-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Kamis, 17 September 2015

TERBANG DAN KEMBALILAH (Esai Sambutan Selamat Datang)

(Esai ini ditulis dan dibacakan saat penyambutan anggota baru lsfcogito.org) 



/1/
Terkasih, teman-teman mahasiswa baru, anggota baru LSF-COGITO
Syahdan........Di sebuah sudut kantin, dalam universitas yang amat besar. Segerombolan anak muda berkumpul, ada keseriusan yang tidak melupakan canda tawa. Digerakkan sebuah dorongan mencari terang, juga sekadar mengisi waktu luang, atau menghalau sepi yang menyerang. Tapi percayalah kami datang mencari terang!.
Sekelompok muda yang dilahirkan tanpa heroisme sejarah. Baiklah, saya menyebutnya generasi 2000an. Sebuah generasi yang lahir dari bilik-bilik layar kaca: yang mensiarkan sampo terbaik pelembut rambut, drama mesra pasangan kekasih, hingga pidato bapak presiden tentang “ betapa negara ini dibangun dengan darah dan air mata para pahlawan”. Tiada dari kami yang tahu darah dan air mata, atau bambu runcing yang melesat cepat melebihi pluru serdadu.
Demi dan untuk apa kami berkumpul? Terang macam apa yang kami cari?
Tiada fakta objektif yang cukup heroik hingga  membuat generasi 2000an sahih menserukan: “Betapa menderitanya korban kekerasan 65, Solidaritas untuk Munir, Menolak lupa”. Tapi kami tetap berkumpul, membicarakan apa saja,menyoal siapa saja.
/2/
Sejarah kami adalah sejarah obrolan ringan sehari-hari, sambil menselipkan rerasan sebagai bentuk keprihatinan. Keprihatinan pada sejarah yang melahirkan kami. Pada layar-layar televisi, pada berita. Pada dosen dengan senjata 15 slide ppt. Nalar dalam benak belum juga cukup mencapai pemahaman tentang setiap yang menghadang kita sebagai berita di pagi hari: tentang kenaikan dolar, atau seorang gubernur yang beristri lima. Itu semua amat jauh, dan begitu sulit disentuh dengan tangan-tangan lugu. Tapi, tidak menutup kemungkinan, suatu saat kami pun akan berbicara tentang itu.
Ada sesuatu masalah di depan mata yang lebih nyata, lebih terasa dan kadang juga amat menjengkelkan, walau kadang diam-diam kami cukup menikmati. Dalam laku menikmati itulah setiap kejengkelan meluruh, menjadi rasa nyaman.
Seorang dosen mensajikan sejarah puluhan abad filsafat hanya dalam 15 slide, dengan diselinggi menegur mahasiswa yang tidak memakai sepatu atau tertidur di dalam kelas. Cogito, lahir dari 15 slide yang merampatkan sejarah filsafat . 15 Slide yang ternyata kalah panjang dan tentu kalah menarik daripada serial naruto, atau kungfu 60 episode. Guna memanjangkan episode filsafat, dibutuhkan sebuah arena, sebuah wadah bersama, sebuah komunitas belajar. Begitulah, komunitas ini lahir sebagai keinginan untuk memanjangkan episode filsafat, membuatnya semenarik serial silat atau kartun: menegangkan, menyita perhatian, dan banyak lelucon. Melebarkan arena belajar filsafat seperti lapangan bermain yang serius tapi tidak melupakan canda tawa. Sebab seperti kata Romo Driyarkoro: “ Filsafat adalah arena permainan yang serius”.
                                                                           /3/
Dalam luas bangunan, dan kemegahan fisik juga popularitas psikis Universitas Gadjah Mada, Cogito tentu kalah populer dengan Pertamina Tower, atau jembatan layang pengubung FK dan RS. Sardjito. Tapi kami yakin, sejarah justru berdaya dari hal-hal kecil, dari sesuatu yang tak terlihat di permukaan, tetapi bergerak militan di bawah. Mengambil inspirasi dari progresifitas era Modern dalam pembabagan filsafat barat, LSF-Cogito, dirumuskan sebagai komunitas cermin semangat yang dibawa junjungan bersama Rene Descartes. Sang Bapak Rasionalisme, yang penuh ketelitian, yang kata Khoiril Maqin: “ Tiada akhir bagi Cogito!”.
