-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Selasa, 10 Desember 2013

HUJAN 4

Seorang lelaki melaju di tengah hujan
tetapi badanya tak sudi dibasahi air
hujan dibenci
tapi apa yang bisa dilakukan laki-laki yang membenci hujan

10-12-13 kost ijad

HUJAN (2)

jika panas menguapkan apa saja
maka hujan meredam setiap yang dibasahinya
apa yang menguap akan hilang dan pergi
tetapi apa yang diredam
dia hanya sembunyi
suatu saat akan kembali

10-12-13
di kost ijad pinggir kali gajah wong

rintik

Katakan padaku apa yang tak dihapus hujan sore ini

9-12-13
mbantul, di kost yang banyak nyamuknya

HUJAN (1)

Hujan tak mengajari bagaimana menghapus kesedihan
hanya dia ingin berkata
siapa mahluk bumi yang bisa menolak air yang jatuh dari langit

10-12-13....di kost ijad...disamping sungai gajah wong

Minggu, 08 Desember 2013

sendiri??

Sejak itu aku meragukan kesendirian
Setiap jiwa tumbuh dimana saja
Lalu adakah yang disebut kesendirian
Di pucuk malam yang sepi ia sendiri
Duduk merjalalela bersama sepi yang menarinari
Tak kaudengarkah angin yang bercerita tentang kelembutan padanya
Tak kau dengarkah petang yang mengeluh dia selalu di takuti
Tak kau dengarkah pengakuan bintang tentang percintaannya dengan awan
Atau daun-daun yang berpesta merayakan kesedihan angin
Lalu apakah yang disebut kesendirian
Sedang ia ternyata tak duduk bersama sepi



