Minggu-minggu
ini di berbagai media, baik cetak maupun elektronik dipenuhi dengan berita
tentang sebuah film Innocence of Muslims. Film yang dibuat sutradara Nakoula
Basseley, warga amerika serikat, isinya dinilai menghina Nabi
Muhammad SAW dan agama Islam. Hasilnya, demo-demo emosional yang berlebihan menentang
film itu terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Tak hanya berhenti
pada aksi demo, di Libya Duta Besar AS dan dua stafnya menjadi korban akibat
film tersebut. Dilingkungan kampus penulis, mahasiswa muslim juga ramai
memberikan opini terhadap film ini. Bahkan dalam forum sakral, khutbah jum’at
khatib ikut berkomentar terhadap kehadiran film Innocence of Muslims.
Jika kita mengamati, Ini bukan kali pertama
penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam terjadi. Sebelumnya ada, aksi
pembakaran Al Quran dan pembuatan karikatur nabi. Jika kita amati lagi, selalu
ada respon kekerasan dari umat Islam terkait dengan pembuatan film ataupun
aktifitas yang menghina agama Islam. Apakah respon kekerasan yang dilakukan
sebagian umat Islam tersebut sesuai dengan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (Rahmat bagi seluruh
penghuni alam raya)?. Lalu bagaiman kita harus bersikap?.
Dalam kaitan bagaimana kita harus bersikap
terhadap penghinaan kepada Nabi Muhammad. Menarik apa yang ditulis Abdullah
Bijad al Utaiby yang dinukil oleh K.H Mustofa Bisri. Abdullah Bijad menulis
sebagai berikut: Adalah hak kita untuk marah karena rosul kita yang mulia
dilecehkan, dan adalah hak kita untuk mengungkapkan kemarahan kita secara
berbudaya seperti pemutusan hubungan perdagangan, namun jangan sampai kemarahan
itu berkembang ke arah kekerasan dan pembunuhan. Jangan sampai memberi peluang
orang-orang memasukkan racun dalam makanan. Tujuan kita harus jelas bukan marah
sekedar marah. (Mustofa Bisri. 2010. Kompensasi.hal.267).
Dalam
penafsiran penulis marah secara berbudaya bisa kita lakukan dengan cara
bersikap adil terhadap film Innocence of Muslims. Adil dalam hal ini adalah
menilai sesuatu peristiwa pasti ada sisi baik di samping sisi buruknya. Bagaimanapun juga ada segi
positif yang ditimbulkan dari film tersebut. Segi positif ini harus menjadi
bahan pembenahan diri kita. Misal, jika selama ini kita tak pernah secara
hakiki mencintai Nabi Muhammad, kita hanya sering menyebut namanya dalam
sambutan atau pidato agar terkesan agamis. Praktek kehidupan kita masih jauh
dengan apa yang dicontohkan nabi.
Cara hidup kita masih bermewah-mewah, kita masih sering bertengkar
sesama manusia karena beda agama, ras, dan suku, kita masih belum bisa
mengalahkan ambisi diri kita sendiri. Jelas cara hidup seperti itu sangat
bertentangan dengan cara hidup nabi yang sangat sederhana, mementingkan
kepentingan umum, dan berlaku baik kepada setiap manusia tanpa pandang agama,
ras, dan suku, seperti yang diceritakan
Al Quran dan Hadist. Kita belum 100% menyelami kehidupan Nabi Muhammad. Lisan
kita bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah tapi kita tak tahu
seberapa besar kesaksian kita berpengaruh terhadap praktik kehidupan kita
sehari-hari.
Kalau begitu pantaskah kita membela nabi?. Sedangkan kita belum bisa
benar-benar menjadikan Nabi Muhammad sebagai Uswah Khasanah (Contoh yang baik) dalam berbagai aspek kehidupan kita. Peristiwa film Innocence of Muslims selayaknya bisa menjadi sebuah
pengingat dan titik awal pembenahan sikap hidup kita, energi kemarahan dalam
diri kita bisa kita rubah menjadi kamarahan yang reflektif yang mendorong
pembenahan diri kita menjadi pribadi yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad
secara lahir maupun batin. Dengan sikap seperti ini kemarahan kita akan lebih
bermanfaat, bukan kemarahan yang tanpa tujuan.
22-9-12 lewat tengah malam di kamar kost yang super sumuk :)