dengan nada
tinggi berkata “ bahwa ideologi Pancasila bagaikan daging babi, jika seorang
muslim setuju dengan ideologi Pancasila, nasibnya seperti seember daging sapi
yang halal lalu diberi sesendok daging babi (baca: Pancasila) maka hukum
memakan daging itu adalah haram. Jadi siapa yang meyakini Pancasila sebagai
ideologi kafir hukumnya harus diperangi, karena jelas Pancasila bukan produk Islami”
tegasnya diakhir pembicaraan. Karena diskusi ini terasa lebih sebagai sebuah
debat kusir tanpa arah yang jelas saya pun akhirnya memutuskan untuk diam.
#Fakta
Kedua. Sering media masa kita menampilkan sekelompok
generasi muda yang menjadi anggota organisasi keagamaan garis keras. Bahkan
pelaku-pelaku bom bunuh diri yang mengatas namakan jihad adalah generasi muda.
Sikap keberagamaan mereka sudah di dasari oleh rasa benar sendiri. Kebenaran
diri mereka sendiri yang mereka yakini maka dengan mudah mereka menghujat orang
lain yang berbeda tafsiran tentang kebenaran. Bukan lagi ahlakul karimah,
Rahmatan lil Alamain yang mereka bawa.
Apa
yang terfikirkan dalam benak anda ketika mengetahui berbagai peristiwa dia
atas? Bagaimana jika anda menganggap semua hal diatas sebagai sebuah kewajaran
yang sudah lama terjadi? Bagi saya semua peristiwa diatas telah mengusik
pikiran dan membuat suatu kegelisahan tentang masa depan kehidupan –khususnya
kehidupan beragama- Indonesia yang akan datang.
#Fakta
Ketiga. Tidak
sulit kita temui berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan remaja,
pergaulan bebas yang merajalela
mulai dari kasus anak SMA yang memperkosa temannya. Anak mencuri uang orang tua, bahkan sampai yang melukan seks
bebas dan bergelut dengan NAPZA. Sampai dengan gaya
hidup westren hedonis yang dalam
banyak hal bertentangan dengan moral Islam dan akhlak ketimuran.
#Analisis
Pertama. Peristiwa pertama menunjukkan betapa generasi muda kita yang tumbuh dalam
lingkungan pendidikan agama telah dididik untuk membenci negaranya sendiri.
Bagaimana mungkin seoarang yang dilahirkan di Indonesia membenci Pancasila.
Saya tidak mengajak untuk memuja Pancasila tanpa cela, seperti yang terjadi
pada masa orde baru-nya Pak Harto. Tetapi bagi saya sikap yang berlebihan
dengan hanya menilai bahwa sesuatu yang bukan produk Islam, lantas dianggap
tidak Islami. Seperti halnya Pancasila.
Bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila
adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan,karena menghadapkan sesuatu yang
bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan,
berarti rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan
hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila dibandingkan
dengan sesuatu yang emosional[1].
#Analisis Kedua.
Menyadari bahwa masa menjadi generasi muda merupakan masa yang rawan, karena pada saat itulah
mereka mulai mampu berfikir abstrak, dan mencoba menjelaskan beberapa hal yang
kompleks, dengan emosi yang masih labil. Sebetulnya generasi
muda dapat dikatakan tidak memiliki
tempat yang jelas, mereka sudah tidak termasuk dalam golongan anak-anak dan
belum dapat diterima ke dalam golongan orang dewasa. Generasi
muda berada di antara anak dan
orang dewasa. Biasanya masa ini terjadi antara rentan umur 14-17 tahun. Dengan
adanya globalisasi tidak menutup kemungkinan masa rawan ini akan datang lebih
awal.