27 11 13 bantul…..jingklonge akeh tenan wengi-wengi

INGATAN

“ sampai kapan kau akan disini?” suara itu tiba-tiba saja terdengar begitu jelas. seolah benar-benar terbisikan dengan jarak 5 cm dari daun telingaku.
Kadang ingatan-ingatan benar menyusahkanku. Dia datang begitu saja, dan ketika aku menyuruhnya pergi, dia malah semakin dekat. Aku benar-benar tak berkuasa apapun di depan ingatan. Duniaku bisa dia lipat dengan cepat. Aku sudah berjalan di ujung sebuah kertas putih panjang, tetapi ingatan datang dan melipat jarak panjang yang kutempuh, sehingga yang aku tahu tiba-tiba saja aku duduk di tempat aku pertama berjalan.
Sekarang pun aku sedang disiksa oleh mahluk yang bernama ingatan itu. “sampai kapan kau akan disini?”. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan ingatan dengan jelas dan panjang. jawaban apapun tak bisa memuaskan ingatan. Teteapi aku sudah cukup berpengalaman bercengkrama dengan ingatan. Jawaban yag memuaskan ingatan hanyalah, bahwa aku harus berhenti, diam dan mungkin duduk menekuk lutut. Setelah itu aku akan membiarkan diriku berjalan-jalan bersama ingatan, menjelajahi waktu yang sudah berada di belakangku.
“sampai kapan kau akan disini”
“sampai langait benar-benar bercerita kepadaku”
“itu tak mungkin” gadis disampingku menjawab ketus.
“aku tak peduli”
“kau gila” gadis itu semakin ketus
“aku tak peduli”
Aku merasakan gadis itu sekarang sangat dekat disampingku. Dia yang dari tadi berdiri sekarang sudah duduk menekuk lutut disamping punggungku.
“kenapa kau diam” aku sengaja membuka pembicaraan lagi dengan gadis itu
“ aku menunggu langit benar-benar bercerita kepadaku” jawabnya santai
“ kau meniruku”
“terserah”jawab gadis itu ketus
Aku merasakan langit tergangu sejak kedatangan gadis itu disampingku. Tapi mau bagaimana lagi. Dia juga bagian dari ingatanku. Akhirnya kami berdua benar-benar menunggu apa yang diceritakan angin. Tentang apa?. Kami berdua juga tak tahu. Hanya ingatan yang berkuasa menentukan apa yang akan diceritakan angin kepada kami berdua.
Malam semakin larut. Langit tak jung jua bercerita. Atau aku yang tak mendengarnya. Entah bagaimana dengan gadis dsampingku itu. Dia sama dneganku sejak obrolan terakhir kami, dia diam, aku juga diam. Diam kami berdua adalah isyarat bagi angin untuk segera bercerita. Tentang apapun, sesuai yang diperintahkan ingatan padanya.
Mata ku sudah tak kuat lagi. Akhirnya aku memutuskan memebaringkan diri. Yang kusadari saat itu hanya, lima menit setelah aku membaringkan diri, aku sudah terlelap. Gadis itu aku lihat masih duduk menekuk lutut. Aku sduha tak peduli dengan daun-daaun ilalang yang tajam ujung-ujungnya. Atau dengan ingatan masa kecilku disini adalah bekas kuburan cina yang sangat besar. Sampai sekarangpun, dibeberapa titik masih terlihat sarkofagus yang menyembul ketanah, bersama lisan-lisan, yang aku tak pernah tahu rangkaian huruf apa yang tertulis di bentanganya. 
“waktu itu langit bercerita apa kepadamu” tanyaku pada gadis itu.
Dia terdiam lama sekali, mungkin lupa. Wajar kejadian itu sudah dua minggu yang lalu, saat kami berdua duduk dipadang ilalang yang luas. Dan lalu aku tertidur begitu saja. Sekarang kami berdua telah meninggalkan kampung halaman kami. Libur semester memang kadang terasa pendek sekali. aku tak tahu apa yang  membuatnya terasa pendek. Akankah ini ulah ingatan lagi.
“tentang seorang lelaki yang belajar melupakan ingatan”
“bagaimana ceritanya?” tanyaku pada gadis itu, yang sekarang menyandarkan tubuhnya di dinding
