(esai untuk beasiswa Simposium Khatulistiwa 2014
" orang dan orang banyak: praktik etika dan estetika dalam demokrasi abad 21)
/1/
Mengenang
adalah sesuatu yang menyebalkan. Di sana ada lupa dan ingatan, menyatu dalam
bahasa nostalgi: sebuah kerinduan akan kelampauan. Merindukan yang telah
hilang. Terjebak dalam suasana melankoli yang syahdu. Waktu tidak dicatat dalam
gerak jarum jam yang cepat. Masuk dalam sebuah alam –semacam dunia lain-, yang
bagi saya kadang itu sangat menyiksa dan sekaligus mengasikkan.
Terjebak
dalam suasana amuk badai antara insan. Walaupun ketika itu saya sendiri. Tapi
dalam setiap peristiwa yang saya kenang selalu ada orang lain, insan lain. Maka
suasananya adalah amuk badai antara insan. Pun sebenarnya saya juga tidak
terlalu yakin, kesendirian saya adalah juga keutuhan identitas diri, yang
benar-benar utuh dan otonom. Lalu benarkah identitas saya otentik?, bagaikan
saat di depan cermin dan saya melihat gambaran utuh diri saya. Benarkah
identitas saya kukuh dan utuh?.
Tapi
kata “saya”, atau “aku” yang digunakan menunjuk sebuah identitas subjektif,
benarkah itu ada? Bukankah kata “saya” atau “aku”, adalah juga konstruksi
lingkungan, sebuah kesepakatan budaya. Yang tinggal saja “saya” warisi dan
gunakan untuk menunjuk identitas personal. Dalam mengenang dan menginggat
dapatkah saya temukan benar-benar identitas saya yang sebenarnya, benar-benar “aku”
saya: subjektifitas murni.
Lagi-lagi
terjebak dalam kesadaran imanen. Sesuatu yang jelas saya sadari melekat dalam
diri saya saat sekarang ini, dan mengilusikanya sebagai identitas utuh saya.
Akhirnya, berusaha melampaui, menggapai yang telah hilang, menggapai yang jauh
atau jika tak bisa hanya berniat mendekatinya saja: transendensi. Begitulah
tarik ulur antara imanensi dan transendensi identitas saya, menyadari yang melekat
sekaligus merindukan sesuatu yang lampau dan jauh.
Ketika
menulis ini pun, saya sedang terjebak, atau lebih tepatnya menjebak diri
sendiri. Menyerahkan diri pada ingatan dan kenangan, masuk dan mengambil jarak
dari peristiwa lalu menuliskanya. Segelas kopi yang sejak awal sudah dingin,
sebatang rokok, kepulan asap, dan menulis kenangan menjadi semakin mengasikkan
–semoga saya tidak berbohong-.
Begitulah
kiranya, sedikit saja tentang bagaimana kenangan bekerja dan menguasai diri
saya –mungkin juga anda pernah merasakan-, sisanya gagal tertuliskan dalam
bahasa. Selebihnya Wa-‘I-lah a’lam bi al-sha wab, hanya Tuhan dan orang-orang yang sehari-harinya
benar-benar nganggur yang sempat
mempikirkan dan merasakanya.
/2/
Menyusuri
jalan-jalan Jogja yang padat. Datang ke sebuah pameran seni rupa. Melihat
lukisan-lukisan yang terpampang di dinding. Mencermati setiap goresan dan
mengenang, di gedung tua ini pernah suatu saat kita sampai larut malam berdebat,
tentang letak lukisan yang paling pas.
Kini
di samping saya tidak ada kau. Seniman yang membingungkan. Tapi pada akhir
pertemuan saya masih ingat kita bersepakat de
gustibus non dispotandum, soal rasa seni tidak bisa dibicarakan.
Dibicarakan saja tidak bisa apalagi diperdebatkan. Maka saya mafhum saja
perdebatan kita yang lalu itu hanya kesia-siaanya belaka.
Hampir
satu tahun ini saya benar-benar absen dari kegiatan seni yang dipertontonkan.
Tidak pernah lagi mengikuti diskusi sastra, pementasan teater, pembacaan puisi,
konser musik klasik, pameran seni rupa
awur-awuran yang katanya semangat postmodern, bahkan nonton pertunjukan wayang,
yang dulunya saya selalu bersemangat, satu tahun ini benar-benar tidak pernah.
Hanya
dalam soal membaca karya sastra saya benar-benar tidak pernah absen. Bukan
karena apa-apa, hanya agar saya tidak terjebak dalam alur kepastian hidup
metodologis ilmu pengetahuan. Sebuah kepastian yang membahagiakan, tapi memangkas
keindahan hidup sampai benar benar clear and distinck. Kata teman dekat saya “
membaca karya sastra adalah sarat kesehatan jiwa”, sampai sekarang saya amini
saja ujaran itu. Tapi tak tahu, jika suatu saat nanti saya temukan alasan untuk
mengharamkan membaca sastra –semoga saya tidak pernah menemukan alasan itu-.
