-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Rabu, 27 Februari 2013

Meletakkan IP Pada Tempatnya*



Oleh: Danang T.P
(Mahasiswa Ilmu Filsafat UGM)

Hasil kerja keras selama ujian semester telah bisa dilihat hasilnya pada akhir Januari atau awal Februari. Banyak respon yang menarik dari teman-teman kita mahasiswa terhadap hasil belajar mereka yang berupa Indeks Prestasi. Ada yang biasa-biasa saja dengan nilai IP 3 atau 4. Ada yang langsung siaran keliling kost teman-temannya karena mendapat IP 3,7. Ada juga yang tetap bisa senyam-senyum dengan nilai IP, 2. Banyak juga yang stres, atau bahkan kebingungan karena mendapat IP 2. Tentu kita tidak perlu melihat ada mahasiswa yang bunuh diri gara-gara IP-nya rendah. Dari berbagai bentuk respon mahasiswa terhadap IP, bisa kita simpulkan bahwa sudut pandang kita tentang IP menentukan respon psikologis dalam diri kita.
Kita bisa membuat konsep sederhana, bahwa sudut pandang kita tentang IP akan menentukan bagaimana kita menjalani proses belajar di kampus. Dari konsep itu bisa kita golongkan dua tipe mahasiswa. Penggolongan menjadi dua tipe hanyalah upaya mempermudah memahami fenomena saja. Ada mahasiswa yang tidak termasuk dua tipe ini.
 Tipe pertama, mahasiswa yang IP Oriented. Mahasiswa tipe ini biasanya akan mati-matian untuk mendapatkan IP bagus, pun dengan cara yang curang. Mahasiswa melihat IP sebagai hal pokok yang akan mendukung karier akademiknya maupun karier nanti dalam dunia kerja. Baginya IP adalah legitimasi paling sah untuk menyatakan bahwa penguasaan ilmunya telah cukup matang. Cara berfikir seperi ini tak lepas dari pengaruh dunia kerja. Mahasiswa yang menginginkan kerja disuatu perusahaan yang mensyaratkan setiap karyawanya memiliki IP yang tinggi, tentu akan berusaha sekuat tenaga mendapat IP bagus. Mahasiswa ini biasanya akan mudah kecewa jika nilai IP-nya tidak sesuai target. Kecewa hal yang wajar dan sah saja, tetapi kecewa terlalu berlebihan hingga menumbulkan stress yang mengangu kegiatan mencari ilmu, itu yang tidak boleh.
Tipe kedua, mahasiswa yang menganggap remeh IP. Mahasiswa tipe ini biasanya santai-santai saja kuliahnya. Tidak terlalu berambisi terhadap IP yang bagus. Sekedar kuliah menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa sudah cukup. Tipe seperti ini akan menghasilkan mahasiswa yang dengan IP 2 bisa tetap senyam-senyum. IP mereka anggap remeh.
 Lalu bagaimana kita bisa meletakkan IP pada posisi yang ideal? Posisi agar kita tidak terjebak pada sikap berlebihan terhadap IP tetapi juga tidak meremehkanya. Menurut saya kita harus kembali memperkuat ataupun membenahi niat belajar di universitas. Sungguh indah jika niat pertama dan utama kita belajar di universitas adalah mencari ilmu. Ilmu untuk memperluas pandangan kita tentang kehidupan. Ilmu meningkat, jiwa meluas.
Mencari ilmu untuk meluaskan jiwa adalah tujuan utama belajar di universitas. IP kita letakkan sebagai salah satu perantara untuk memudahkan pihak universitas mengukur pencapaian keilmuan kita. (Ingat hanya salah satu). Cara berfikir seperti ini populer dalam tradisi Mistisisme Islam (Tashawwuf). Cara pandang wasilah (perantara), dan ghayyah (tujuan). Jadi mencari ilmu adalah ghayyah atau tujuan utama kita, sedang IP hanyalah perantara (Wassilah) untuk mencapai peningkatan ilmu dan keluasan jiwa. Cara berfikir seperti ini, bisa menghindarkan kita dari sikap menganggap IP adalah segalanya, tetapi juga tidak menyepelekannya. Kita akan maksimal memperoleh tujuan jika melewati perantara dengan baik, orang yang ingin menyebrang sungai akan lebih mudah jika lewat jembatan, bukankah begitu?

* dimuat di koran Kedaulatan Rakyat 12 Februati 2013