-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Sabtu, 15 November 2014

KEINDAHAN CERMIN TERBELAH: AKU DALAM AMUK BADAI ANTARA INSAN[1]




Oleh: Danang T.P

(esai untuk beasiswa Simposium Khatulistiwa 2014 
" orang dan orang banyak: praktik etika dan estetika dalam demokrasi abad 21)

/1/
Mengenang adalah sesuatu yang menyebalkan. Di sana ada lupa dan ingatan, menyatu dalam bahasa nostalgi: sebuah kerinduan akan kelampauan. Merindukan yang telah hilang. Terjebak dalam suasana melankoli yang syahdu. Waktu tidak dicatat dalam gerak jarum jam yang cepat. Masuk dalam sebuah alam –semacam dunia lain-, yang bagi saya kadang itu sangat menyiksa dan sekaligus mengasikkan.
Terjebak dalam suasana amuk badai antara insan. Walaupun ketika itu saya sendiri. Tapi dalam setiap peristiwa yang saya kenang selalu ada orang lain, insan lain. Maka suasananya adalah amuk badai antara insan. Pun sebenarnya saya juga tidak terlalu yakin, kesendirian saya adalah juga keutuhan identitas diri, yang benar-benar utuh dan otonom. Lalu benarkah identitas saya otentik?, bagaikan saat di depan cermin dan saya melihat gambaran utuh diri saya. Benarkah identitas saya kukuh dan utuh?.
Tapi kata “saya”, atau “aku” yang digunakan menunjuk sebuah identitas subjektif, benarkah itu ada? Bukankah kata “saya” atau “aku”, adalah juga konstruksi lingkungan, sebuah kesepakatan budaya. Yang tinggal saja “saya” warisi dan gunakan untuk menunjuk identitas personal. Dalam mengenang dan menginggat dapatkah saya temukan benar-benar identitas saya yang sebenarnya, benar-benar “aku” saya: subjektifitas murni.
Lagi-lagi terjebak dalam kesadaran imanen. Sesuatu yang jelas saya sadari melekat dalam diri saya saat sekarang ini, dan mengilusikanya sebagai identitas utuh saya. Akhirnya, berusaha melampaui, menggapai yang telah hilang, menggapai yang jauh atau jika tak bisa hanya berniat mendekatinya saja: transendensi. Begitulah tarik ulur antara imanensi dan transendensi identitas saya, menyadari yang melekat sekaligus merindukan sesuatu yang lampau dan jauh.
Ketika menulis ini pun, saya sedang terjebak, atau lebih tepatnya menjebak diri sendiri. Menyerahkan diri pada ingatan dan kenangan, masuk dan mengambil jarak dari peristiwa lalu menuliskanya. Segelas kopi yang sejak awal sudah dingin, sebatang rokok, kepulan asap, dan menulis kenangan menjadi semakin mengasikkan –semoga saya tidak berbohong-.
Begitulah kiranya, sedikit saja tentang bagaimana kenangan bekerja dan menguasai diri saya –mungkin juga anda pernah merasakan-, sisanya gagal tertuliskan dalam bahasa. Selebihnya Wa-‘I-lah  a’lam bi al-sha     wab, hanya Tuhan dan orang-orang yang sehari-harinya benar-benar nganggur yang sempat mempikirkan dan merasakanya.  

/2/
Menyusuri jalan-jalan Jogja yang padat. Datang ke sebuah pameran seni rupa. Melihat lukisan-lukisan yang terpampang di dinding. Mencermati setiap goresan dan mengenang, di gedung tua ini pernah suatu saat kita sampai larut malam berdebat, tentang letak lukisan yang paling pas.
Kini di samping saya tidak ada kau. Seniman yang membingungkan. Tapi pada akhir pertemuan saya masih ingat kita bersepakat de gustibus non dispotandum, soal rasa seni tidak bisa dibicarakan. Dibicarakan saja tidak bisa apalagi diperdebatkan. Maka saya mafhum saja perdebatan kita yang lalu itu hanya kesia-siaanya belaka.
Hampir satu tahun ini saya benar-benar absen dari kegiatan seni yang dipertontonkan. Tidak pernah lagi mengikuti diskusi sastra, pementasan teater, pembacaan puisi, konser musik klasik,  pameran seni rupa awur-awuran yang katanya semangat postmodern, bahkan nonton pertunjukan wayang, yang dulunya saya selalu bersemangat, satu tahun ini benar-benar tidak pernah.
Hanya dalam soal membaca karya sastra saya benar-benar tidak pernah absen. Bukan karena apa-apa, hanya agar saya tidak terjebak dalam alur kepastian hidup metodologis ilmu pengetahuan. Sebuah kepastian yang membahagiakan, tapi memangkas keindahan hidup sampai benar benar clear and distinck. Kata teman dekat saya “ membaca karya sastra adalah sarat kesehatan jiwa”, sampai sekarang saya amini saja ujaran itu. Tapi tak tahu, jika suatu saat nanti saya temukan alasan untuk mengharamkan membaca sastra –semoga saya tidak pernah menemukan alasan itu-.
Hanya ketika menikmati karya seni,  tepatnya menikmati segala hal sebagai karya seni. Saya berusaha mendekati –ingat bukan menemukan, hanya mendekati-  apa yang digambarkan Chesterton sebagai “a gift of loneliness, which is the gift of liberty”.  Kesunyian itu mengandung karunia:  kebebasan. Dari jembatan karya seni dan kesunyian, saya berusaha memulai mencari gambaran utuh identitas saya.
Loneliness, kesunyian, kelambanan. Hanya melalui itu saya bisa sedikit faham apa yang tertulis dalam serat Joko Tingkir urip iku tan keno pinetik. Lalu bagaimana jika identitas ternyata juga tidak bisa terpetik, terpecah dan tidak utuh: pada mulanya hidup sudah terpecah dan berserakan.  Dia tidak bisa diringkus oleh apapun.
Akhirnya saya selalu menghindar dari kesimpulan, tapi tak bisa dipungkiri di dalam relung hati terdalam, saya ingin mendapat kesimpulan tentang identitas saya.  Antara getar dan terpesona akhirnya saya berpegang: identitas adalah juga keindahan. Keindahan ada tetapi sejak awal dia diciptakan seperti juga hidup yang tan keno penetik. Yang saya wajibkan bagi diri saya adalah menikmati dan menghayati hidup sebagai karya seni.