“ laki-laki itu selalu merasa disiksa oleh ingatanya”
“ bagian mana dari ingatanya yang paling membuat laki-laki itu tersiksa?” tanyaku pada gadis itu, agar ia melanjutkan cerita
“20 tahun yang lalu ketika ia berumur 6 tahun ibunya mati, terserang penyakit TBC akut”
“ bukankah memang semua orang akan mati” tanyaku memutus ceritanya
“ia, tetapi ibu lelaki itu begitu berarti, lelaki itu tak bisa benar-benar jauh dari ibunya.”
“ kenapa tidak dibawa kedokter?”
“jangankan dokter untuk makan setiap hari saja keluarga itu kesusaha.” “sejak kematian ibunya laki-laki itu hanya tinggal seorang diri. Ayahnya lama meninggal sejak ia dalam kandungan.” Kata langit “ laki-laki itu sampai sekarang hidup sendiri. Dalam hati laki-laki itu, melakukan pencarian untuk menemukan separuh hatinya. Ia percaya pesan ibunya sebelum meninggal, bahwa kau harus temukan seorang perempuan yang memebawa separuh kebahagiaan kecil dari hatimu. Kecil seklai kebahagiaan itu. Sebenarnya kau hidup tanpanya bisa. Jika kau bisa membaca bahasa cinta yang disuarakan kebahagian-kebahagiaan kecil yang sedang bersembunyi disekitarmua” cerita gadis itu panjang padaku.
Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian.
“Kenapa kau berhenti bercerita” tanyaku pada gadis itu yang sedang termanggu
“ hanya itu yang bisa kudengar dari bahasa angin”
“Terimakasih kau bercerita kepadaku”
“sama-sama, sampai jumpa lagi” gadis itu meninggalkanku, langkahnya kecil-kecil menapaki gugusan bungga yang dinatam berbentuk lingkaran.
Aku ditinggalkanya sediri, kini tinggal aku berdiri bersama ingatan. Setelah cerita gadis itu, tiba-tiba saja kepalaku terasa berat dan pening. Sekuat tenaga aku berusaha menopang tubuhku. Kucoba dengan tenaga yang tersisa melangkah menuju ruangan istirahat terdekat dari tempat ini.
***
Yang teakhir kuinggat adalah kakiku yang berhasil menjejak lima langkah dari tempatku berada dibawah pohon cemara besar. Aku juga masih ingat bagaimana gadis itu meninggalkanku dnegan langkah kecilnya. Memang ingatan selalu bisa berkuasa lebih atas sebagian kejadian hidupku.
Setelah lima langkah jejak kakiku, aku seperti memasuki salah satu bagia dunia yang sangat indah. Aku tak ingat itu dimana. Yang jelas aku berjalan terus saja, smabil terpesona melihat putik-putik melati yang merekah. Bau harumnya memancing ingatanku tentang ibu.
Benar saja, dikejauhan aku melihat ibu duduk dibawah pohon mangga yang sangat besar. Dari belakang aku sudah sangat mengenal perempuan itu, ia pasti ibuku. Rampaut yang digelung lalu dua sisipan bunga melati menghiasi gelungan rambutnya.
Begitu aku mendekat ibu menolehkan muka padaku.
“ anakku” sapa ibu
“iya bu” aku ingin memeluk ibuku tapi kenapa aku berdiri mematung di titik itu terus.
“kau telah dekat dengan pencarianmu, semua keputsan ada ditanganmu. Kau mau mendengarkan bahasa cinta yang banyak disuarakan kebahagian-kebahagiaan kecil dismapingmu. Atau kau ingin mencari separuh hatimu dalam kebagiaan kecil yang tersimpan di hati kecil gadis berambut kriting itu. Ibu percaya padamu”
***
Mataku memebuka dan tiba-tiba cahaya terang lampu 20 watt diatas ku benar-benar menganggu ruangan ini putih semua. Aku terbaring dengan tanan tersulur slang infus. Dari kejauhan, dibalik pintu kamar terlihat dengan jelas suster yang sedang berlalu-lalang.
Aku tersadar bahwa sebelum ini aku bermimpi bertemu ibuku. Setelah maut lama sekali memisahkan kita.
“kau telah dekat dengan kebahagiaan dan suara cinta kecil, yang selama ini kau cari”
Ingatan haruskah aku percaya bahasamu.


