Aku
sudah berjalan diantara hujan. Aku sudah merasakan gemuruh petir dan suara
nyanyi hujan yang jatuh ke bumi. Aku sudah merelakan diriku diguyur air tuhan
ini. Aku sudah merelakan kesunyianku diusik oleh suara air yang jatuh. Aku
sudah menyerahkan diriku pada rintik hujan ini. Tapi satu, aku tak bisa melepas
hatiku. Gemuruh petir dan nyanyi riang hujan tak bisa menyembunyikan
kesepianku. Dinatara rintik hujan dan gemuruh petir, di dalam hatiku kesunyian
itu bersemayam. Kesunyian penuh gemuruh entah apa namanya, keresahanya
membisukan suara petir yang mengelegar, kesepiannya mendiamkan rintik hujan
yang tetap turun. Gelisah tanpa suara, gemuruh tanpa gaduh.
Aku
masih berjalan diantara hujan. Aku masih membodohi dan membohongi gejolak hatiku
dengan suara hujan. Bayangan-bayangan itu masih saja memburu keberadaanku. Aku
masih ingat bagaimana kedua lelaki itu membuka resleting celananya. Masih
terdengar dengan jelas bunyi resleting yang mulai usang itu “
krek....krek..krekkk” seperti pintu neraka yang dibuka malaikat untuk para
pendosa.
Di
dalam rumah tuhan itu jiwaku mati. Aku hanya wadah untuk sperma lelaki-lelaki
yang haus kenikmatan. Tubuhku sudah bermandikan kringat, bau amis sperma dua
lelaki itu bagaikan nafas alam semesta. Aku masih ingat bagaimana aku dijadikanya
boneka, aku maisih ingat bagaimana kelamin lelaki itu mengakhiri kemanusiaanku.
Aku juga msih ingat sebelum puncak orgasme, sebenarnya aku juga menikmati
permainan dua lelaki yang tak aku kenal itu. Nikmat juga.
Dirumah
tuhan itu aku memulai perlawananku pada tuhan. Aku sudah mumet, aku sudah tak
tahu harus kemana, aku sudah tak berdiri diatas titik duri, aku bahkan tak tahu
diatas apa kaki kecilku berdiri. Aku bukan lagi seorang muslimah berhiaskan
kerudung panjang nan anggun. Aku sudah bukan seorang yang istimewa dihadapan
tuhan dan manusia.
Aku
sudah tidak percaya tuhan. Bagaimana tuhan bisa menciptakan manusia untuk
menghilangkan kemanusiaan manusia lainya?. Aku sudah tidak bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Hidupku dibayangi kenikmatan yang
diperkenalkan dua lelaki dirumah tuhan itu. Tapi entah, setelah itu aku tidak
berani mengulanginya lagi. Aku takut atau memang aku yang gila. Bekas-bekas
kenikmatan itu masih terasa hingga kini, aku membawanya dalam setiap langkah
yang kujejak.
***
Kini
aku berjalan bersama hujan. Aku benar-benar merasa kesepian, setelah kejadian
di rumah tuhan itu, hidupku semakin tidak jelas. Pemerkosaan 5 tahun lalu itu
telah membuat waktu-waktuku berjalan lambat. Aku tak bisa hanya sekadar
berdiri, aku diseret waktu entah kemana.
“Ayo
kita berjalan lagi” kata laki-laki yang kini berada disampingku bersama hujan
“aku
sudah lelah” jawabku sambil terduduk dibawah pohon randu
“Aku
tahu, ”
Hujan
tak memperdulikan kami. Air turun turun bukan karena ingin meredam gemuruh
dihatiku. Aku dan suamiku duduk di pinggir jalan yang semakin sepi. Kami saling
memandang. Aku melihat mata suamiku sayu, lelah, gembira dialah yang setia
menemani perjalananku bersama hujan. Aku tak pernah bisa menceritakan bagaimana
tuhan mempertemukan aku dan suamiku.
