-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Minggu, 23 September 2012

Innocence of Muslims dan Momentum Pembenahan Diri


Minggu-minggu ini di berbagai media, baik cetak maupun elektronik dipenuhi dengan berita tentang sebuah film Innocence of Muslims. Film yang dibuat sutradara Nakoula Basseley, warga amerika serikat, isinya dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan agama Islam. Hasilnya, demo-demo emosional yang berlebihan menentang film itu terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Tak hanya berhenti pada aksi demo, di Libya Duta Besar AS dan dua stafnya menjadi korban akibat film tersebut. Dilingkungan kampus penulis, mahasiswa muslim juga ramai memberikan opini terhadap film ini. Bahkan dalam forum sakral, khutbah jum’at khatib ikut berkomentar terhadap kehadiran film Innocence of Muslims.
 Jika kita mengamati, Ini bukan kali pertama penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan agama Islam terjadi. Sebelumnya ada, aksi pembakaran Al Quran dan pembuatan karikatur nabi. Jika kita amati lagi, selalu ada respon kekerasan dari umat Islam terkait dengan pembuatan film ataupun aktifitas yang menghina agama Islam. Apakah respon kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam tersebut sesuai dengan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (Rahmat bagi seluruh penghuni alam raya)?. Lalu bagaiman kita harus bersikap?.
 Dalam kaitan bagaimana kita harus bersikap terhadap penghinaan kepada Nabi Muhammad. Menarik apa yang ditulis Abdullah Bijad al Utaiby yang dinukil oleh K.H Mustofa Bisri. Abdullah Bijad menulis sebagai berikut: Adalah hak kita untuk marah karena rosul kita yang mulia dilecehkan, dan adalah hak kita untuk mengungkapkan kemarahan kita secara berbudaya seperti pemutusan hubungan perdagangan, namun jangan sampai kemarahan itu berkembang ke arah kekerasan dan pembunuhan. Jangan sampai memberi peluang orang-orang memasukkan racun dalam makanan. Tujuan kita harus jelas bukan marah sekedar marah. (Mustofa Bisri. 2010. Kompensasi.hal.267).
Dalam penafsiran penulis marah secara berbudaya bisa kita lakukan dengan cara bersikap adil terhadap film Innocence of Muslims. Adil dalam hal ini adalah menilai sesuatu peristiwa pasti ada sisi baik di samping sisi buruknya. Bagaimanapun juga ada segi positif yang ditimbulkan dari film tersebut. Segi positif ini harus menjadi bahan pembenahan diri kita. Misal, jika selama ini kita tak pernah secara hakiki mencintai Nabi Muhammad, kita hanya sering menyebut namanya dalam sambutan atau pidato agar terkesan agamis. Praktek kehidupan kita masih jauh dengan apa yang dicontohkan nabi.
Cara hidup kita masih bermewah-mewah, kita masih sering bertengkar sesama manusia karena beda agama, ras, dan suku, kita masih belum bisa mengalahkan ambisi diri kita sendiri. Jelas cara hidup seperti itu sangat bertentangan dengan cara hidup nabi yang sangat sederhana, mementingkan kepentingan umum, dan berlaku baik kepada setiap manusia tanpa pandang agama, ras, dan suku, seperti yang  diceritakan Al Quran dan Hadist. Kita belum 100% menyelami kehidupan Nabi Muhammad. Lisan kita bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah tapi kita tak tahu seberapa besar kesaksian kita berpengaruh terhadap praktik kehidupan kita sehari-hari.
Kalau begitu pantaskah kita membela nabi?. Sedangkan kita belum bisa benar-benar menjadikan Nabi Muhammad sebagai Uswah Khasanah (Contoh yang baik) dalam berbagai aspek kehidupan kita. Peristiwa film Innocence of Muslims selayaknya bisa  menjadi sebuah pengingat dan titik awal pembenahan sikap hidup kita, energi kemarahan dalam diri kita bisa kita rubah menjadi kamarahan yang reflektif yang mendorong pembenahan diri kita menjadi pribadi yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad secara lahir maupun batin. Dengan sikap seperti ini kemarahan kita akan lebih bermanfaat, bukan kemarahan yang tanpa tujuan. 