Hanya
ketika menikmati karya seni, tepatnya
menikmati segala hal sebagai karya seni. Saya berusaha mendekati –ingat bukan
menemukan, hanya mendekati- apa yang
digambarkan Chesterton sebagai “a gift of loneliness, which is
the gift of liberty”. Kesunyian itu mengandung karunia:
kebebasan. Dari jembatan karya seni dan kesunyian, saya berusaha memulai mencari
gambaran utuh identitas saya.
Loneliness,
kesunyian, kelambanan. Hanya melalui itu saya bisa sedikit faham apa yang
tertulis dalam serat Joko Tingkir urip
iku tan keno pinetik. Lalu bagaimana jika identitas ternyata juga tidak
bisa terpetik, terpecah dan tidak utuh: pada mulanya hidup sudah terpecah dan
berserakan. Dia tidak bisa diringkus
oleh apapun.
Akhirnya
saya selalu menghindar dari kesimpulan, tapi tak bisa dipungkiri di dalam
relung hati terdalam, saya ingin mendapat kesimpulan tentang identitas
saya. Antara getar dan terpesona
akhirnya saya berpegang: identitas adalah juga keindahan. Keindahan ada tetapi
sejak awal dia diciptakan seperti juga hidup yang tan keno penetik. Yang saya wajibkan bagi diri saya adalah
menikmati dan menghayati hidup sebagai karya seni.
/3/
Hallo,
hoi !!! kau tidak hidup dalam kenangan. Kau hidup dalam dunia nyata. Bangun!.
Bangun!. Membuka laptop, tertubruk kabar-kabar dari twitter, semua minta
diperhatikan. Hanya orang tolol yang mau hidup dalam kesunyian. Jogja sekarang
bukan kota yang kau datangi pertama kali enam tahun lalu itu. Sawah dan
burung-burung bangau yang kau lihat ketika hendak berangkat sekolah telah
hilang. Sawah sudah ditanami rumah-rumah dan burung-burung bangau menjelma
burung twitter yang berkicau dengan berbagai bahasa, mengeluh dan menghujat apa
saja.
Bodoh
jika kau mengenang suasana dan dirimu enam tahun yang lalu. Tak usah jauh-jauh
6 bulan yang lalu pun tolol jika kau kenang. Manusia modern hidup dalam
kekinian, masa lalu dan ingatan hanya sejenis penyakit jiwa. Apalagi soal
identitas diri, itu penyakit jiwa paling akut. Mengikuti arus sajalah. Lekas bergerak, kau diburu waktu. Siapa cepat
dia dapat. Sudah tak ada jalan-jalan lengang di Tegalrejo, jalan-jalan menuju
sekolahmu kini ramai dengan gerai pulsa, tempat orang-orang menjual kecepatan.
Menjual koneksi membuka dunia, masuk dalam jaringan global. Lekas bergegaslah
kau. Ayo..ayooo!.
Ini
dunia nyata tempat berbagai budaya menyatu. Kau bisa duduk santai di kamar
kostmu sambil berbincang-bincang tentang produk apple terbaru dengan orang di café taman kota Blomingtoon. Sambung
koneksi bisnismu. Gadaikan buku-bukumu dengan jam swiss army terbaru. Harus tampil necis,klimis celana produk
terbaru, jangan lupa deodorant yang memikat wanita, minyak wangi prancis termahal
harus punya. Kau mesti lekas bergegas
dalam tubuh tergesa.
Suara
siapa itu? Ahh itu bukan suara saya, tapi mungkin juga suara saya. Tapi siapa
saya?. Saya adalah diri saya sekaligus bukan diri saya. Bagaimana ini identitas
saya?.
Saya
hidup di Indonesia, di Yogyakarta, tapi kaki saya pertama kali menyentuh tanah
di lereng gunung kelud kab Kediri. Sebuah desa kecil yang primitif dan
tradisional, maka saya lekas “dibuang” keluar dari kebudayaan desa yang
primitif oleh orang tua saya sejak lulus
SD.
Lekas
dijauhkan dari kebudayaan masyarakat lereng gunung, yang hobi bersemedi merapal
dzikir di bilik-bilik pesantren. Masyarakat desa yang mengharap ilmu dengan
mencium bolak-balik tangan kyai, yang bisa saja tangan kyai itu korengan. Ilmu
yang diharapkan menjadi sesuatu yang jauh, tapi tertular koreng adalah
kenyataan tak terhindarkan.
Tangan
siapa yang terus menekan tombol keyboard dan menulis ini semua? Tangan siapa,
jiwa siapa?.