Mengertilah kita, bangunan besar filsafat dan ilmu-ilmu modern bertolak dari pembagian realitas menjadi Res Cogitan (pikiran, idea) dan Res Extansa (Keluasan, hal-ikhwal kebendaan objektif) yang dilakukan Rene Descartes. Descartes meletakkan fondasi bagi penselidikan ilmiah untuk berbagai macam bidang ilmu. Memulai sebuah cara berfilsafat yang baru: pembuktian cermat lewat kaidah nalar ilmiah yang matematis dan logis (axiomatic reason), sebuah cara pembuktian yang diawali sikap keraguan berpikir, guna menandaskan tentang kepastian dan kedigdayaan nalar manusia, olehnya “ Aku berpikir jadi aku ada”.  Sebuah rasionalisme.
Syahdan suatu sore, Descartes berjalan-jalan mengunjungi sebuah istana. Sebelum masuk dalam istana , descartes melihat sebuah taman yang menarik perhatianya. Sebuah taman yang indah: patung-patung dari tembaga berdiri kukuh, dikelilinggi sebuah kolam air yang meliuk-liuk. Descartes berhenti dan tercenung, dia mengamati setiap detail taman tersebut. Dia melihat patung-patung tembaga itu tiba-tiba saja bergerak saat descartes melangkahkan kakinya mensentuh sebuah ubin yang membentang menuju pintu utama istana.  Kakinya menjejak sebuah ubin lain dan sebuah patung manusia bergerak lagi, dia terdiam lagi dan mengamati dengan rasa penasaran, bagaimana patung manusia itu bisa bergerak silih berganti bersamaan dengan kakinya yang menginjak ubin?
Ternyata, di bawah ubin itu ada sistem dengan arsitektural taman sedemikian rumit dan rapi. Setiap patung bergerak sebab terhubung dengan saluran air, ketika sebuah ubin diinjak maka saluran air tersebut akan mendorong air bergerak untuk selanjutnya tersambung ke setiap bagian tubuh patung dan membuat patung bergerak. Singkat cerita descartes begitu terpsona dengan model arsitektural taman istana tersebut, digerakkan rasa kekaguman yang begitu maha, dia pulang dan akhirnya mensusun sebuah risalah yang amat penting dalam sejarah : Discours de la méthode.
Singkat cerita, Sejak itu descartes merasa pertanyaanya tentang apa dan bagaimana dunia juga siapa manusia terjawab: Dunia dan manusia adalah sebuah sistem mekanistik rumit yang bisa difahami lewat penalaran ilmiah: lewat rasionalisme. Dunia tersusun dari dua kenyataan: 1. jiwa sebagai cogito –akal,pikiran- dan 2. dunia objektif kebendaan, yang digerakkan oleh pikiran. Sistem rumit tata saluran air yang mengerakkan patung diabstraksikan descartes sebagai pikiran, sementara patung adalah dunia objektif kebendaan. Sangat sederhana pada awalnya, tapi jika kemudian kita telusur karya-karya desacrtes sungguh amat rumit dan tiada pernah berakhir.
Begitulah Descartes yang mengilhami LSF-Cogito. Sosok yang dibimbing sikap percaya penuh pada keraguan. Yang amat jeli melihat hal-hal kecil. Oleh karenya seekor angsa seharusnya tidak lolos dari pandangan setiap yang mengambil pelajaran dari descartes. Seorang pendobrak yang membebaskan filsafat juga manusia dari belengu doktrin agama abad tengah. Seorang yang memberikan tilikan optimistis pada dunia, dan menumpukan tugas utama manusia untuk memperbaiki dunia.
Melalui LSF-Cogito dunia mana yang hendak kita perbaiki? atau lebih gampang apa yang hendak kita ambil dari descartes? Bukankah Descartes dan semangat rasionalitas modern sudah runtuh setelah perayaan pada irasionalitas lewat psikoanalisa freudian, filsafat hasrat  Nietzche, dan naik pangungnya para post-modernisme, dan post, post lainya (tidak post ronda tapi yaa) yang menseru ketidakbermaknaan dunia, kuasa hasrat, dan kelemahan pada diri manusia? 