Minggu, 31 Maret 2013

HUJAN




Aku sudah berjalan diantara hujan. Aku sudah merasakan gemuruh petir dan suara nyanyi hujan yang jatuh ke bumi. Aku sudah merelakan diriku diguyur air tuhan ini. Aku sudah merelakan kesunyianku diusik oleh suara air yang jatuh. Aku sudah menyerahkan diriku pada rintik hujan ini. Tapi satu, aku tak bisa melepas hatiku. Gemuruh petir dan nyanyi riang hujan tak bisa menyembunyikan kesepianku. Dinatara rintik hujan dan gemuruh petir, di dalam hatiku kesunyian itu bersemayam. Kesunyian penuh gemuruh entah apa namanya, keresahanya membisukan suara petir yang mengelegar, kesepiannya mendiamkan rintik hujan yang tetap turun. Gelisah tanpa suara, gemuruh tanpa gaduh.
Aku masih berjalan diantara hujan. Aku masih membodohi dan membohongi gejolak hatiku dengan suara hujan. Bayangan-bayangan itu masih saja memburu keberadaanku. Aku masih ingat bagaimana kedua lelaki itu membuka resleting celananya. Masih terdengar dengan jelas bunyi resleting yang mulai usang itu “ krek....krek..krekkk” seperti pintu neraka yang dibuka malaikat untuk para pendosa.
Di dalam rumah tuhan itu jiwaku mati. Aku hanya wadah untuk sperma lelaki-lelaki yang haus kenikmatan. Tubuhku sudah bermandikan kringat, bau amis sperma dua lelaki itu bagaikan nafas alam semesta. Aku masih ingat bagaimana aku dijadikanya boneka, aku maisih ingat bagaimana kelamin lelaki itu mengakhiri kemanusiaanku. Aku juga msih ingat sebelum puncak orgasme, sebenarnya aku juga menikmati permainan dua lelaki yang tak aku kenal itu. Nikmat juga.
Dirumah tuhan itu aku memulai perlawananku pada tuhan. Aku sudah mumet, aku sudah tak tahu harus kemana, aku sudah tak berdiri diatas titik duri, aku bahkan tak tahu diatas apa kaki kecilku berdiri. Aku bukan lagi seorang muslimah berhiaskan kerudung panjang nan anggun. Aku sudah bukan seorang yang istimewa dihadapan tuhan dan manusia.
Aku sudah tidak percaya tuhan. Bagaimana tuhan bisa menciptakan manusia untuk menghilangkan kemanusiaan manusia lainya?. Aku sudah tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Hidupku dibayangi kenikmatan yang diperkenalkan dua lelaki dirumah tuhan itu. Tapi entah, setelah itu aku tidak berani mengulanginya lagi. Aku takut atau memang aku yang gila. Bekas-bekas kenikmatan itu masih terasa hingga kini, aku membawanya dalam setiap langkah yang kujejak.
***
Kini aku berjalan bersama hujan. Aku benar-benar merasa kesepian, setelah kejadian di rumah tuhan itu, hidupku semakin tidak jelas. Pemerkosaan 5 tahun lalu itu telah membuat waktu-waktuku berjalan lambat. Aku tak bisa hanya sekadar berdiri, aku diseret waktu entah kemana.
“Ayo kita berjalan lagi” kata laki-laki yang kini berada disampingku bersama hujan
“aku sudah lelah” jawabku sambil terduduk dibawah pohon randu
“Aku tahu, ”
Hujan tak memperdulikan kami. Air turun turun bukan karena ingin meredam gemuruh dihatiku. Aku dan suamiku duduk di pinggir jalan yang semakin sepi. Kami saling memandang. Aku melihat mata suamiku sayu, lelah, gembira dialah yang setia menemani perjalananku bersama hujan. Aku tak pernah bisa menceritakan bagaimana tuhan mempertemukan aku dan suamiku.