/3/
Hallo, hoi !!! kau tidak hidup dalam kenangan. Kau hidup dalam dunia nyata. Bangun!. Bangun!. Membuka laptop, tertubruk kabar-kabar dari twitter, semua minta diperhatikan. Hanya orang tolol yang mau hidup dalam kesunyian. Jogja sekarang bukan kota yang kau datangi pertama kali enam tahun lalu itu. Sawah dan burung-burung bangau yang kau lihat ketika hendak berangkat sekolah telah hilang. Sawah sudah ditanami rumah-rumah dan burung-burung bangau menjelma burung twitter yang berkicau dengan berbagai bahasa, mengeluh dan menghujat apa saja.
Bodoh jika kau mengenang suasana dan dirimu enam tahun yang lalu. Tak usah jauh-jauh 6 bulan yang lalu pun tolol jika kau kenang. Manusia modern hidup dalam kekinian, masa lalu dan ingatan hanya sejenis penyakit jiwa. Apalagi soal identitas diri, itu penyakit jiwa paling akut. Mengikuti arus sajalah.  Lekas bergerak, kau diburu waktu. Siapa cepat dia dapat. Sudah tak ada jalan-jalan lengang di Tegalrejo, jalan-jalan menuju sekolahmu kini ramai dengan gerai pulsa, tempat orang-orang menjual kecepatan. Menjual koneksi membuka dunia, masuk dalam jaringan global. Lekas bergegaslah kau. Ayo..ayooo!.
Ini dunia nyata tempat berbagai budaya menyatu. Kau bisa duduk santai di kamar kostmu sambil berbincang-bincang tentang produk apple terbaru dengan orang di café taman kota Blomingtoon. Sambung koneksi bisnismu. Gadaikan buku-bukumu dengan jam swiss army terbaru. Harus tampil necis,klimis celana produk terbaru, jangan lupa deodorant yang memikat wanita, minyak wangi prancis termahal harus punya.  Kau mesti lekas bergegas dalam tubuh tergesa.
Suara siapa itu? Ahh itu bukan suara saya, tapi mungkin juga suara saya. Tapi siapa saya?. Saya adalah diri saya sekaligus bukan diri saya. Bagaimana ini identitas saya?.
Saya hidup di Indonesia, di Yogyakarta, tapi kaki saya pertama kali menyentuh tanah di lereng gunung kelud kab Kediri. Sebuah desa kecil yang primitif dan tradisional, maka saya lekas “dibuang” keluar dari kebudayaan desa yang primitif oleh  orang tua saya sejak lulus SD.
Lekas dijauhkan dari kebudayaan masyarakat lereng gunung, yang hobi bersemedi merapal dzikir di bilik-bilik pesantren. Masyarakat desa yang mengharap ilmu dengan mencium bolak-balik tangan kyai, yang bisa saja tangan kyai itu korengan. Ilmu yang diharapkan menjadi sesuatu yang jauh, tapi tertular koreng adalah kenyataan tak terhindarkan.
Tangan siapa yang terus menekan tombol keyboard dan menulis ini semua? Tangan siapa, jiwa siapa?.
Menenggok dan melihat cermin, di sana saya melihat diri saya terpecah-pecah, dan setiap pecahan berbicara sendiri tentang dirinya. Setiap pecahan bercerita tentang hidup dan kebudayaanya . Setiap pecahan cermin, harus saya terima sebagai identitas saya. Lalu diri saya dalam pantulan cermin terpecah adalah keidahan, adalah mozaik yang tidak bisa disatukan. Hanya harus diterima sebagai keidahan cermin terbelah
Satu pecahan bercerita tentang keindahan puisi-puisi T.S Elliot, menikmati pengeruk salju yang disulap menjadi karya seni oleh Duchamp, dari kebudayaan yang sangat jauh itu. Satu pecahan lagi bersenandung wedhatama saben nendro saking wismo kelono leladan sepi. Satu pecahan lagi bercerita tentang kehidupan Jogja yang mengasikkan, nongkrong di café, tertawa terbahak-bahak. Satu pecahan lagi bercerita tentang sekumpulan santri-santri di pesantren Krapyak yang katanya mengejar kebahagiaan hidup. Pecahan-pecahan yang lain suaranya kabur, tidak jelas, terlalu lembut dan syahdu.
Semua pecahan itu bagian dari diri saya. Tapi mana yang benar-benar diri saya? Mana?mana?. sudahlah bukankah sejak awal akan segera menerima identitas saya yang terpecah-pecah dalam pantulan cermin? Maka suasana identitas saya : amuk badai antara insan. amuk badai dalam insan juga amuk badai antara budaya.
                                                                         /4/       
Saat melihat lukisan potret diri dari Affandi, saya lagi-lagi tak dapat meilhat itu sebagai akhir dari keutuhan keidahah karya seni rupa. Potret diri Affandi, saya cerap sebagai pecahan-pecahan dari berbagai cat minyak yang disatukan dalam satu medium kanvas. Lukisan tersebut saya terima bukan sebagai poret diri. Tapi sebagai potret keterpecahan. Gabungan setiap warna, goresan yang timbul tenggelam, hidup sendiri-sendiri. Terlepas dari kemahiran Affandi untuk menyatukanya menjadi potret kesatuan dirinya. Saya tetap melihat lukisan tersebut sebagai keterpecahan.
Bagi saya upaya penyatuan setiap warna menjadi sia-sia, karena sejak awal semua hanya menghendaki diakui, tentu dengan segala cacat dan ketidaklengkapanya. Warna merah, biru, hijau, mengandung ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan itulah yang harus diakui. Entah dalam pengakuan yang berbentuk harmoni, atau pertentangan yang cautik. Begitulah akhirnya lukisan, sebagai seni rupa dengan keidahan cermin terbelah, juga idnetitas yang terbelah.
Sejak awal semua serba Skizofrenik, terpecah-pecah, gila dan membingungkan, cacat dan tidak lengkap. Lagi-lagi semua itu harus diperlakukan sebagai keindahan. Jika tidak hendak mengakuinya, tentu kita harus siap tenaga untuk bersikap otoriter, dengan daya utopis yang tinggi. Masuk dalam ketegangan dan ambisi,  memaksakan dunia harus ada dalam bentuk ideal, tanpa yang lemah, tanpa yangcacat, tanpa keterpecahan. Tapi bisakah hal tersebut?
Pertanyaan tersebut hanya layak dijawab oleh mereka yang sejak awal hanya belajar tentang angka-angka yang sempurna dan ideal. Tapi saya, sejak awal sudah terlanjur tidak mempelajari angka-angka. Jika tetap berniat menjawabnya dengan sebuah formula ideal, saya takut itu sebuah kejahatan. Memanipulasi hidup, dan kenyataan yang sejak awal tak utuh. Dengan kata lain menjebak diri sendiri dalam uvoria utopisme tanpa henti, dan bisa jadi membuat kita lupa  sedang hidup di dunia yang sebenarnya dan sangat nyata, bukan dunia ide.
/5/
Keindahan justru ada ketika kita bisa menerima setiap ketidak-utuh-an. Setiap apa yang tidak normal, apa yang dianggap remeh. Apa yang yang hanya dianggap serpihan-serpihan dari sebuah kesatuan yang dianggap ideal. Keidahan akhirnya harus saya maknai sebagai cermin yang terbelah, begitu juga dengan identitas saya.
Akhirnya semoga perbincangan dalam esai ini tetap membuat seni dan juga identitas sebagai misteri tentang keterpecahan yang tak terpecahkan. Dan saya harus mengalah karena ars long a vita brevis, seni itu panjang, tapi hidup itu pendek,  sejak awal seni de gustibus non dispotandum. Dia tidak bisa dibicarakan. Apalagi dibicarakan dalam rangka mencari identitas.