Kita bisa menjawab : di Barat tempat diskusi-diskusi filsafat berlangsung tegang dan serius memang ia . Jika kita di sana tentu sahih mengatakan dunia telah kehilangan maknanya (disenchantment of the world). Kehidupan di Barat (negara dunia pertama: sebagian Eropa, Amerika) berjalan lewat format amat canggih, ketat, penuh temuan-temuan teknologi keren, dan simpulan-simpulan ilmu yang mengagetkan, serta keraguan pada setiap nilai dan hal-ikhwal spiritual. Dalam ritme hidup yang nge-jazz, keluar dari standar 4/4 ketukan itu berteriaklah dengan lantang: “Dunia tidak bermakna!!, dunia ini penuh sia-sia, atau mensitir Chairil Anwar “ Hidup hanya menunda kekalahan”. Tapi tanpa harus dijelaskan kita semua tahu: kita hidup di Indonesia, Kita tidak hidup di Barat.
Kita manusia Indonesia, hidup di Indonesia yang negara dunia ketiga. Tempat berbagai soal kehidupan amat akut, rumit dan parah, sekaligus juga amat remeh bahkan lucu. Di tengah soal-soal itu di sini kita bisa saksikan tukang becak klebas-klebus rokok samsu, di pinggir malioboro, seharian tanpa penumpang. Ibu-ibu buruh gendong di bringharjo naik turun tangga membawa beban singkong 20 kg, setiap hari mereka menjalani itu. Seorang dosen bisa tetap santai mengajar mata kuliah tertentu, walau hanya dengan bekal 15 slide yang celakanya setiap tahun tidak pernah diganti. Kalau teman-teman sering nongkrong di bonbin, tentu tahu berapa jumlah mahasiswa yang ngopi sambil klebas-klebus rokok saat jam seharusnya mengantarkan mereka duduk di dalam kelas.
 Andaikan dunia ini sudah kehilangan makna, oleh karenanya tidak perlu ada usaha sedikit mempercantik bentuknya, hingga sahih kita hidup lewat rasa pesimis. Tapi kenyataanya semua itu dihadapi dengan santai. Lihatlah dosen bersenjata 15 slide tersenyum-senyum setiap hari, atau mahasiswa telat bayar kost yang tetap membaca buku dan ketawa-ketawa di kantin. Seolah tiada masalah apa-apa. Dengan ketahanan psikis yang sulit dijelaskan, dengan tidak abai pada setiap permasalahan nyata di depan kita: berbekal itu perubahan di jalankan. Jalan-jalan alternatif disibak. Dunia lewat segala masalahnya kita terima (fakultas filsafat dengan dosen-dosenya dari segala bentuk dan tingkah kita sayangi), sambil juga kita tolak lewat pencarian alternatif-alternatif pemecahan.
Jika kita gunakan standardisasi barat lewat bahasa keilmuan “ ketimpangan sosial-ekonomi-politik” yang amat akut di negeri ini. Tentu sebenarnya sarat untuk bunuh diri dan pesimistis itu ada secara objektif dan lebih meyakinkan, daripada pesimisme orang barat yang tumbuh justru lewat kemajuan taraf kecanggihan hidup.  Tapi kenapa belum juga ada mahasiswa yang gantung diri sebab dunia baginya tidak bermakna, yang ada malah mahasiswa yang galau di putus pacarnya dan menjatuhkan diri dari loteng. Mengapa seperti itu, mudah saja : “ sebab kita bukan orang barat” . Kita tidak pernah dididik dalam sebuah iklim berfilsafat yang ketat, canggih dan penuh jurus-jurus rahasia seperti di barat. Saya haqqul yaqin di seluruh belahan dunia manapun, di sudut universitas-universitas paling ternama sekalipun: Tidak ada pembaca Heidegger yang juga seorang wota sejak dalam pikiran. Percayalah Heidegger yang wota hanya ada di Filsafat UGM.