Menenggok
dan melihat cermin, di sana saya melihat diri saya terpecah-pecah, dan setiap
pecahan berbicara sendiri tentang dirinya. Setiap pecahan bercerita tentang
hidup dan kebudayaanya . Setiap pecahan cermin, harus saya terima sebagai
identitas saya. Lalu diri saya dalam pantulan cermin terpecah adalah keidahan,
adalah mozaik yang tidak bisa disatukan. Hanya harus diterima sebagai keidahan
cermin terbelah
Satu
pecahan bercerita tentang keindahan puisi-puisi T.S Elliot, menikmati pengeruk
salju yang disulap menjadi karya seni
oleh Duchamp, dari kebudayaan yang sangat jauh itu. Satu pecahan lagi
bersenandung wedhatama saben nendro
saking wismo kelono leladan sepi. Satu pecahan lagi bercerita tentang
kehidupan Jogja yang mengasikkan, nongkrong di café, tertawa terbahak-bahak.
Satu pecahan lagi bercerita tentang sekumpulan santri-santri di pesantren
Krapyak yang katanya mengejar kebahagiaan hidup. Pecahan-pecahan yang lain
suaranya kabur, tidak jelas, terlalu lembut dan syahdu.
Semua
pecahan itu bagian dari diri saya. Tapi mana yang benar-benar diri saya?
Mana?mana?. sudahlah bukankah sejak awal akan segera menerima identitas saya
yang terpecah-pecah dalam pantulan cermin? Maka suasana identitas saya : amuk
badai antara insan. amuk badai dalam insan juga amuk badai antara budaya.
/4/
Saat
melihat lukisan potret diri dari Affandi, saya lagi-lagi tak dapat meilhat itu
sebagai akhir dari keutuhan keidahah karya seni rupa. Potret diri Affandi, saya
cerap sebagai pecahan-pecahan dari berbagai cat minyak yang disatukan dalam
satu medium kanvas. Lukisan tersebut saya terima bukan sebagai poret diri. Tapi
sebagai potret keterpecahan. Gabungan setiap warna, goresan yang timbul
tenggelam, hidup sendiri-sendiri. Terlepas dari kemahiran Affandi untuk
menyatukanya menjadi potret kesatuan dirinya. Saya tetap melihat lukisan
tersebut sebagai keterpecahan.
Bagi
saya upaya penyatuan setiap warna menjadi sia-sia, karena sejak awal semua
hanya menghendaki diakui, tentu dengan segala cacat dan ketidaklengkapanya.
Warna merah, biru, hijau, mengandung ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan
itulah yang harus diakui. Entah dalam pengakuan yang berbentuk harmoni, atau
pertentangan yang cautik. Begitulah
akhirnya lukisan, sebagai seni rupa dengan keidahan cermin terbelah, juga
idnetitas yang terbelah.
Sejak
awal semua serba Skizofrenik, terpecah-pecah, gila dan membingungkan, cacat dan
tidak lengkap. Lagi-lagi semua itu harus diperlakukan sebagai keindahan. Jika
tidak hendak mengakuinya, tentu kita harus siap tenaga untuk bersikap otoriter,
dengan daya utopis yang tinggi. Masuk dalam ketegangan dan ambisi, memaksakan dunia harus ada dalam bentuk ideal,
tanpa yang lemah, tanpa yangcacat, tanpa keterpecahan. Tapi bisakah hal
tersebut?
Pertanyaan
tersebut hanya layak dijawab oleh mereka yang sejak awal hanya belajar tentang
angka-angka yang sempurna dan ideal. Tapi saya, sejak awal sudah terlanjur
tidak mempelajari angka-angka. Jika tetap berniat menjawabnya dengan sebuah
formula ideal, saya takut itu sebuah kejahatan. Memanipulasi hidup, dan
kenyataan yang sejak awal tak utuh. Dengan kata lain menjebak diri sendiri
dalam uvoria utopisme tanpa henti, dan bisa jadi membuat kita lupa sedang hidup di dunia yang sebenarnya dan
sangat nyata, bukan dunia ide.
/5/
Keindahan
justru ada ketika kita bisa menerima setiap ketidak-utuh-an. Setiap apa yang
tidak normal, apa yang dianggap remeh. Apa yang yang hanya dianggap
serpihan-serpihan dari sebuah kesatuan yang dianggap ideal. Keidahan akhirnya
harus saya maknai sebagai cermin yang terbelah, begitu juga dengan identitas
saya.
Akhirnya
semoga perbincangan dalam esai ini tetap membuat seni dan juga identitas
sebagai misteri tentang keterpecahan yang tak terpecahkan. Dan saya harus
mengalah karena ars long a vita brevis, seni
itu panjang, tapi hidup itu pendek, sejak awal seni de gustibus non dispotandum. Dia tidak bisa dibicarakan. Apalagi
dibicarakan dalam rangka mencari identitas.
[1]
Judul diilhami dari salah satu baris dalam bait puisi Cocktail Party, karya
Toety Heraty, amuk badai antara insan