22-9-12 lewat tengah malam di kamar kost yang super sumuk :)

KULIAH FILSAFAT PERTAMA


Filsafat dan toleransi berfikir
Minggu kemarin adalah kuliah filsafat pertama yang saya jalani. Cukup mengasikkan. Dosen-dosennya mencerahkan. Semuanya berbeda dengan apa yang saya dapat saat di aliyah. Semoga saja dunia baru ini benar-benar akan mengantarkan saya kepada tujuan saya. Tujuan yang mungkin bagi sebagian orang agak aneh atau memang aneh. Tujuan menjadi manusia. Memangnya selama ini apakah saya belum menjadi manusia?. Menjadi manusia yang saya maksud adalah adalah bisa menjadi figur manusia yang paling manusia, manusia yang mengerti manusia, manusia yang memanusiakan manusia.
Ada beberapa kesan penting yang saya dapatkan ketika minggu pertama kuliah ini. Tetapi kesan yang paling berarti bagi saya adalah meneguhkan kembali prinsip untuk tidak menilai pemikiran atau pendapat kita adalah yang paling benar. Kenapa saya sebut peneguhan kembali?. Karena selama ini saya mempelajari sikap-sikap untuk tidak menang sendiri itu lebih dulu sebelum saya belajar secara formal di fakultas filsafat. Dari tulisan-tulisan gus dur, gus mus, cak nur dan lain-lain saya belajar untuk menghargai setiap pemikiran seseorang. Inilah mungkin sikap yang sangat sulit diterapkan pada diri kita semua. Kita cenderung selalu mengunggulkan diri kita diatas orang lain. Tak pernah ada toleransi berfikir. Semuanya ingin pemikirannya diakui sebagai sesuatu yang paling benar. Dan menurut saya akar semua masalah di indonesia adalah tidak adanya toleransi berfikir. Setiap kelompok ataupun individu selalu ingin manjadi pembicara bukan menjadi pendengar yang baik. Bahkan ketika kita mencoba menjadi pendengar kita keburu tidak terima, menyangkal ataupun sikap-sikap lain yang pada intinya kita tidak menghargai pendapat orang lain. Akibat ini semua adalah tidak adanya kompromi gagasan, semuanya berfikiran sempit. Semuanya mengandalkan ego berfikir masing-masing. Bisa kita bayangkan jika dalam taraf penyusunan gagasan saja tidak ada dialog atau kompromi antar kelompok atau individu maka bagaimana dalam taraf realisasi gagasan.
Mari kita sejenak beranologi, ada sebuah bunga mawar berwarna putih, lalu ada 2 orang kita suruh memberikan tanggapannya tentang bunga mawar tersebut. Orang pertama bicara bahwa bunga mawar putih adalah lambang kesucian cinta dan ketulusan pengabdian. Sementara itu orang kedua mengatakan bahwa bunga mawar putih adalah lambang kesucian hati seseorang ketika hendak menghadap tuhanya. Satu bunga mawar putih bisa memberikan arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa bunga mawar putih yang di deskripasikan oleh si a sebagai sesuatu yang salah, hanya karena si a berbeda pendapat dengan kita. Contoh tersebut hanyalah masalah kecil dalam kehidupan sehari-hari kita. Lantas bagaimana jika itu menyangkut realisasi tujuan kemajuan bangsa. Setiap orang punya pendapatnya tentang ketuhanan yang maha esa, setiap orang punya fersinya tentang keadilan sosial, setiap orang punya langkah-langkah yang berbeda untuk merealisasikan kesejahteraan sosial yang merata. Ini semua harus didialogkan. Tujuan kita sama yaitu membawa indonesia ke arah yang lebih baik. Tetapi kita mempunyai definisi yang bermacam-macam tentang kebaikan yang seperti apa yang cocok untuk indonesia. Disinilah letak urgent nya dialog, untuk mengutarakan semua definisi-definisi kita untuk mencari titik temu. Kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju jika kita tak pernah berfikiran terbuka terhadap setiap pemikiran orang lain. Disinilah filsafat mengajari untuk menghargai setiap pemikiran karena dari setiap pemikiran itu pasti ada sisi baiknya. Kita harus bisa menjauh dari sikap-sikap yang terkungkung pada sekat-sekat SARA. Kita harus bisa berfikiran bebas dalam artian yang positif. Kita harus terus belajar-belajar dan belajar. Tidak ada atau belum ada sesuatu yang final. Semuanya harus terus kita pelajari. Dengan begitu semoga kita bisa menjadi individu yang berfikiran terbuka terhadap semua gagasan, menghargai setiap gagasan, mengahrgai proses dialog. Menarik meresapi kata-kata dari kh mustofa bisri
Kebenaran kita kemungkinan salah
Kesalahan orang lain kemungkinan benar
Hanya kebenaran Tuhan yang benar.benar-benar.