Oleh sebab itu, biarlah di barat descartes dan semangat progresifitas era modern dianggap telah mati. Tapi di sini, di komunitas ini kita akan memanggil rohnya kembali. Menghidupkan descartes sebagai teladan semangat berpikir dan berdialog bersama tentang filsafat dan atau segala hal. Dengan mengambil contoh laku belajar filsafat ala modern, ala descartes dan pemikir-pemikir lainya, bukan berarti kita stagnan, kita akan tetap belajar filsafat setelah descartes bahkan hingga filsafat kontemporer, akan tetapi langkah yang membimbing kita adalah apa yang disebut descartes sebagai mathesis universalis (titik tumpu, kepercayaan, bahwa dunia bisa dikonstruksi lewat nalar ilmiah mathematis). Dengan modifikasi,  mathesis universalis descartes bisa kita bahasakan ulang sebagai triade: BACA, HAYATI, KRITISI- (HISTORIS,KRITIS, DIALEKTIS, KONSTRTUKTIF), begitulah triade khas LSF-COGITO yang kita rumuskan di bawah bintang, di antara lebat hutan dan bebatuan karst, di pinggir pantai Kukup Gunung Kidul pada Muktamar Pertama medio 2014.
Cogito, daya-daya konstruktif modernisme masih ada, dan akan terus ada!
/4/
Sebagai komunitas yang pada intinya bergerak pada ranah pendidikan –belajar bersama- tentu ada berbagai kendala yang dihadapi. Bagaimana proses belajar dalam komunitas ini bisa berjalan maksimal: menarik, serius, tapi tidak meluapakan canda tawa? Pertanyaan tersebut mengandaikan LSF-COGITO sebagai komunitas yang harus dinamis dalam strategi, selalu berangkat dari permasalahan nyata, dan mencari pemecahanya. Selama ini problem proses belajar, masih menjadi tantangan terbesar, Bagi kami yang belum selesai menuntaskan kuliah,  problem waktu dan tenaga, serta latar belakang  ketertarikan serta minat yang amat heterogen.
Dengan bertambahnya anggota baru dari teman-teman 2015 khususnya, tentu akan meringankan semuanya. Selamat datang !!
Triade: Baca, Hayati, Kritisi yang mewujud lewat laku belajar Historis, Kritis, Dialektis, Konstruktif, yang di inspirasi dari descartes dan filsafat barat era modern juga menandakan sebuah suasana diskusi egaliter. Sebab saat descartes menserukan “ cogito ergo sum” saat itulah setiap manusia dianggap berdaya nalar yang sama-sama canggih, saat itulah ketaatan pada dogma di usir jauh. Sebuah intuisi tentang kesamarataan, sebuah terang pencerahan. Olehnya kedepan tentu penciptaan sebuah proses belajar bersama yang tidak mendefinisikan kemampuan seseorang sebagai yang paling menguasai dibanding yang lain, harus terus dijaga. Sebab ada yang lebih tahu banyak tentang descartes, tetapi kurang faham tentang Marx, menjiwai pancasila tetapi kurang faham sekularisme. Komunitas belajar ada untuk saling menambal-sulam. Komunitas sebagai manifestasi solidaritas komunal sebagai jalan keilmuan untuk menjawab soal-soal kehidupan sehari-hari, dan soal teoretik kita bersama di fakultas filsafat ugm tercinta
/5/
LSF-COGITO adalah sejarah kecil, sebuah kelompok kecil yang lahir dari kenyataan. Sekumpulan anak muda generasi 2000an yang tahu sejarah filsafat tidak bisa dirampatkan dalam 15 slide. Tapi juga tahu kemampuanya tidak cukup besar untuk mengadakan perubahan, sebab hidup tentu bukan hanya soal cogito. Tapi saya secara pribadi selalu kikuk berada di tengah-tengah kawan-kawan semua, yang bersetia pada suatu apa yang amat jauh di depan sana.  Apa itu? Sebuah janji, yang menerbitkan keteguhan, militansi, tapi, layaknya janji dia juga penuh ketidakpastian.
LSF COGITO, adalah terang di antara pertamina tower dan kemegahan psikis UGM. Kemegahan dan popularitas psikis yang ternyata sulit dibedakan dengan sebuah desas-desus khasiat obat kuat, yang dijual di bili-bilik kecil samping stasiun tugu. Sebab terang dia adalalah nyata, sebuah arus sejarah dari yang nyata, kemana dan akan merubah apa arus itu? atau jangan-jangan saya salah mengambil metafor arus.
