Oleh: Danang T.P
(Mahasiswa Ilmu Filsafat UGM)
Hasil kerja keras selama ujian semester telah bisa dilihat
hasilnya pada akhir Januari atau awal Februari. Banyak respon yang menarik dari
teman-teman kita mahasiswa terhadap hasil belajar mereka yang berupa Indeks
Prestasi. Ada yang biasa-biasa saja dengan nilai IP 3 atau 4. Ada yang langsung
siaran keliling kost teman-temannya karena mendapat IP 3,7. Ada juga yang tetap
bisa senyam-senyum dengan nilai IP,
2. Banyak juga yang stres, atau bahkan kebingungan karena mendapat IP 2. Tentu
kita tidak perlu melihat ada mahasiswa yang bunuh diri gara-gara IP-nya rendah.
Dari berbagai bentuk respon mahasiswa terhadap IP, bisa kita simpulkan bahwa
sudut pandang kita tentang IP menentukan respon psikologis dalam diri kita.
Kita bisa membuat konsep sederhana, bahwa sudut pandang
kita tentang IP akan menentukan bagaimana kita menjalani proses belajar di
kampus. Dari konsep itu bisa kita golongkan dua tipe mahasiswa. Penggolongan
menjadi dua tipe hanyalah upaya mempermudah memahami fenomena saja. Ada mahasiswa
yang tidak termasuk dua tipe ini.
Tipe pertama, mahasiswa yang IP Oriented. Mahasiswa tipe ini
biasanya akan mati-matian untuk mendapatkan IP bagus, pun dengan cara yang
curang. Mahasiswa melihat IP sebagai hal pokok yang akan mendukung karier
akademiknya maupun karier nanti dalam dunia kerja. Baginya IP adalah legitimasi
paling sah untuk menyatakan bahwa penguasaan ilmunya telah cukup matang. Cara
berfikir seperi ini tak lepas dari pengaruh dunia kerja. Mahasiswa yang
menginginkan kerja disuatu perusahaan yang mensyaratkan setiap karyawanya
memiliki IP yang tinggi, tentu akan berusaha sekuat tenaga mendapat IP bagus.
Mahasiswa ini biasanya akan mudah kecewa jika nilai IP-nya tidak sesuai target.
Kecewa hal yang wajar dan sah saja, tetapi kecewa terlalu berlebihan hingga
menumbulkan stress yang mengangu kegiatan mencari ilmu, itu yang tidak boleh.
Tipe kedua, mahasiswa yang menganggap remeh IP. Mahasiswa tipe ini biasanya
santai-santai saja kuliahnya. Tidak terlalu berambisi terhadap IP yang bagus.
Sekedar kuliah menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa sudah cukup. Tipe
seperti ini akan menghasilkan mahasiswa yang dengan IP 2 bisa tetap
senyam-senyum. IP mereka anggap remeh.
Lalu bagaimana kita
bisa meletakkan IP pada posisi yang ideal? Posisi agar kita tidak terjebak pada
sikap berlebihan terhadap IP tetapi juga tidak meremehkanya. Menurut saya kita
harus kembali memperkuat ataupun membenahi niat belajar di universitas. Sungguh
indah jika niat pertama dan utama kita belajar di universitas adalah mencari
ilmu. Ilmu untuk memperluas pandangan kita tentang kehidupan. Ilmu meningkat,
jiwa meluas.
Mencari ilmu untuk meluaskan jiwa adalah tujuan utama
belajar di universitas. IP kita letakkan sebagai salah satu perantara untuk
memudahkan pihak universitas mengukur pencapaian keilmuan kita. (Ingat hanya
salah satu). Cara berfikir seperti ini populer dalam tradisi Mistisisme Islam (Tashawwuf). Cara pandang wasilah (perantara), dan ghayyah (tujuan). Jadi mencari ilmu
adalah ghayyah atau tujuan utama
kita, sedang IP hanyalah perantara (Wassilah) untuk mencapai peningkatan ilmu
dan keluasan jiwa. Cara berfikir seperti ini, bisa menghindarkan kita dari
sikap menganggap IP adalah segalanya, tetapi juga tidak menyepelekannya. Kita
akan maksimal memperoleh tujuan jika melewati perantara dengan baik, orang yang
ingin menyebrang sungai akan lebih mudah jika lewat jembatan, bukankah begitu?
* dimuat di koran Kedaulatan Rakyat 12 Februati 2013
* dimuat di koran Kedaulatan Rakyat 12 Februati 2013