(Esai ini ditulis dan dibacakan saat penyambutan anggota baru lsfcogito.org)
/1/
Terkasih, teman-teman mahasiswa baru,
anggota baru LSF-COGITO
Syahdan........Di sebuah sudut kantin,
dalam universitas yang amat besar. Segerombolan anak muda berkumpul, ada
keseriusan yang tidak melupakan canda tawa. Digerakkan sebuah dorongan mencari
terang, juga sekadar mengisi waktu luang, atau menghalau sepi yang menyerang. Tapi
percayalah kami datang mencari terang!.
Sekelompok muda yang dilahirkan tanpa
heroisme sejarah. Baiklah, saya menyebutnya generasi 2000an. Sebuah generasi
yang lahir dari bilik-bilik layar kaca: yang mensiarkan sampo terbaik pelembut
rambut, drama mesra pasangan kekasih, hingga pidato bapak presiden tentang “
betapa negara ini dibangun dengan darah dan air mata para pahlawan”. Tiada dari
kami yang tahu darah dan air mata, atau bambu runcing yang melesat cepat
melebihi pluru serdadu.
Demi dan untuk apa kami berkumpul?
Terang macam apa yang kami cari?
Tiada fakta objektif yang cukup heroik
hingga membuat generasi 2000an sahih
menserukan: “Betapa menderitanya korban kekerasan 65, Solidaritas untuk Munir,
Menolak lupa”. Tapi kami tetap berkumpul, membicarakan apa saja,menyoal siapa
saja.
/2/
Sejarah kami adalah sejarah obrolan
ringan sehari-hari, sambil menselipkan rerasan
sebagai bentuk keprihatinan. Keprihatinan pada sejarah yang melahirkan kami.
Pada layar-layar televisi, pada berita. Pada dosen dengan senjata 15 slide ppt.
Nalar dalam benak belum juga cukup mencapai pemahaman tentang setiap yang
menghadang kita sebagai berita di pagi hari: tentang kenaikan dolar, atau
seorang gubernur yang beristri lima. Itu semua amat jauh, dan begitu sulit
disentuh dengan tangan-tangan lugu. Tapi, tidak menutup kemungkinan, suatu saat
kami pun akan berbicara tentang itu.
Ada sesuatu masalah di depan mata yang
lebih nyata, lebih terasa dan kadang juga amat menjengkelkan, walau kadang
diam-diam kami cukup menikmati. Dalam laku menikmati itulah setiap kejengkelan
meluruh, menjadi rasa nyaman.
Seorang dosen mensajikan sejarah
puluhan abad filsafat hanya dalam 15 slide, dengan diselinggi menegur mahasiswa
yang tidak memakai sepatu atau tertidur di dalam kelas. Cogito, lahir dari 15
slide yang merampatkan sejarah filsafat . 15 Slide yang ternyata kalah panjang
dan tentu kalah menarik daripada serial naruto, atau kungfu 60 episode. Guna
memanjangkan episode filsafat, dibutuhkan sebuah arena, sebuah wadah bersama,
sebuah komunitas belajar. Begitulah, komunitas ini lahir sebagai keinginan
untuk memanjangkan episode filsafat, membuatnya semenarik serial silat atau
kartun: menegangkan, menyita perhatian, dan banyak lelucon. Melebarkan arena
belajar filsafat seperti lapangan bermain yang serius tapi tidak melupakan
canda tawa. Sebab seperti kata Romo Driyarkoro: “ Filsafat adalah arena permainan
yang serius”.
/3/
Dalam luas bangunan, dan kemegahan
fisik juga popularitas psikis Universitas Gadjah Mada, Cogito tentu kalah
populer dengan Pertamina Tower, atau jembatan layang pengubung FK dan RS.
Sardjito. Tapi kami yakin, sejarah justru berdaya dari hal-hal kecil, dari
sesuatu yang tak terlihat di permukaan, tetapi bergerak militan di bawah.
Mengambil inspirasi dari progresifitas era Modern dalam pembabagan filsafat
barat, LSF-Cogito, dirumuskan sebagai komunitas cermin semangat yang dibawa
junjungan bersama Rene Descartes. Sang Bapak Rasionalisme, yang penuh
ketelitian, yang kata Khoiril Maqin: “ Tiada akhir bagi Cogito!”.