Di setiap jalan-jalan yang aku susuri bersama suamiku aku kembali menemukan tuhan. Bukan dimasjid, bukan di gereja, tapi disorot mata setiap gelandangan dan orang-orang terbuang yang kelaparan menyeret langkahnya di jalan, aku melihat tuhan.
Gemuruh dihatiku mulai terjawab. Aku gelisah karena aku jauh dari kesejatian kehidupan, aku jauh dari tuhanku. Aku sekarang sadar, biarkan kemanusiaanku hilang, biarkan keperawananku di jelajahi orang-orang. asal jangan aku kehilangan tuhanku lagi. Kerinduanku pada yang sejati itu, gelisah hatiku, gemuruh hatiku untuk bertemu yang sejati itu mengalahkan suara hujan.
Senja mulai terlihat menggulung siang, dan malam yang malu-malu mulai tergelar.
“Sampai kapan kita akan terus berjalan” tanya suamiku
“ Sampai kita menemukan apa yang kita cari sayang”
“tapi apa yang kita cari”
“kedamain sayang”
“ tapi aku sudah terlalu lelah, aku capek”
Aku tahu suamiku tak setegar aku. Penyakit yang mengerogoti tubuhnya bukan koruptor yang bisa disogok dengan uang. Raga suamiku makin lemah, aku melihatnya dengan jelas, kakinya sudah tak berdiri tegak. Tulang-tulangnya mulai terlihat menonjol memakan sisa dagingnya. Jiwanya hidup dalam tubuh yang menderita penyakit kutukan, orang-orang menamai penyakit itu HIV. Tapi aku tak perduli, dia itu juga manusia.
***
Suamiku masih ingin hidup. Aku melihat dibalik matanya yang sayu semangat hidup yang tak pernah padam. Jiwanya masih rindu mencari kesejatian. Tapi raganya ingin berhenti. Jiwa dan raga sedang bertarung, dibawah pohon waru dia terkapar.
Aku tak bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya jika jiwanya mau bangun, maka raganya akan tunduk. Sebenarnya jika ada sengatan ke dalam jiwanya raganya akan bangun. Aku sudah mumet, aku harus menolong suamiku. Jiwanya harus disadarkan bahwa hidup ini sangatlah berharga. Kematian itu kepastian sementara kehidupan adalah misteri berharga.
Aku berlari meninggalkan suamiku.
Tukang bakso lewat diujung jalan. Aku mendekatinya,
“ bang bisa pinjam pisau pemotong sayur itu?” tanyaku pada tukang bakso itu
Wajah tukang bakso itu terkaget-kaget “ o iya neng silakan”
Aku mengambil pisau itu, aku berlari menuju suamiku. Aku tak mempedulikan tukang bakso yang melihatku keheranan.
Suamiku masih terkapar di bawah pohon. Aku melihat matanya tertuju padaku. Saat itu udara terasa benar-benar tak ada. Pohon-pohon seperti layu, melihat kami berdua.
“ sayang, apa yang akan kau lakukan dengan pisau itu” tanya suamiku dengan sisa suaranya
“ aku ingin kau dan dan manusia-manusia lain lebih menghargai hidupnya” jawabku
“ apa”
Tanpa menjawab pertanyaan suamiku, aku sudah mulai mengiris urat nadiku. Aku membunuh diriku.
“ istriku kau rela dihakimi allah dan menadapat kutukan dari manusia, hanya karena kau ingin berkata bahwa hidup ini berharga. Maka kau tak bunuh diri untukku tapi kau bunuh diri untuk kita manusia semuanya” suara suamiku, kata-kata suamiku mengantar kepergian nyawaku, menghadap yang punya.
---TAMAT---
danang.t.p.Yogyakarta-29-03-13