[1] Judul diilhami dari salah satu baris dalam bait puisi Cocktail Party, karya Toety Heraty, amuk badai antara insan

Sabtu, 20 September 2014

Sajak (1)



/1/
            Dia, semacam keindahan yang gagal dicatat dalam buku kuliah. Dia mempunyai kuasa atas segala bahasa. Sering menghanyutkanmu dalam suasana. Dia endapan yang sangat syahdu dari setiap pengalamanmu. Dia sesuatu yang telah hilang: hendak kau hadirkan kembali. Dia tak bisa dipaksa mengikuti langkah kakimu. Kau yang harus setia mengikutinya. Merawatnya, atau bahkan menyembunyikannya rapat-rapat dari bahasa. Dia kesyahduan yang maha. Lembut tetapi menyentak. Lirih tapi selalu bergema. Dilupakan tetapi selalu di inggat. Dia adalah kejujuran yang membrontak dari kata-kata. Tak ada yang bisa menampungnya.
Dia bisa saja dirimu yang tertelungkup kaku dalam sunyi ruang hidupmu. Tapi dia bukan dirimu yang menyeru dengan dalil-dalil hantu. Dia samar, suaranya lamat-lamat saja, tidak jelas, bahkan sangat lirih. Siapkan telingamu untuk mendengarnya. Dia tidak selalu berwujud dalam kata dan bahasa. Dia adalah kesunyian. Atau penjaga kesunyian: tempat kesehatan hidup dirawat. Dia hidup tidak dengan nyawa, tapi kehidupanya melebihi 1000 nyawa. Kekuatanya syahdu, tenaganya menekanmu: kembali, dan sunyi. Dia bukan gelak tawa tanpa ampun. Dia bukan ambisi. Temui dia segera.
Dia tidak beralamat dalam kata. Dia bisa saja senja yang hendak kau tikam dengan kata. Tapi kesyahduanya membunuhmu sejak kali pertama ingin mengabadikanya. Dia seperti juga senja yang tak bisa kau ringkus dalam satu kali gores: bait-bait indah. Dia menawarkanmu ruang dan waktu yang lain: dunia lain. Dunia lain: tempat segalanya hanya permainan. Dunia yang jauh, masuklah dan lihat dirimu disana yang semakin lusuh dan angkuh. Pesonya adalah kejujuran dan bahasanya adalah kesyahduan tak terkata. Lagi-lagi tak terkata, tetapi penuh rasa. Ingat kau bisa mati karenanya!!
/2/