 Baiklah saya ganti, LSF-COGITO adalah sekumpulan angsa yang terbang tidak setinggi elang, sekumpulan angsa yang selalu terbang sebagai solidaritas komunal. Angsa tidak akan terbang selama dan setinggi elang. Sekumpulan angsa hanya terbang jika daerah yang dipijaknya kekurangan bahan makanan, dia terbang sebab dorongan dari sesuatu yang nyata.
. Dia terbang untuk melihat daerah baru yang lebih nyaman, dia terbang untuk mendarat.  Sebuah gerakan bolak-balik yang membatalkan segala totalitas, sebab ketika di antara awan atau di tengah gang sempit perumahan: kedua tempat menghendaki sudut pandang yang berbeda. Bulan dari sudut gang tentu lebih kecil daripada bulan dari atas awan atau pucuk pohon nangka. Orang yang berdiri di ujung gang dan berkata bulan sebesar gunung bromo, tentu akan diketawakan semut. Begitu juga sebaliknya dengan yang di atas awan tapi berkata bulan sekecil biji semangka.
Kita bisa terbang, tetapi kita juga harus kembali. Tidak ada angsa yang terus menerus terbang di awan. Lagi-lagi kita tidak didik dalam iklim pendidikan filsafat yang ketat serius dan amat canggih seperti di barat. Tapi bukan berarti kita tidak bisa canggih seperti para filsuf di barat, sebab descartes yakin semua manusia sama dalam kemampuan nalar. Ketika sekarang di barat masuk era post-modernisme jangan-jangan disini masih zaman antik, atau musim akik malah. Olehnya, modernisme disini masih ada dan harus ada. Kita belajar kebenaran ilmiah, kesahihan argumen filosofis dari barat, untuk kemudian kembali: memecahkan persoalan kita sendiri.
Selama dalam kenyataan masih ada senjata 15 slide untuk jurus sejarah filsafat, selama itu LSF-COGITO harus tetap ada. Sebuah perjuangan –jika teman-teman mengijinkan saya memakai kata heroik itu- . Perjuangan untuk setia pada hal-hal kecil di depan mata sebagai yang nyata dan ada. Sebuah perjuangan yang sadar diri oleh karanya menolak meloncat oleh karenanya HISTORIS, KRITIS, DIALEKTIS, KONSTRUKTIF.
Lewat keempat hal itu suatu saat generasi anak muda 2000an sahih berteriak “ Perbaiki sistem belajar filsafat bulaksumur”. “Menolak Lupa” “ Lawan Korupsi” “Rekonsiliasi korban pembantaian 65” Sebab melalui Historis, kita membawa masa lalu yang berjarak jauh untuk medekat dengan diri kita. Lewat Kritis, kita mempertanyakan masa lalu tersebut, dan bias-bias dalam pemahamanya. Lewat Dialektis kita memepertemukan kekinian kita sebagai bangunan yang tidak bisa lepas dari masa lalu, yang selalu bergerak lewat penerimaan dan penolakan. Pada akhirnya Konstruktif :menghendaki sebuah bangunan masa depan yang sesuai atau paling tidak mendekati tiga hal sebelumnya.
Singkatnya lewat cogito kita belajar tidak meloncat, tetapi bergerak dan memahami sesuai konteks, berlajar mendayakan seluruh nalar. Belajar dari kenyataan yang ada di depan mata. Belajar santai. Sebuah keseriusan yang tiada lupa canda tawa. Kita tidak akan pergi kemana-mana, tidak akan meloncat jauh ke awang-awang. Kita akan membaca tentang jernih pikir para filsuf. Kita akan menulisnya, kita akan bertanya bagaimana kejernihan itu muncul. Kita akan mencipta kejernihan yang sesuai dengan keruh selokan air di pinggir-pinggir jalan itu.
Kita mensukai keindahan, tetapi yang tidak membiaskan kenyataan di depan mata. Keindahan yang tiada lupa bahwa masih ada sejarah filsafat yang hanya 15 slide. Kita bergerak dari yang nyata. Sebab tidak ada musim gugur di Rembang, tidak ada salju turun di Lumajang, dan tentu tidak ada angsa yang terus terbang tinggi, kecuali dia layang-layang miniatur angsa yang dijual 6.000 di pinggir alun-alun kidul.
Selamat datang.....!!!! Terbang dan kembalilah.


Kaliurang
 11-09-2015 04:05

Danang T.P