Kamis, 28 Maret 2013

INDONESIA DAN PERADABAN SANTET


Bangsa kita selalu dihadapkan dengan masalah yang unik, bangsa kita juga selalu memiliki respon yang unik terhadap setiap permasalahanya. Ini yang tidak banyak disadari oleh diri kita sendiri. Sebagian Intelektual, pengamat, mahasiswa dan segenap lapisan masyarakat menengah selalu mengunakan sudut pandang barat dengan rasionalisme, dan empirisme-positifistikya untuk menilai perkembangan bangsa kita. Isu paling terkini adalah polemik seputar  RUU Santet. Banyak pihak membaca bahwa dibahasnya uu ini adalah cerminan semakin tidak rasionalnya bangsa kita. Bangsa kita semakin 0hidup dalam ketidakjelasan. Bangsa kita adalah bangsa klenik. Kita lupa, bahwa dalam beberapa aspek kehidupan ini penuh dengan ketidak rasionalan, dengan ketidak rasionalan itulah sebenarnya kita dalam beberapa hal bisa benar-benar nyaman menjalani hidup. Coba bayangkan dalam skala kecil saja, orang bermain sepak bola, jika kita melihatnya mengunakan sudut pandang rasional, kenapa harus susah-susah 22 orang berebut satu bola, padahal di toko olahraga bola menumpuk. Karena tidak rasional sepak bola malah bisa menghibur kita.
Kalau kita ingin mengungkap berbagai ketidakjelasan kehidupan bangsa kita, banyak sekali. Hanya di Indonesia banjir diukur dengan skala kaki manusia. Banjir setinggi lutut orang dewasa, banjir setinggi mata kaki. Hanya di Indonesia dengan uang 1000 rupiah bisa mendapatkan fast food (nasi kucing). Hanya di Indonesia koruptor yang mencuri bermilyaran uang negara dihukum 4,5 tahun, sementara maling ayam bisa dihukum lebih berat, pun dengan dikeroyok masa terlebih dahulu. Hanya di Indonesia, seorang Presiden berani memasang gambarnya di tepi jalan memakai caping, membawa sabit, dan segepok padi  dibawahnya bertuliskan panen raya. Padahal para petani yang berjuang sendiri menanam padi. Hanya di Indonesia, kesedihan terhadap bencana banjir misalnya, hanya terjadi beberapa menit setelah kejadian, setelah itu jika ada wartawan dengan camera melipu tiba-tiba bisa senyum-senyum sambil melambaikan tangan. Inilah keunikan bangsa kita.
Masalah RUU santet, tidak bijak jika kita sepenuhnya menilai bahwa itu adalah cerminan ketidakjelasan bangsa kita. Secara positif kita bisa melihat, masalah RUU santet itu menunjukkan, kaidah ilmu hukum barat yang rasional, empiris, dan positifistik tidak bisa terus kita jadikan kiblat. Santet itu adalah wujud kemajuan peradaban manusia pada waktu itu, dan untuk menyelesaikan masalah ini ilmu hukum barat tidka mampu menjangkaunya.
Secara historis kapan santet mulai ada tidak ada sumber pastinya, yang jelas pada masa Airlangga dan Calonarang teknologi yang bernama santet telah ada. Kenapa santet disebut teknologi?. Filsafat teknologi mengajarkan bahwa, teknologi itu hakikatnya untuk mempermudah kehidupan manusia. Santet adalah teknologi delivery yang mempermudah pengiriman sesuatu pada masa itu, terlepas sesuatu itu buruk atau baik. Inti santet itu sebenarnya mengirim sesuatu pada seseorang, sangat baik sekali jika teknologi santet dimanfaatkan utnuk mengirim makanan dan barang berguna lainya.
Bangsa kita telah lebih maju, saat barat masih berkutat denga fikiran rasional dan empiris, kita telah berada di zaman peradaban supra-rasional. Kita telah bisa merasakan dan menundukkan getaran-getaran alam untuk membantu kepentingan kita. Dalam bahasa ahli kosmologi Fitchof Capra the hidden conection, santet itu lah wujud dari koneksi tersembunyi manusia dengan kekuatan alam.
Solusi masalah santet selayaknya kita juga mengali kaidah-kaidah hukum dari peradaban kita sendiri. Kita bisa membuka sejarah-sejarah bangsa kita lagi, bagaimana masa Airlangga, dan kerajaan-kerajaan dahulu mengatasi dampak buruk santet, dengan modifikasi dan penyesuain dalam beberapa hal. Entah prosedurnya seperti apa, kita rakyat kecil hanya bisa berharap masalah ini terselesaikan dengan baik, tanpa harus menghina bangsa sendiri sebagai banga klenik.