Senin, 15 September 2014

Cerita dalam Sebuah Sajak Sentimentil (Sekadar Tanggapan Pembaca atas Cerpen Marie karya Khoiril Maqin)



















(gambar: Denting by danang tp. pencil on kertas, awur-awuran)

Di jalan itu tinggal aku, kecepatan, jarum jam, dan kata-kata Marie.. begitulah khoiril maqin mengakhiri kalimat penutup dalam paragraph pertama cerita pendeknya “Marie”. Bagi saya kalimat tersebut kunci untuk mehami jalan pikiran Maqin sekaligus alur cerita pendeknya. Tentu dengan sangat penuh kesadaran bahwa pemahaman saya tidak pas, atau bahkan keliru. Tapi memang begitulah cerpen dan penulisnya memang tidak menuntut keshahihan tafsir yang mutlak.  Permainan dengan ambiguitas justru malah mengasikkan.
Saya rasa keberhasilan cerpen ini memukau para pembacanya, karena permainanya dengan ambiguitas dan ketidakjelasan. Sebuah usaha menarik kekosongan sepi yang melingkupi diri penulisnya, menjadi sebuah cerita, yang bisa jadi tidak pernah terjadi, atau bahkan penuh ilusi.
Dimulai dengan penggambaran tentang suasana yang telah berlalu. Mengingat masa-masa dengan marie, sosok yang saya rasa sangat fiktif. Sang narator sedang berjalan dalam kesepian malam, hening, hanya ada lampu-lampu kota , dan kecepatan motor. Dalam suasana itulah sang narator teringat tuhan dan memerintahnya untuk “ tidak terburu-buru mengajaknya ke surga atau tempat yang jauh di sana” .
Mengingat tuhan juga mengingatkanya pada marie. Lampu-lampu kota dan deru kecepatan motor membawa ingatan narator pada tuhan. Sementara notalgi dengan sosok marie diingat melalui bait-bait sajak yang ditulis menggunakan tinta merah. Pada akhirnya bait-bait sajak benar-benar terasa magis bagi narator, hingga sosok marie yang entah berada di mana bisa hadir dalam nostalgi narator.
Ambiguitas dalam cerpen ini cukup berhasil tersampaikan melalui sajak-sajak yang menghiasi beberapa akhir paragraph cerpen. Sambil bermain-main dalam ruang sajak yang sentimentil narator meloncat ke ruang nyata yang dia alami. Sebuah sepi yang nyata di depan mata. Sepi yang damai dan mendesak, seperti juga sosok marie. “Aku kenal dia melalui sajak yang ia tulis awal musim hujan, di stasiun kereta. Sajak damai, tapi mendesak”.
Marie sosok wanita yang mungkin sekali hanya ilusi. Sosok wanita yang hadir melalui sajak. Sosok wanita yang hadir dalam kesepian diri sang narator. Hendak mengantarkan sang narator menuju sebuah tempat. Tidak melalui jalanan aspal dengan garis-garis putih yang terlewati dan tak pernah ada habisnya. Tetapi mengantar melalui sajak. Narator menungang sajak untuk mencapai marie.
Deskripsi-deskripsi yang dihadirkan dalam beberapa paragraf sangat sederhana. Mungkin memang sengaja dibuat sesederhana mungkin. Karena sejak awal keindahan cerita dihadirkan melalui puisi. Dunia nyata hanya jembatan menuju dunia sajak yang tak terbatas.
Perjalanan nostalgi sang narator akan sosok marie akhirnya berlabuh pada sebuah pantai. Setelah mengetahui sia-sia mengendarai motor diatas pasir pantai. Akhirnya motor dia lemparkan dan dia berlari menuju deburan ombak. Buih ombak menyambutnya. “ mungkin ada rasi bintang unik di atas buih-biuh itu. Bukan-bukan rasi cuma bintang gemintang biasa” . sekali lagi ambiguitas pun dihadirkan penulis dalam diskripsinya.
Ambiguitas, sesuatu yang tidak jelas, bisa jadi bertentangan, terjadi dalam satu waktu. Saling sesak. Rumit. Memang sangat efektif untuk mengantarkan keindahan, apalagi seperti dalam cerpen ini yang mengunakan bahasa yang terasa sangat liris dan prosaic. Ambiguitaspun terasa menjadi sarana paling pas untuk mengungkapkan keindahan. Dalam khasanah sastra pedhalangan jawa kita bisa menjumpai banyak suluk (puisis jawa) yang menggunakan ambiguitas bahas prosa untuk mengantarkan suasana keindahan. Misal:..Ooongg ono lintang dudu wengi, ada bintang tetapi ini bukan malam hari. Bagaimana mungkin itu terjadi dalam dunia nyata? Disinilah keindahan sastra berkuasa. Tekhnik seperti itu, sepertinya sangat dimanfaatkan dalam beberapa diskripsi cerpen karangan maqin.
Dalam suasana nostalgi dengan sebuah sajak dari marie. Narator hilang kesadaran, masuk dalam ruang awang-awung, sunyoruri –kosong, hampa-  yang penuh dengan keidahan yang bisa jadi sangat melankoli. Laku gerak tubuhnya lepas kendali. Pun akhirnya narator juga tidak sadar telah dibawa oleh sebuah sajak menuju tepi sebuah pantai. “ ayahku bukan nelayan marie, bukan petani garam, mengapa kau membawaku kesini?”. Setealah kalimat Tanya tersebut, seperti sebuah gumam tak terucapkan. Narator kembali masuk dalam dunia nyata. Mungkin dalam titik ini narator menyadari posisinya di tepi sebuah pantai. Tetapi kesadaran itu tetap terbaca sangat lirih dan terbata-bata.
Di tepi pantai sajak kembali hadir untuk mengakhiri cerita perjalanan narator bersamanya. Dalam bentuk apa sajak itu hadir tidak jelas. Tetapi sajak menguasai suasana. Ternyata marie memberi sang narator sebuah amplop. Lagi-lagi berisi kalimat-kalimat liris prosaic. “ ini marie, kasihmu sajak-sajak yang kau tulis di awal musim penghujan. Maaf aku kini jadi lautan, tapi, bagaimana denganmu, bisa berenang? . seperti kalimat penutup dalam cerita ini yang diakhiri tanda tanya. Cerita inipun diakhiri juga dengan tanda tanya. Tanda Tanya. Sesuatu yang tidak selesai. Mungkin tak menuntut jawab terang.
Ending yang dihadirkan penulis memukau. Penulis cerita seperti ingin melanjutkan cerita. Tetapi setelah sejenak diam, menghisap sebatang rokok, dan membau harum kopi dalam cangkir cina yang munggil. Akhirnya Maqin tidak bisa melanjutkan cerita. Bisa jadi sebuah kesegajaan untuk berhenti dalam tanda Tanya. Berhenti dalam ketidakjelsan akhir. Atau bisa saja berhenti karena telah menemu sedikit cahaya dalam ruang kosong yang dia hayati.
akupun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis dan berkata: mungkin tak ada dosa,
tapi ada yang percuma saja.