Filsafat dan kemandirian berfikir.
Seorang filsuf sejati haruslah bisa merumuskankan filsafatnya sendiri. Kalimat itu adalah kesimpulan kedua yang saya dapat dari kuliah saya pertama minggu ini. Dalam dunia filsafat kita akan bertemu dengan sangat banyak gagasan-gagasan dari filsuf-filsuf besar. Bagaiamana kita menyikapi gagasan-gagasan itu adalah salah satu sikap yang akan menentukan jalan fikiran kita kedepannya. Menarik yang saya dapat minggu ini. Saya menyebut ini sebagai sebuah kemandirian berfikir. Apa itu kemadirian berfikir. Dalam konsep saya kemandirian berfikir adalah sikap untuk melakukan filteriasi terhadap pendapat-pendapat filsuf. Kita tidak harus atau bangkan tidak boleh selalu setuju dengan gagasan seoarang filsuf. Kita harus bisa berposisi berlainan. Dengan sikap seperti itu kita akan mengkritisi setiap gagasan filsuf dalan selanjutnya kita akan bisa menciptakan filsafat menurut diri kita sendiri. Jadi berbeda pendapat dengan sebuah pemikiran adalah sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan. Tujuanya agar kita bisa memiliki kemandirian dalam berfilsafat. Setiap gagasan filsuf ada baik dan juga ada buruknya. Kita harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk menurut kita. Dan selanjutnya kita bisa berfilsafat menurut diri kita sendiri. Dan ini tidak mudah semoga saya bisa.

10-9-2012  Dikamar kost tercinta

Kamis, 13 September 2012

Mahasiswa Baru dan Beberapa Pertanyaan



Bulan September ini Yogyakarta di penuhi dengan manusia-manusia baru. Siapa mereka? Mereka adalah mahasiswa baru berbagai universitas yang ada di Yogyakarta. Hampir semua universitas di Yogyakarta baik yang berstatus negeri maupun swasta awal September ini melakukan masa orientasi mahasiswa baru. Hal ini tidak terjadi hanya diwilayah Yogyakarta tetapi juga terjadi hapir di setiap daerah di Indonesia. Bahkan ada beberapa universitas yang memulai masa orientasi lebih awal yaitu pada pertengahan atau akhir Agustus.
Berdasarkan data yang penulis ambil dari Republika online  (3 September 2012) jumlah mahasiswa baru yang datang ke Yogyakarta tahun ini cukup banyak. Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) misalnya, tahun ini jumlah maba yang diterima kampus tersebut sebanyak 4.839 orang.Di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) jumlah maba 3.800. Universitas Islam Indonesia (UII) maba tahun ini 5.000 lebih mahasiswa. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun ini memiliki 9.000 lebih. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 7.000 maba tahun ini.
Ribuan siswa sekarang sudah berpindah status menjadi mahasiswa. Maha bukan lagi siswa. Maha adalah tingkatan tertinggi dalam strata kehidupan, orang yang telah bergelar maha seharusnya memang seseorang yang mumpuni dalam suatu hal. Misalnya mahaguru, maharaja dan lain-lain.Penulis tertarik dengan peryataan bapak Anies Baswedan dalam orasinya di depan mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada. Menurut pak Anies “gelar maha adalah sebuah gelar yang bisa diibaratkan hutang atau janji yang harus dilunasi. Lunasilah hutang gelar kemahaanmu dengan pengabdian pada republik tercinta.”
Euforia penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas tahun ini berlansung setelah kita semua rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus. Entah hal itu sebuah kebetulan atau memang agendanya setiap tahun akademik seperti itu. Bagi penulis yang juga mahasiswa baru UGM, waktu yang bersamaan antara pelaksanaan peringatan kemerdekaan dengan penerimaan mahasiswa baru adalah sebuah pertanda atau mungkin pengingat. Bahwa pemuda-pemuda yang tahun ini menjadi mahasiswa baru harus bisa melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Saya membayangkan bagaimana jika seluruh mahasiswa yang tahun ini masuk perguruan tinggi negeri maupun swasta semuanya melunasi janjinya dengan pengabdian untuk republik tercinta. Kemungkinan besar berbagai problem krusial yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita akan teratasi atau paling tidak bisa terkurangi kuantitasnya.
Setengah abad lebih perjalanan kita mengisi kemerdekaan. Adakah disana peran pemuda khususnya mahasiswa?. Berita-berita selama ini yang beredar di media tentang pemuda Indonesia adalah pemuda hedonis, pemuda tanpa prinsip yang mudah terseret arus negatif globalisasi. Mampukah para pemuda, mahasiswa baru berprinsip untuk selau berkontribusi pada negeri, tetapi tanpa harus menghindar dari arus globalisasi?. Mampukah para mahasiswa baru mengubah globaliasi menjadi sebuah sarana meraih kemajuan bukan momok yang menakutkan?.
Mampukah calon-calon intelektual muda republik ini untuk menjadi pemuda-pemuda baru, tidak lagi meniru kesalahan generasi pendahulu?. Republik ini butuh semua yang serba baru, intelektual baru, pemimpin baru, pendidik baru dan masyarakat baru yang akan membentuk republik baru. NKRI baru yang benar-benar ber-Ketuhanan yang maha esa dalam fakta, yang bisa mewujudkan kesejahteraan sosial bukan hanya dalam teori, bisa menghidupkan kembali panji-panji pancasila dalam kehidupan nyata. Semoga kita bisa berkontribusi bagi republik tercinta.

YOGYAKARTA 10 september 2012 di kamar morat-marit tercinta