Mengertilah kita, bangunan besar
filsafat dan ilmu-ilmu modern bertolak dari pembagian realitas menjadi Res Cogitan (pikiran, idea) dan Res Extansa (Keluasan, hal-ikhwal
kebendaan objektif) yang dilakukan Rene Descartes. Descartes meletakkan fondasi
bagi penselidikan ilmiah untuk berbagai macam bidang ilmu. Memulai sebuah cara
berfilsafat yang baru: pembuktian cermat lewat kaidah nalar ilmiah yang
matematis dan logis (axiomatic reason),
sebuah cara pembuktian yang diawali sikap keraguan berpikir, guna menandaskan
tentang kepastian dan kedigdayaan nalar manusia, olehnya “ Aku berpikir jadi
aku ada”. Sebuah rasionalisme.
Syahdan suatu sore, Descartes
berjalan-jalan mengunjungi sebuah istana. Sebelum masuk dalam istana ,
descartes melihat sebuah taman yang menarik perhatianya. Sebuah taman yang
indah: patung-patung dari tembaga berdiri kukuh, dikelilinggi sebuah kolam air
yang meliuk-liuk. Descartes berhenti dan tercenung, dia mengamati setiap detail
taman tersebut. Dia melihat patung-patung tembaga itu tiba-tiba saja bergerak
saat descartes melangkahkan kakinya mensentuh sebuah ubin yang membentang
menuju pintu utama istana. Kakinya
menjejak sebuah ubin lain dan sebuah patung manusia bergerak lagi, dia terdiam
lagi dan mengamati dengan rasa penasaran, bagaimana patung manusia itu bisa
bergerak silih berganti bersamaan dengan kakinya yang menginjak ubin?
Ternyata, di bawah ubin itu ada sistem
dengan arsitektural taman sedemikian rumit dan rapi. Setiap patung bergerak sebab
terhubung dengan saluran air, ketika sebuah ubin diinjak maka saluran air
tersebut akan mendorong air bergerak untuk selanjutnya tersambung ke setiap
bagian tubuh patung dan membuat patung bergerak. Singkat cerita descartes
begitu terpsona dengan model arsitektural taman istana tersebut, digerakkan
rasa kekaguman yang begitu maha, dia pulang dan akhirnya mensusun sebuah
risalah yang amat penting dalam sejarah : Discours de la méthode.
Singkat cerita, Sejak itu
descartes merasa pertanyaanya tentang apa dan bagaimana dunia juga siapa manusia
terjawab: Dunia dan manusia adalah sebuah sistem mekanistik rumit yang bisa
difahami lewat penalaran ilmiah: lewat rasionalisme. Dunia tersusun dari dua
kenyataan: 1. jiwa sebagai cogito –akal,pikiran- dan 2. dunia objektif
kebendaan, yang digerakkan oleh pikiran. Sistem rumit tata saluran air yang
mengerakkan patung diabstraksikan descartes sebagai pikiran, sementara patung
adalah dunia objektif kebendaan. Sangat sederhana pada awalnya, tapi jika
kemudian kita telusur karya-karya desacrtes sungguh amat rumit dan tiada pernah
berakhir.
Begitulah Descartes yang mengilhami
LSF-Cogito. Sosok yang dibimbing sikap percaya penuh pada keraguan. Yang amat
jeli melihat hal-hal kecil. Oleh karenya seekor angsa seharusnya tidak lolos
dari pandangan setiap yang mengambil pelajaran dari descartes. Seorang
pendobrak yang membebaskan filsafat juga manusia dari belengu doktrin agama
abad tengah. Seorang yang memberikan tilikan optimistis pada dunia, dan
menumpukan tugas utama manusia untuk memperbaiki dunia.
Melalui LSF-Cogito dunia mana yang hendak kita
perbaiki? atau lebih gampang apa yang hendak kita ambil dari descartes?
Bukankah Descartes dan semangat rasionalitas modern sudah runtuh setelah
perayaan pada irasionalitas lewat psikoanalisa freudian, filsafat hasrat Nietzche, dan naik pangungnya para
post-modernisme, dan post, post lainya (tidak post ronda tapi yaa) yang menseru
ketidakbermaknaan dunia, kuasa hasrat, dan kelemahan pada diri manusia?