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
 Dan itulah saoalnya
--G.M dalam Interlude—

Pun saya juga harus lekas berkemas, berhenti menulis ini. Menyerah pada sesuatu yang tidak jelas. Sesuatu yang jauh tetapi dekat, nyata tetapi juga ghaib. Megitulah sepertinya melodrama keindahan nostalgi dengan sebuah sajak dalam cerita marie karya Maqin.
 Saya menulis ini, Tentu dengan tanpa memaksudkan tulisan ini sebagai sejenis ulasan cerpen, apalagi kritik sastra. Sekadar tanggapan pembaca saja cukup. Begitulah kiranya.

Danang t.p klebengan 11-9-14

NYANYI SUNYI SASTRA INDONESIA ( Sastra di Tengah Budaya Layar dan Merayakan Matinya Kemanusiaan) *



**dimuat dalam buku kumpulan esai Nyanyi Sunyi Sastra Indonesia, Terbitan balai Bahasa 2014

A.    PENGANTAR
           
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada

(Amir Hamzah, dari karya puisi Insaf)

Beberapa waktu yang lalu, saya makan di sebuah rumah makan di Kota Yogyakarta. Ada satu kejadian yang menganggu kenikmatan makan saya. Seorang anak kecil, sepertinya masih tingkat sekolah dasar. Sedang duduk di depan televisi, dan senyum-senyum sendiri. Tanganya cekatan menganti channel ke acara yang dia sukai. Anak itu sudah menemukan channel yang tepat. Sebuah acara talkshow, tentang desas-desus selebritis. Saya kembali melihat anak itu asik senyum-senyum,  sambil matanya konsentrasi penuh pada layar kaca.
Sebenarnya kejadian itu bukanlah sesuatu yang aneh. Dalam keseharian saya, juga mungkin keseharian kita semua. Sering kita jumpai orang-orang yang asik dengan layar kaca. Baik itu gedget ataupun bentuk teknologi layar lainya. Dan sudah lama, hal itu kita anggap sebagai sebentuk kewajaran saja.
Tapi bagaimana jika kesibukan di depan layar kaca itu dilakukan oleh seorang anak kecil? Apalagi yang sedang dilihat adalah sesuatu yang kurang tepat.  Sekali lagi, itu semua juga tidak terlalu menjadi masalah yang besar. Kehidupan kebudayaan sehari-hari kita secara umum, memang mengijikan itu sebagai sesuatu yang wajar saja.
Cerita pada paragraf di atas hanya saya maksudkan sebagai sebuah pengantar. Semacam jalan awal, untuk kita masuk secara lebih dalam ketika melihat fenomena sejenis di atas. Tidak mengijinkan kejadian di atas sebagai bentuk konskuensi wajar globalisasi dan dominasi budaya layar. Tapi bagaimana, identitas kemanusiaan kita telah dibentuk dan sekaligus dibunuh berlahan oleh dominasi budaya yang menawakan segalanya dalam bentuk kecepatan.
Sebuah dominasi budaya kecepatan. Bentuk paling menakutkanya adalah teknologi, fungsinya sebagai perpanjangan panca indra manusia untuk mempermudah kehidupan berubah. Alat-lat itu menjadi panca indra kita, dan kita tidak mampu mengendalikan geraknya. Dalam kondisi kehidupan budaya yang seperti itu, kita bisa bertanya lantas di mana posisi kesusastraan kita? Untuk apa menghadapkan semua persoalan di atas di depan muka kesusastraan kita? Kenapa harus sastra?
Dalam dunia sastra semuanya serba berlahan-lahan. Tidak ada yang instan. Orang harus meluangkan waktu untuk membaca ataupun mencipta karya sastra. Sastra mengajak kita masuk dalam alam penghayatan. Maka menjadi menarik menghadapan dua persoalan antara dominasi budaya layar dengan kesusastraan. Dua bentuk kebudayaan yang sangat berbeda karakter. Dimana yang satu, dalam kondisi kontemporer sekarang sedang sangat digandrungi dan meluas tanpa batas. Sementara yang satunya lagi, mungkin hanya bisa kita dengar sunyi nyanyiannya.
Esai terbatas ini hanya ingin mengajak, sejenak kita mendengar suara sunyi sastra Indonesia. Suara sunyi di tengah hiruk pikuk kehidupan kebudayaan layar kita yang penuh dengan keindahan dan kebisingan artifisial. Sambil lalu bertanya, apakah kita masih menjadi manusia? Setelah setiap saat diburu waktu. Setiap saat dituntut mengkonsumsi berbagai hal tanpa pernah melihat nilai guna. Dituntut secara tidak sadar untuk duduk di café, berganti-ganti gedget, menerobos batas-batas ruang dan waktu melalui koneksi, mencari hiburan-hiburan yang sejenak bisa melupakan kepenatan, sejenak saja tapi.
Sambil lalu juga, kita bisa bertanya apa yang ditawarkan sastra Indonesia dengan kesunyiannya?  Sebagai sebentuk budaya tandingan atas dominasi budaya layar. Jika itu semua kita lihat sebagai sebentuk keseriusan komitmen budaya. Kita tidak bisa memfikirkanya sambil lalu saja.
B.                 MERAYAKAN  KEDATANGAN BUDAYA LAYAR,  MELUPAKAN SASTRA