Di tengah masa rawan ini generasi
muda ingin menunjukkan eksistensinya. Salah satu saluran utnuk membuktikan
eksistensinya adalah melalui organisasi keagamaan. Kurang mampunya organisasi Islam
Washatiyah (Islam jalan tengah)
seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mewadahi generasi muda tersebut
dan kurang optimalnya peran orang tua dalam menanamkan tradisi keagamaan yang Washatiyah. Ditengarai sebagai penyebab
generasi muda kita kebingungan mencari kiblat organisasi keagamaan dan akhirnya
menjadi pengikut organisasi garis keras. Hal ini biasanya terjadi dalam taraf
Perguruan Tinggi dimana organisasi-organisasi radikal mulai mencari pengikut
dengan startegi kaderiasasi yang sangat bagus sehingga generasi kita banyak
yang ikut di dalamnya. Pangkal dari semua ini adalah lahirnya sikap beragama
generasi muda yang ekstrim atau radikal. Disadari maupun tidak organisasi-organiasi
keagamaan yang bersifat ekstrem sangat mudah diterima oleh generasi muda yang
menginjak masa pencarian jati diri, atau sesaat lulus dari SMA.
Ekstrimisme dalam kehidupan
beragama dapat menimbulakn dampak berbahaya, karena agama juga melibatkan emosi
yang bisa menjadi bernayala-nyala. Dan ini pada gilirannya merusak harmoni
intra agama tertentu maupun antar agama. Karena itu Islam tidak menganjurkan
sikap ekstrem sebaliknya sangat menekankan sikap jalan tengah washatiyah.[2]
Analisis Ketiga. Segala perilaku
dalam fakta ketiga, terjadi karena generasi muda kita tidak mengetahui panduan
moral yang jelas untuk menghadapi era globalisasi. Selain itu lagi-lagi dunia
pendidikan seharusnya mampu mengoptimalkan peranya dalam membekali generasi
muda dalam menghadapi era global.
II.Merumuskan Sikap
#Sikap pertama.
Untuk meluruskan faham generasi muda tentang pancasila dan ideologi Islam.
Menarik untuk mengikuti gagasan K.H Abdurrahman Wahid –Allahyarham- yaitu
menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang berwatak pluralistik, dari
berbagai ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini, seperti Islam,
nasionalisme, sosialisme, dan lain-lain. Selain itu dalam MUNAS NU 1983 di
Situbondo yang menghasilakn sebuah resolusi menarik. Pancasila sebagai dasar
falsafah negara indonesia bukanlah agama, tidak dapat mengantikan agama dan
tidak dapat dipergunakan untuk mengantikan kedudukan agama, bahwa sila pertama
pancasila mencerminkan konsep Islam tentang tauhid[3]. Saya
rasa resolusi ini patut utnuk dijadikan pedoman dalam menentukan sikap tentang
kedudukan ideologi pancasila dalam kehidupan masyarakat Islam khususnya.
#Sikap Kedua
sebagai upaya membendung organisasi Islam garis keras antara lain upaya yang
harus dilakukan adalah kembali meneguhkan ajaran-ajaran Islam yang moderat, tawasuth ala i’tidal dikalangan generasi
muda. Jika organisasi garis keras sering mengadakan kajian-kajian kegamaan.
Maka kita tandinggi juga dengan kajian-kajian yang lebih intens untuk mebina
generasi muda agar tidak terjerumus kedalam ektrimisne beragama. Kita
kembangkan cara-cara dakwah yang sesuai dengan Al Quran surat ke 16 ayat 125 “Ajaklah mereka kejalan Tuhanmu dengan hikmah
dan mauidzah hazanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
K.H Mustofa Bisri memberikan analisis yang
menurut saya pas untuk ayat ini. Ud’u,
ajaklah tidak disertai maf’ul bih
objeknya, seperti lazimnya fiil
muta’addie. Para mufassir biasanya mengisi objeknya dengan an naas manusia (jadi –ajakhlah manusia
kejalan Tuhanmu) menurut Gus Mus penambahan obyek manusia dirasa tidak perlu
sebab kata-kata dijalan Tuhanmu sudah cukup jelas siapa yang harus diajak,
yaitu mereka yang belum dijalan Tuhan. Mengajak yang belum ke jalan tuhan meski
dilakukan dengan hikmah dan mauidzah hazanah.[4]
#Sikap ketiga.