Di
setiap jalan-jalan yang aku susuri bersama suamiku aku kembali menemukan tuhan.
Bukan dimasjid, bukan di gereja, tapi disorot mata setiap gelandangan dan
orang-orang terbuang yang kelaparan menyeret langkahnya di jalan, aku melihat
tuhan.
Gemuruh
dihatiku mulai terjawab. Aku gelisah karena aku jauh dari kesejatian kehidupan,
aku jauh dari tuhanku. Aku sekarang sadar, biarkan kemanusiaanku hilang,
biarkan keperawananku di jelajahi orang-orang. asal jangan aku kehilangan
tuhanku lagi. Kerinduanku pada yang sejati itu, gelisah hatiku, gemuruh hatiku
untuk bertemu yang sejati itu mengalahkan suara hujan.
Senja
mulai terlihat menggulung siang, dan malam yang malu-malu mulai tergelar.
“Sampai
kapan kita akan terus berjalan” tanya suamiku
“
Sampai kita menemukan apa yang kita cari sayang”
“tapi
apa yang kita cari”
“kedamain
sayang”
“
tapi aku sudah terlalu lelah, aku capek”
Aku
tahu suamiku tak setegar aku. Penyakit yang mengerogoti tubuhnya bukan koruptor
yang bisa disogok dengan uang. Raga suamiku makin lemah, aku melihatnya dengan
jelas, kakinya sudah tak berdiri tegak. Tulang-tulangnya mulai terlihat
menonjol memakan sisa dagingnya. Jiwanya hidup dalam tubuh yang menderita
penyakit kutukan, orang-orang menamai penyakit itu HIV. Tapi aku tak perduli,
dia itu juga manusia.
***
Suamiku
masih ingin hidup. Aku melihat dibalik matanya yang sayu semangat hidup yang
tak pernah padam. Jiwanya masih rindu mencari kesejatian. Tapi raganya ingin
berhenti. Jiwa dan raga sedang bertarung, dibawah pohon waru dia terkapar.
Aku
tak bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya jika jiwanya mau bangun, maka raganya
akan tunduk. Sebenarnya jika ada sengatan ke dalam jiwanya raganya akan bangun.
Aku sudah mumet, aku harus menolong suamiku. Jiwanya harus disadarkan bahwa
hidup ini sangatlah berharga. Kematian itu kepastian sementara kehidupan adalah
misteri berharga.
Aku
berlari meninggalkan suamiku.
Tukang
bakso lewat diujung jalan. Aku mendekatinya,
“
bang bisa pinjam pisau pemotong sayur itu?” tanyaku pada tukang bakso itu
Wajah
tukang bakso itu terkaget-kaget “ o iya neng silakan”
Aku
mengambil pisau itu, aku berlari menuju suamiku. Aku tak mempedulikan tukang
bakso yang melihatku keheranan.
Suamiku
masih terkapar di bawah pohon. Aku melihat matanya tertuju padaku. Saat itu
udara terasa benar-benar tak ada. Pohon-pohon seperti layu, melihat kami
berdua.
“ sayang, apa yang akan kau lakukan
dengan pisau itu” tanya suamiku dengan sisa suaranya
“ aku ingin kau dan dan manusia-manusia
lain lebih menghargai hidupnya” jawabku
“ apa”
Tanpa menjawab pertanyaan suamiku, aku
sudah mulai mengiris urat nadiku. Aku membunuh diriku.
“ istriku kau rela dihakimi allah dan
menadapat kutukan dari manusia, hanya karena kau ingin berkata bahwa hidup ini
berharga. Maka kau tak bunuh diri untukku tapi kau bunuh diri untuk kita
manusia semuanya” suara suamiku, kata-kata suamiku mengantar kepergian nyawaku,
menghadap yang punya.
---TAMAT---
danang.t.p.Yogyakarta-29-03-13