Kita bisa menjawab : di Barat tempat
diskusi-diskusi filsafat berlangsung tegang dan serius memang ia . Jika kita di
sana tentu sahih mengatakan dunia telah kehilangan maknanya (disenchantment of the world). Kehidupan di Barat (negara
dunia pertama: sebagian Eropa, Amerika) berjalan lewat format amat canggih,
ketat, penuh temuan-temuan teknologi keren, dan simpulan-simpulan ilmu yang
mengagetkan, serta keraguan pada setiap nilai dan hal-ikhwal spiritual. Dalam
ritme hidup yang nge-jazz, keluar dari
standar 4/4 ketukan itu berteriaklah dengan lantang: “Dunia tidak bermakna!!,
dunia ini penuh sia-sia, atau mensitir Chairil Anwar “ Hidup hanya menunda kekalahan”. Tapi tanpa harus dijelaskan kita
semua tahu: kita hidup di Indonesia, Kita tidak hidup di Barat.
Kita manusia
Indonesia, hidup di Indonesia yang negara dunia ketiga. Tempat berbagai soal
kehidupan amat akut, rumit dan parah, sekaligus juga amat remeh bahkan lucu. Di
tengah soal-soal itu di sini kita bisa saksikan tukang becak klebas-klebus
rokok samsu, di pinggir malioboro, seharian tanpa penumpang. Ibu-ibu buruh
gendong di bringharjo naik turun tangga membawa beban singkong 20 kg, setiap
hari mereka menjalani itu. Seorang dosen bisa tetap santai mengajar mata kuliah
tertentu, walau hanya dengan bekal 15 slide yang celakanya setiap tahun tidak
pernah diganti. Kalau teman-teman sering nongkrong di bonbin, tentu tahu berapa
jumlah mahasiswa yang ngopi sambil klebas-klebus rokok saat jam seharusnya
mengantarkan mereka duduk di dalam kelas.
Andaikan dunia ini sudah kehilangan makna,
oleh karenanya tidak perlu ada usaha sedikit mempercantik bentuknya, hingga
sahih kita hidup lewat rasa pesimis. Tapi kenyataanya semua itu dihadapi dengan
santai. Lihatlah dosen bersenjata 15 slide tersenyum-senyum setiap hari, atau
mahasiswa telat bayar kost yang tetap membaca buku dan ketawa-ketawa di kantin.
Seolah tiada masalah apa-apa. Dengan ketahanan psikis yang sulit dijelaskan,
dengan tidak abai pada setiap permasalahan nyata di depan kita: berbekal itu
perubahan di jalankan. Jalan-jalan alternatif disibak. Dunia lewat segala
masalahnya kita terima (fakultas filsafat dengan dosen-dosenya dari segala
bentuk dan tingkah kita sayangi), sambil juga kita tolak lewat pencarian
alternatif-alternatif pemecahan.
Jika kita gunakan
standardisasi barat lewat bahasa keilmuan “ ketimpangan sosial-ekonomi-politik”
yang amat akut di negeri ini. Tentu sebenarnya sarat untuk bunuh diri dan
pesimistis itu ada secara objektif dan lebih meyakinkan, daripada pesimisme
orang barat yang tumbuh justru lewat kemajuan taraf kecanggihan hidup. Tapi kenapa belum juga ada mahasiswa yang
gantung diri sebab dunia baginya tidak bermakna, yang ada malah mahasiswa yang
galau di putus pacarnya dan menjatuhkan diri dari loteng. Mengapa seperti itu,
mudah saja : “ sebab kita bukan orang barat” . Kita tidak pernah dididik dalam
sebuah iklim berfilsafat yang ketat, canggih dan penuh jurus-jurus rahasia
seperti di barat. Saya haqqul yaqin
di seluruh belahan dunia manapun, di sudut universitas-universitas paling
ternama sekalipun: Tidak ada pembaca Heidegger yang juga seorang wota sejak
dalam pikiran. Percayalah Heidegger yang wota hanya ada di Filsafat UGM.
Oleh sebab itu,
biarlah di barat descartes dan semangat progresifitas era modern dianggap telah
mati. Tapi di sini, di komunitas ini kita akan memanggil rohnya kembali.