Secara umum kita bisa berpegang pada pemahaman, kebudayaan sebagai suatu proses keberlangsungan hidup sehari-hari manusia dalam dunianya. Atas pemahaman tersebut lantas dalam sebuah kelangsungan kehidupan budaya, jelas menuntut partisipasi manusia sebagai individu maupun kelompok. Membaca kebudayaan adalah membaca keseharian kehidupan kita. Lantas, cerita yang saya tulis sebagai pembuka esai ini, menjadi relevan untuk kita gunakan membaca kondisi kehidupan budaya kita.
Sebuah kondisi budaya yang pada titik awalnya bermula dari ambisi manusia. Ambisi untuk menerjang segala keterbatasan dalam dirinya. Pada puncaknya yang paling ambisius, melahirkan abad teknologi. Sebuah zaman, ketika realitas didominasi oleh jaringan-jaringan rumit, khas teknologi tingkat tinggi, yang itu semua pada tesis awalnya bertujuan mulia, “memudahkan kehidupan manusia”.
Globalisasi informasi, khususnya perkembangan mutakhir teknologi internet. Semua itu telah membawa perubahan besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global. Pengertian-pengertian konvensional tentang masyarakat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial serta budaya, mendapatkan tantangan besar dengan telah memasyarakatnya teknologi informasi yang berbasis layar itu. Realitas-realitas sosial dan budaya yang ada mendapatkan tandingan dari budaya layar, yang pada akhirnya mengaburkan perbedaan mana realitas yang nyata, dan mana yang virtual. [1]
Kondisi dominasi budaya layar tersebut juga berpengaruh bagi individu. Budaya layar baik sistem jaringan internet, televisi maupun yang lainya, telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang identitas. Tegasnya, media komunikasi yang berbasis layar telah melenyapkan batas-batas indentitas manusia sebagai individu. Di dalamnya setiap orang bisa berpura-pura menjadi orang lain. Kita digiring berlahan untuk mengalami kekacauan indentitas kemanusiaan kita, yang pada puncaknya adalah kematian identitas kemanusiaan.
Pada saat seseorang memegang remote control, sesunguhnya bukan berarti ia sedang mengendalikan suatu acata TV. Akan tetapi, ia sedang memproyeksikan dirinya untuk menjadi seperti apa yang ada di layar kaca. Nilai-nilai yang tanpa batas, dengan konsepsi hidup menjadi sesuatu proses yang serba mungkin. Berbelanja tanpa mengenal tanggal tua, seperti dilakukan Si Doel dan Mandra. Doraemon sedang mengajarkan anak-anak di tanah air untuk berfikir hidup ini gampang, nothing imposible[2].
Jika, realitas zaman ini telah didominasi oleh segala sesuatu yang bertumpu pada layar virtual. Dari sanalah manusia dilahirkan, dari layar-layar teknologi tingkat tinggi, dari sistem jaringan web rumit yang menerjang segala batas ruang dan waktu.
Atas semua kondisi tersebut, kita tidak pernah menganggapnya sebagai permasalahan yang serius. Buktinya, kita tetap membiarkan anak-anak menonton televisi tanpa henti, berselancar di dunia maya tanpa batasan, dan kadang kita juga ikut melakukan itu dan berada di samping mereka. Maka menjadi relevan jika kedatangan budaya layar saya sebut sebagai sesuatu yang harus kita rayakan. Kita tidak pernah merasa sedang ditundukkan di bawah budaya layar, dimatikan dimensi-dimensi kemanusiaan kita, kita nikmat sekali menggeluti budaya layar. Lalu kata apa yang paling pas digunakan selain “merayakan” untuk mengambarkan sikap kita tersebut.
Kini kita bisa dengan mudah menemukan orang yang sedang sibuk dengan layar kaca di tangan. Baik itu hand phone, tab, dan berbagai jenis gadget lainya. Dalam kondisi tersebut dimana sastra kita berada?
Mungkin kita bisa memahami bahwa mencipta karya sastra memerlukan bakat, atau paling tidak kemampuan dan keseriusan yang ekstra. Tapi membaca karya sastra bukankah hal yang mudah? Asal setiap orang bisa membaca, dan bersedia meluangkan waktunya. Menyisakan sedikit waktu dari kesibukan mereka, untuk membaca. Tapi hal itu terbukti sangatlah sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa.
Dalam arah kehidupan kita yang didominasi orientasi pragmatis dan kapital yang muaranya jika kita telusuri adalah materialisme. Lebih mudah melupakan sastra. Untuk apa membaca sastra, lebih baik berselancar di dunia maya, memperluas jaringan bisnis, memuaskan hasrat kita akan kecepatan koneksi tanpa henti dalam jejaring sosial virtual.
Sastra tidak memberikan manfaat yang jelas secara material akan kehidupan manusia. Lalu untuk apa kita membacanya. Kita bisa berasumsi bahwa anggapan itulah yang telah menjangkiti masyarakat kita. Anggapan itu lagi-lagi diperparah dengan perkembangan teknologi layar virtual, juga kapitalisme dalam berbagai dimensi kehidupan.
Perkembangan budaya layar mempermudah urusan manusia. Sampai pada titiknya yang paling ekstrim manusia menjadi manja. Tidak lagi membutuhkan bertemu orang lain secara langsung karena semua telah terhubungan koneksi data internet. Tidak lagi membutuhkan waktu senggang untuk menghayati kemanusiaanya.
Kebutuhan mendesak manusia adalah keasikan hiburan berselancar dalam dunia maya, menonton televisi, dan asik dengan layar HP. Konskuensi dari itu semua, sastra harus dilupakan. Lebih mudah dan nikmat berselancar dalam dunia hiburan budaya layar. Menikmati ektase yang meriah dalam koneksi kecepatan data internet dan hiburan artifisial televisi. Dalam kemeriahan dunia budaya layar, pada hakikatnya manusia sendiri dalam kesepian identitas, akan tetapi, ia bisa menerobos ruang dan waktu kesendirianya, melupa dalam nikmat ektase hiburan-hiburan layar, yang sejenak saja melupakan manusia dari kepenatan kehidupannya.
Di depan itu semua sastra menjadi tidak menarik, dan harus dilupakan. Tapi apakah dengan itu semua kita sudah cukup, dan telah menjadi benar-benar manusia yang otentik? Dunia dengan budaya layar telah melepaskan manusia dari realitas budaya dan sosialnya. Membuat manusia tidak peka, termasuk juga dengan kebutuhanya akan perenungan atas kemanusiaanya.
Berikut puisi Goenawan Mohammad mungkin bisa lebih menyentuh relung estetik kita, kaitanya dengan persoalan yang telah dipaparkan
         Kepada Kota
Apabila engkaulah cinta, lepaskanlah, kota
Dari guhamu beribu gema
Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap
Deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap

Apabila engkaulah setia, tenangkanlah cinta, kota
Hatimu yang mendengar semesta dunia
Biarkan kini kita terjaga
Biarkan bumi semakin bergesa

C.    RUANG SUNYI SASTRA:  SEBUAH TAWARAN UNTUK KEMANUSIAAN

Segala dimensi dalam kehidupan manusia, prilaku, sistem sosial, tata nilai, seni, dan ekonomi,  adalah sebuah proses yang lahir dari keterlibatan manusia dengan lingkungan budayanya. Lingkungan budaya dibentuk sekaligus juga membentuk manusia. Begitupun karya sastra, adalah produk yang dibentuk manusia dan juga akan membentuk manusia.
Karya sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan maupun peradaban. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Prof.Abdul Hadi WM menyinggung masalah otentisitas produk dari suatu peradaban kebudayaan. Abdul Hadi, mengatakan bahwa yang otentik sebagai suatu pembeda dari sebuah produk peradaban yang satu dengan lainya, adalah sastra dan filsafat. Pemikiran filosofis dan karya sastra dari berbagai belahan dunia pasti berbeda-beda.
Karya sastra dibentuk dan pada akhirnya akan membentuk manusia. Hubungan dialektik antara proses membentuk dan dibentuk dalam kebudayaan adalah sesuatu yang kehadiranya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan sebuah irama dalam kehidupan manusia. Irama yang sangat menentukan dalam usaha pencapaian pribadi manusia yang unggul.
Irama yang dimaksudkan adalah sebuah proses saling ganti-mengganti. Irama tersebut secara nyata terwujud dalam dua proses.  Pertama,  keharusan manusia keluar dari dirinya sendiri, bergaul dengan manusia dan masyarakat dunia. Pada titik inilah manusia membentuk realitas budayanya. Kedua, keharusan manusia kembali pada dirinya sendiri. Melakukan perenungan atas hubungannya dengan dunia luar. Kedua irama ini saling mempengaruhi, saling menentukan. Seandainya manusia tidak keluar untuk berjumpa dengan dunia, maka kehampaan dan kesepian menjadi nasibnya. Sebaliknya, bila manusia tidak pulang pada dirinya sendiri, maka manusia akan terasing dari dirinya.[3]
Dua irama dialektik tersebut apakah masih bisa berjalan dengan sempurna? Ketika kehidupan budaya kita telah didominasi budaya layar. Sebuah budaya yang secara hakiki menawarkan segala bentuk kemudahan dan kenyamanan.
Manusia harus kembali pada dirinya. Masuk dalam suasana hening penghayatan akan kedirianya, juga perenungan akan aktivitas yang telah dilakukannya. Pada proses dialektika kedua inilah sastra dengan dimensi kesunyiannya yang dalam dan subtil seharusnya mengambil peran.
Bila manusia hendak melakukan penghayatan atas dirinya. Kembali pada dirinya. Setelah terlibat dalam keriuhan realitas budaya layar. Manusia hendaknya pulang. Akan tetapi ketika manusia pulang, dunia yang ia tinggalkan tetap melekat pada dirinya. Kita pulang dengan membawa oleh-oleh, kesan-kesan. Proses kembalinya manusia pada perenungan atas dirinya sendiri, memerlukan cermin, semacam batu loncatan untuk lebih mudah menjalankan proses kedua dalam dialektika kehidupanya tersebut. [4]
Romo Dick Hartoko, megungkapkan bahwa salah satu cermin yang bisa digunakan manusia dalam proses kedua itu ialah buku. Terutama buku yang dengan intuisi seorang penyair, menafsirkan hidup manusia dengan dunianya.[5]
Pada titik inilah sastra mendapat kedudukan yang pas. Sebagai sebuah budaya tanding atas dominasi budaya layar. Buku-buku sastra diperlukan manusia. Akan tetapi yang lebih penting adalah kesediaan untuk meluangkan waktu. Tentu kita tidak ingin anak-anak negeri ini yang masih kecil kecanduan layar, dan menjadi budak televisi. Jika memang benar seperti itu kita harus memulai itu semua dari diri kita.