danang, yogyakarta 20-3-13.. karena bolos kuliah 

Rabu, 27 Maret 2013

Pemberantasan Korupsi dan Logika Menang Kalah


Tinjauan historis mengenai akar korupsi di negeri ini ada beberapa fersi. Salah satu fersi yang paling populer menyatakan bahwa korupsi para birokrat negeri ini adalah warisan dari VOC, salah satu unit dagang penjajah Belanda. VOC bangkrut salah satunya gara-gara korupsi para stafnya. Inilah awal tradisi korupsi di negeri ini. Kebiasaan korupsi atau lebih tepatnya kita sebut sebagai budaya korupsi sampai sekarang masih membekas, dan bahkan makin canggih dan marak. Di zaman kontemporer ini kita bisa dengan mudah mendapati kasus korupsi. Mulai yang dilakukan di tingkat daerah sampai pada tingkat nasional.
Bangsa ini juga tidak tinggal diam dengan kenyataan maraknya korupsi. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir –jika tidak menghapus- budaya korupsi. Salah satu langkah konkritnya adalah mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Lembaga ini adalah benteng terdepan untuk mencegah bahkan melakukan tindakan hukum tegas terhadap prilaku korup para petinggi pemerintahan. Tentunya KPK tidak berjalan sendirian, ada Polisi dan Pengadilan yang membantu tugas pemberantasan korupsi. Tiga lembaga ini cukup berperan meminimalisir tindakan korup para birokrat, tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa ada beberapa titik lemah yang tetap harus di evaluasi.
Selama ini dalam menanggani berbagai kasus hukum, kususnya korupsi tiga lembaga penegak hukum di negeri ini masih mengunakan cara barat dengan logika menang-kalah. Dalam skala kecepatan menyelesaikan kasus hukum, logika menang kalah memang cukup efektif. Tapi logika menang kalah tidak bisa dijadikan langkah preventif mencegah korupsi. Bukankah bangsa kita sudah terbiasa dengan pepatah mencegah lebih baik daripada mengobati. Tetapi sepertinya, kita juga tidak lekas sadar bahwa, kenapa untuk tahu dinginya jeruji penjara kita harus korupsi dahulu?. Kenapa untuk merasa malu, kita harus disidang dahulu?.
Penyelesain korupsi dengan kontestasi kekuatan, akan menghasilakan pihak yang menang dan kalah. Pihak yang kuat akan mengungguli pihak yang lemah. Baik kuat secara pembelaan hukun dengan pengacara yang mahal atau kuat jaringan kong kalikong antar pejabat. Jelas bahwa pihak yang kalah akan mengalami ketertekanan batin, rasa dendam sangat mungkin berkecamuk. Kita tidak cermat dengan pituduh (petunjuk) orang jawa Menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan). Kita lebih tertarik mengadopsi pedoman penyelesian kasus hukum gaya barat, yang akhirnya mengenalkan kita dengan term harga diri. Akhirnya sebagai manusia kita selalu ingin unggul diatas yang lain, selalu saling menjegal kaki rebutan posisi paling depan.
 Sungguh indah jika penyelesaian kasus korupsi maupun kasus hukum lainya lebih mengedepankan budaya harmoni, keselarasan. Tanpa hasrat saling adu kekuatan hukum yang akan menghasilakan pihak yang sakit hati. Bukankah tujuan dari proses hukum adalah  kesadaran pada kalbu bahwa diri ini telah melakukan perbuatan salah, ?. Atau tujuan itu telah berubah, proses hukum menjadi upaya menyatakan diri bahwa saya telah menang mengalahkanmu dalam pengadilan.

danang tp, 
yogyakarta 18-3-13 

Minggu, 24 Maret 2013

MENYAPA


Sudah lama tak kusapa, ingatan-ingatan yang seharusnya terabadikan. Fikiran-fikiran yang harusnya terpatri, dan imajinasi-imajinasi yang seharusnya terkembangkan abadi. Sudah terlalu lama, hingga sepertinya sulit tangan ini menari-nari di atas ingatan, menjejak di atas imajinasi, dan mengoreskan fikiran-fikiran di atas kertas. Terasa berat memang, tangan ini sudah tak lagi sepiawai dulu, fikiran ini juga sudah tak se ringan dulu. Banyak cerita-cerita terlintas, tapi hanya sejenak. Dan semuanya aku tinggalkan pergi. Masih sempatkah kau menengok dunia yang sebelumnya kau dambakan?? Sepertinya sudah tidak, kau sudah terlalu nyaman dengan duniamu yang baru, dunia loncatan katamu dulu. Dunia awalmu sepertinya sudah terlupakan atau memang kau lupakan. Tapi malam ini ingatanku berlari memburu, mimpi-mimpi awalku yang ternyata terlupakan. 

Jogja 24-7-2011