Globalisasi bisa menjadi racun yang sangat mematikan disatu sisi tetapi disisi
lain juga bis amenjadi peluang emas yang sangat bermanfaat untuk masa depan
generasi muda. Menarik untuk mencermati isi karya sastra yang berupa serat
karangan pujangga jawa R.Ng. Ranggawarsita), yang salah satu isinya yang
sarat nilai etis dan moral, sebagai berikut,
Amenangi jaman
edan
Ewuh aya ing
pambudi
Melu edan nora
tahan
Yen tan melu
anglakoni
Boya kaduman
melik
Kaliren
wekasanipun
Ndilalah karsa
Allah
Begja-begjane
kang lali
Luwih begja kang
eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, R.Ng. Ranggawarsita
dikutip dari Ikhsan, 2010 :2)
Inti dari salah satu bagian dari serat
Kalatidha tersebut berfilosofi bahwa pada suatu saat nanti manusia akan menemui
yang disebut sebagai zaman dimana telah terjadi kebobrokan moral manusia, zaman
ini oleh Ranggawarsita disebut zaman edan. Pada dasarnya hati setiap individu
ingin mengekang untuk tidak ikut dalam arus zaman edan. Namun, ketika seorang
individu tidak ikut arus zaman justru malah tidak akan mendapatkan apa-apa, dan
cenderung sengsara. Apabila seseorang tidak mengikuti arus zaman itu, maka akan
dipandang aneh, dan tidak wajar, tetapi jika ikut arus sama saja dengan terjun
ke lembah nista. Dalam suasana yang membingungkan inilah Ranggawarsita
mengingatkan sekaligus memberi pilihan solutif yaitu dengan mengingatkan akan
seruan Tuhan kepada manusia agar hati-hati serta selalu ingat dan waspada dalam
menghadapi suatu peristiwa. (Begja-begjane
kang lali, luwih begja kang eling lan waspada). Saya menafsirkan bahwa
zaman yang dimaksud dalam bait serat itu adalah zaman globalisasi sekarang ini.
Selain
itu ada adagium yang mungkin sangat dikenal dikalangan warga Nahdatul Ulama
yaitu memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang
lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi
al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al- aslah). Saya rasa adagium ini bisa
dijadikan prinsip untuk filterisasi budaya dalam era globalisasi. Sehingga
generasi muda kita bisa menjadikan globalisasi sebagai peluang emas untuk masa
depan.
Sanggupkah
generasi kita menerapkan beberapa sikap tersebut?
Yogyakarta
23-6-12
di kamar kost yang selalu memunculkan keriunduan-kerinduan
Daftar Pustaka
Brilianto, Ikhsan.
2010.Artikel. Ketika Penjajahan
Globalisasi Menghujam Nasionalisme Penentun Kemajuan bagi Anak Muda.
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Wahid,
Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam
Kita edisi digital. Jakarta: Democracy Project, 2011
Idahrah,
Syaikh. Mereka Memalsukan Kitab-kitab
Karya Ulama Klasik. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011
Bruinessen,
van Martin. NU Relasi-relasi Kuasa dan
Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: Lkis, 1994
Bisri,
Mustofa. Kompensasi. Rembang: Matar
Air, 2006
[1] Negara
Berideologi Satu Bukan Dua dalam Abdurrahman
Wahid: Islamku, Islam Anda, Islam Kita edisi digital, (Jakarta: Democracy Project,2011),
hlm.91.
[2]
Ekstremisme Wahabi dan Islam Washatiyah. kata pengantar Azyumardi Azra dalam Syaikh Idahram: Mereka Memalsukan
Kitab-kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren,2011),hml.22.
[3]
Pancasila sebagai Asas Tunggal dalam Martin
van Bruinessen: NU Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LkiS,1994), hlm.121-122.
[4] Dakwah
dan Amar Ma’ruf dalam Mustofa Bisri:
Kompensasi, (Rembang:Mata Air,2006),hlm 145-146.