Menghidupkan descartes sebagai teladan semangat berpikir dan berdialog bersama tentang
filsafat dan atau segala hal. Dengan mengambil contoh laku belajar filsafat ala
modern, ala descartes dan pemikir-pemikir lainya, bukan berarti kita stagnan,
kita akan tetap belajar filsafat setelah descartes bahkan hingga filsafat
kontemporer, akan tetapi langkah yang membimbing kita adalah apa yang disebut
descartes sebagai mathesis universalis
(titik tumpu, kepercayaan, bahwa dunia bisa dikonstruksi lewat nalar ilmiah
mathematis). Dengan modifikasi, mathesis universalis descartes bisa kita
bahasakan ulang sebagai triade: BACA, HAYATI, KRITISI- (HISTORIS,KRITIS,
DIALEKTIS, KONSTRTUKTIF), begitulah triade khas LSF-COGITO yang kita rumuskan
di bawah bintang, di antara lebat hutan dan bebatuan karst, di pinggir pantai
Kukup Gunung Kidul pada Muktamar Pertama medio 2014.
Cogito, daya-daya
konstruktif modernisme masih ada, dan akan terus ada!
/4/
Sebagai komunitas yang
pada intinya bergerak pada ranah pendidikan –belajar bersama- tentu ada
berbagai kendala yang dihadapi. Bagaimana proses belajar dalam komunitas ini
bisa berjalan maksimal: menarik, serius, tapi tidak meluapakan canda tawa? Pertanyaan
tersebut mengandaikan LSF-COGITO sebagai komunitas yang harus dinamis dalam
strategi, selalu berangkat dari permasalahan nyata, dan mencari pemecahanya.
Selama ini problem proses belajar, masih menjadi tantangan terbesar, Bagi kami
yang belum selesai menuntaskan kuliah, problem waktu dan tenaga, serta latar
belakang ketertarikan serta minat yang
amat heterogen.
Dengan bertambahnya
anggota baru dari teman-teman 2015 khususnya, tentu akan meringankan semuanya.
Selamat datang !!
Triade: Baca, Hayati,
Kritisi yang mewujud lewat laku belajar Historis, Kritis, Dialektis,
Konstruktif, yang di inspirasi dari descartes dan filsafat barat era modern
juga menandakan sebuah suasana diskusi egaliter. Sebab saat descartes
menserukan “ cogito ergo sum” saat itulah
setiap manusia dianggap berdaya nalar yang sama-sama canggih, saat itulah
ketaatan pada dogma di usir jauh. Sebuah intuisi tentang kesamarataan, sebuah
terang pencerahan. Olehnya kedepan tentu penciptaan sebuah proses belajar
bersama yang tidak mendefinisikan kemampuan seseorang sebagai yang paling
menguasai dibanding yang lain, harus terus dijaga. Sebab ada yang lebih tahu
banyak tentang descartes, tetapi kurang faham tentang Marx, menjiwai pancasila
tetapi kurang faham sekularisme. Komunitas belajar ada untuk saling
menambal-sulam. Komunitas sebagai manifestasi solidaritas komunal sebagai jalan
keilmuan untuk menjawab soal-soal kehidupan sehari-hari, dan soal teoretik kita
bersama di fakultas filsafat ugm tercinta
/5/
LSF-COGITO
adalah sejarah kecil, sebuah kelompok kecil yang lahir dari kenyataan.
Sekumpulan anak muda generasi 2000an yang tahu sejarah filsafat tidak bisa
dirampatkan dalam 15 slide. Tapi juga tahu kemampuanya tidak cukup besar untuk
mengadakan perubahan, sebab hidup tentu bukan hanya soal cogito. Tapi saya
secara pribadi selalu kikuk berada di tengah-tengah kawan-kawan semua, yang
bersetia pada suatu apa yang amat jauh di depan sana. Apa itu? Sebuah janji, yang menerbitkan
keteguhan, militansi, tapi, layaknya janji dia juga penuh ketidakpastian.
LSF
COGITO, adalah terang di antara pertamina tower dan kemegahan psikis UGM.
Kemegahan dan popularitas psikis yang ternyata sulit dibedakan dengan sebuah
desas-desus khasiat obat kuat, yang dijual di bili-bilik kecil samping stasiun
tugu. Sebab terang dia adalalah nyata, sebuah arus sejarah dari yang nyata,
kemana dan akan merubah apa arus itu? atau jangan-jangan saya salah mengambil
metafor arus.
