-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Senin, 31 Maret 2014

Sketsa Perjalanan Lupa


Aku juga akan pulang suatu saat nanti.  Tapi bisakah itu terjadi tidak karena sesal yang kita tumpuk di tanah ini. Kebodohan yang kita rangkai lalu dengan bangga melihatnya seperti mutiara. Kalungkan di leher sendiri. Tanpa sambil terisak ku pamerkan pada orang-orang di sekitarku. Tapi sama saja, mereka juga berkalung mutiara yang sama. Tampa sambil terisak terus saja aku berjalan sambil membau bangkai diri seolah itu parfum dari negeri yang jauh.
---
Di sini tak ada lagi yang lebih berharga selain lupa. Disini air mata tak lagi keluar dari derita. Disini aku telah lama membangkai. Di tumpuk kata-kata. Tapi hanya satu yang terbaca. L-U-P-A. Disini sesal yang timbul lahir dari kenangan dan penyesalan, hanya suara ayam berkokok pagi hari. Disini semua orang berkata-kata tapi yang terdengar hanya L-U-P-A. Disini yang layak hidup hanya bahagia, yang lahir dari LUPA. Entah dia mahluk macam apa. Disini kita tak akan tahu siapa-siapa. Seperti aku sekarang. Ada yang diam-diam masuk dalam diriku, dan menguasai semuanya. Tapi aku tak tahu. Ini aku tulis bukan karean aku sadar, tapi karean lupa telah benar merajalela. Maafkanlah aku jika dari tulisan ini yang lahir hanya dusta. Maafkanaku. Mungki kalian hanya perlu datang ke sini, diam dan bergembira. Jika kalian berani lakukan itu maka tulisan ini sia-sia saja adanya. Tapi sejak awal aku tahu kalian tak akan berani lakukan itu.
---
Kalian tidak akan tahu apa-apa dari tulisan ini. Seperti aku yang juga sejak awal tak tahu apa-apa. Juga tak tahu jika aku telah menulis ini. Menjadikanya semacam kebohongan yang indah. Kemunafikan yang di tutup dengan selimut kata. Lihatlah, semuanya melebur entah akan menjadi apa. Tapi lihatlah. Lihatlah. Ada yang sedang terisak tanpa air mata. Ada yang sedang tercabik oleh sesuatu yang sebenarnya tak ada. Ah ini hanya permainan. Permainan kata yang akhirnya kau dan kalian semua akan tahu. Aku berbohong. Tapi aku tak tahu. Kalian 



(gambar sketsa karya Romo F.X Mudji Sutrisno S.J, dipamerkan dalam pameran sketsa Ranah Sketsa dan Puisi, TIM Jakarta 2013) 

Minggu, 09 Maret 2014

-kita berlayar- (untuk Chairil Anwar )


ini kutulis untukmu chairil, 
karena setiap malam kau selalu datang
mengetuk kamarku
dan memamerkan sepi dan sunyi yang kau pegang di jemari indahmu



1
Hidup seribu tahun lagi, impian chairil...tak ada setengah abad hidup raganya. Tapi impiannya hidup seribu tahun lagi ,meniup kemana saja. Masuk ke ubun-ubun dan menjadi nyawa-nyawa yang menghidupkan banyak raga.
2
Oh chairil hendaknya memang kau ajari aku menantang segalanya. Menantang tuhan, untuk seribu tahun lagi. Tapi aku tak berdaya ketika melihat kau di karet juga akhirnya. Bakan setitik, sangat titik untuk mencapai angka seribu.
3
Oh chairil, ajari aku tipa malam menantang sunyi. Menyelami keindahan dan kepedihan sepi. Hingga suatu waktu kita akan biarkan diri kita berlayar berdua, diatas laut tak bernama. Menuju pulau yang fatamorgana. Untuk selanjutnya kita berdua terkekeh-kekeh tertawa, memandang langit. “ aku ingin hidup seribu tahun lagi” ah puas rasanya jika aku bisa berteriak itu bersamamu. Kita sama, berkawan rangka saja.
4
Oh chairil tapi maukah kau berjalan didepanku. Sedang aku bukan apa-apa. Di depanmu sepi tertunduk malu tergilas gelora gemuruh jiwamu. Tapi di depanku aku mati berulang kali di koyak koyak sepi.
5
Oh chairil, dari seribu tahun lagi yang kau katakan. Aku berani menulis ini. Untuk selanjutnya melihat lembaran nyawa yang berkibar-kibar layaknya kupu-kupu diatas ubunku.
6
Oh chairil dari seribu tahun lagi katamu. Aku berani atau mungkin masih mencoba berani mengikutimu. Walau ku tahu tak juga kau tolehkan wajahmu ke belakang, melihat nanar bahagiaku. Tak juga ku bisa terbitkan duka dari daging-daging yang setiap hari kupuja. Sementara kau sudah sejak awal, tak peduli segalanya.
Oh chairil....oh chairil...oh chairil
Ajak aku berlayar,


Bantul, akhir 2013

Sabtu, 08 Maret 2014

Merpati dan Kita


“ lihatlah, dua merpati itu”
“ iya, aku melihatnya”
“dia tak menghiraukan keberadaan kita kan”
“ entahlah, aku tak tahu”

Semakuk acar yang dari tadi hanya kita pandang. Menguap bau irisan bawang merah, memenuhi udara. Asam dari cuka dan bau bawabg merah yang sulit diceritakan, benar telah purba di sekitar kita. Kita masih akan duduk disini sampai berapa lama?. Tak ada yang bertanya itu. Aku hanya mecoba menerka apa yang diucapkan jedela kaca itu, jika ia bisa berbicara. Mungkin benar atau juga mungkin salah terkaanku.

“ kau belum bosan” kataku
“ entahlah”
“ apa tidak lebih baik kita keluar dan berjalan-jalan?”
“hahaha” tawamu memenuhi udara
Bau asam dari cuka, di mangkuk acar itu,