Baiklah saya ganti, LSF-COGITO adalah
sekumpulan angsa yang terbang tidak setinggi elang, sekumpulan angsa yang selalu
terbang sebagai solidaritas komunal. Angsa tidak akan terbang selama dan
setinggi elang. Sekumpulan angsa hanya terbang jika daerah yang dipijaknya
kekurangan bahan makanan, dia terbang sebab dorongan dari sesuatu yang nyata.
.
Dia terbang untuk melihat daerah baru yang lebih nyaman, dia terbang untuk
mendarat. Sebuah gerakan bolak-balik
yang membatalkan segala totalitas, sebab ketika di antara awan atau di tengah
gang sempit perumahan: kedua tempat menghendaki sudut pandang yang berbeda. Bulan
dari sudut gang tentu lebih kecil daripada bulan dari atas awan atau pucuk
pohon nangka. Orang yang berdiri di ujung gang dan berkata bulan sebesar gunung
bromo, tentu akan diketawakan semut. Begitu juga sebaliknya dengan yang di atas
awan tapi berkata bulan sekecil biji semangka.
Kita
bisa terbang, tetapi kita juga harus kembali. Tidak ada angsa yang terus
menerus terbang di awan. Lagi-lagi kita tidak didik dalam iklim pendidikan
filsafat yang ketat serius dan amat canggih seperti di barat. Tapi bukan
berarti kita tidak bisa canggih seperti para filsuf di barat, sebab descartes
yakin semua manusia sama dalam kemampuan nalar. Ketika sekarang di barat masuk
era post-modernisme jangan-jangan disini masih zaman antik, atau musim akik
malah. Olehnya, modernisme disini masih ada dan harus ada. Kita belajar
kebenaran ilmiah, kesahihan argumen filosofis dari barat, untuk kemudian
kembali: memecahkan persoalan kita sendiri.
Selama
dalam kenyataan masih ada senjata 15 slide untuk jurus sejarah filsafat, selama
itu LSF-COGITO harus tetap ada. Sebuah perjuangan –jika teman-teman mengijinkan
saya memakai kata heroik itu- . Perjuangan untuk setia pada hal-hal kecil di
depan mata sebagai yang nyata dan ada. Sebuah perjuangan yang sadar diri oleh
karanya menolak meloncat oleh karenanya HISTORIS, KRITIS, DIALEKTIS,
KONSTRUKTIF.
Lewat
keempat hal itu suatu saat generasi anak muda 2000an sahih berteriak “ Perbaiki
sistem belajar filsafat bulaksumur”. “Menolak Lupa” “ Lawan Korupsi”
“Rekonsiliasi korban pembantaian 65” Sebab melalui Historis, kita membawa
masa lalu yang berjarak jauh untuk medekat dengan diri kita. Lewat Kritis,
kita mempertanyakan masa lalu tersebut, dan bias-bias dalam pemahamanya. Lewat Dialektis
kita memepertemukan kekinian kita sebagai bangunan yang tidak bisa lepas dari
masa lalu, yang selalu bergerak lewat penerimaan dan penolakan. Pada akhirnya Konstruktif
:menghendaki sebuah bangunan masa depan yang sesuai atau paling tidak mendekati
tiga hal sebelumnya.
Singkatnya
lewat cogito kita belajar tidak meloncat, tetapi bergerak dan memahami sesuai
konteks, berlajar mendayakan seluruh nalar. Belajar dari kenyataan yang ada di
depan mata. Belajar santai. Sebuah keseriusan yang tiada lupa canda tawa. Kita
tidak akan pergi kemana-mana, tidak akan meloncat jauh ke awang-awang. Kita
akan membaca tentang jernih pikir para filsuf. Kita akan menulisnya, kita akan
bertanya bagaimana kejernihan itu muncul. Kita akan mencipta kejernihan yang
sesuai dengan keruh selokan air di pinggir-pinggir jalan itu.
Kita
mensukai keindahan, tetapi yang tidak membiaskan kenyataan di depan mata.
Keindahan yang tiada lupa bahwa masih ada sejarah filsafat yang hanya 15 slide.
Kita bergerak dari yang nyata. Sebab tidak ada musim gugur di Rembang, tidak
ada salju turun di Lumajang, dan tentu tidak ada angsa yang terus terbang
tinggi, kecuali dia layang-layang miniatur angsa yang dijual 6.000 di pinggir
alun-alun kidul.
Selamat
datang.....!!!! Terbang dan kembalilah.
Kaliurang
11-09-2015 04:05
Danang T.P