Memang harus diakui bahwa sastra adalah pergulatan manusia dengan kehidupanya, yang dibentuk menjadi semacam ramuan ajaib yang secara sekilas hanya sunyi yang ditawarkanya. Tidak ada keriuhan artifisial dalam membaca maupun mencipta karya sastra. Tidak ada kenikmatan-kenikmatan fisik dan materi yang benar-benar berarti dari kegiatan sastra. Karena, memang bidikan sastra bukanlah semua itu.  Bidikan sastra adalah kekuatan jiwa dan mental manusia. Kadang untuk mencapai bidikan itu fisik dan materi kita harus benar-benar sengsara dan terkuras habis.
Segala gerakan manusia tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. Membaca karya sastra, maupun mencipta karya sastra adalah berhenti pada satu titik ruang dan waktu tertentu. Setelah realitas kita didominasi oleh budaya layar yang meringkas segalanya dengan kecepatan yang maha. Maka waktu hanya kita hayati sebagai 24 titik mekanis jarum jam yang seolah sangat cepat. Bahkan penghayatan kita akan waktu telah mati, karena koneksi dalam budaya layar bisa menerobos segala dimensi ruang maupun waktu.
Sebagai sebuah alternatif untuk menghayati kemanusiaan. Sastra telah jelas memiliki keunggulan. Akan tetapi kita dihadapkan lagi pada persoalan teknis. Bagaimana meluangkan waktu dalam gerak budaya yang serba terlipat dan terburu-buru ini? Jangankan untuk sekadar meluangkan waktu, bahkan persepsi dan orientasi kita tentang waktu telah begitu kacau, akibat pemapatan ruang dan waktu yang terjadi melalui koneksi yang maha tinggi dalam kebudayaan layar.
Saya teringat, seoang filsuf prancis Gaston Bachelard. Mantan guru fisika dan kimia yang pada periode awal pemikiranya banyak menulis tentang filsafat ilmu pengetahuan. Sampai pada suatu waktu dia merasa benar benar telah bosan terjebak dalam rutinitas akademis. Seorang muridnya dalam sebuah kuliah berkata “dunia Bachelard adalah dunia yang dipasteurisir” (ajeg dan steril). Sejak itu ia mulai tertarik pada dunia seni khususnya masalah tentang poetika, -imaji-imaji dalam sastra- yang melepaskan manusia dari segala bentuk kotak-kotak filosofis dikotomis.
Sepertinya kita bisa berasumsi, - tentu anda punya hak  tidak setuju dengan asumsi saya-  bahwa kehidupan kita sekarang telah begitu steril dan ajeg. Jika Gaston terjebak dalam rutinitas akademik yang ketat. Kita sedang terjebak dalam dunia yang disterilkan oleh budaya layar. Budaya layar dan kapitalisme, dalam bentuk paling ekstrim teknologi telah melipat-lipat dunia kita. Kapitalisasi dalam selaga aspek kehidupan, menuntut kita untuk berekerja terus tanpa libur, bergerak dan bergerak. Kehidupan kita disterilkan dalam layar-layar produk teknologi. Dan kita bahagia.
Menjadikan manusia terjebak dalam kecepatan yang mengasikkan. Kemanusiaan kita berlahan dibunuh, dengan cara yang sangat nikmat dan memanjakan. Nikmat dan manja dalam keahagiaan semu.  Beralih dari FB, Twitter hingga video call. Dari Fried chicken ke bergunung-gunung makanan siap saji lainya. Dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan yang lain. Mari kita lihat suasana kota kita, jam berapakah jalanan benar-benar sepi tanpa kendaraan?.  Waktu hanya kita fahami 24 titik yang berputar menakutkan di jarum jam itu. Kamar di rumah tempat tinggal kita sekadar ruang singgah sebentar saja. Dan kita harus bergerak!, kita harus berlari!, jangan diam!, sunyi itu menakutkan!!. Puisi Romo Mudji Sutrisno cocok untuk  melukiskan keadaan tersebut.
Mesti bergegas dalam tubuh-tubuh tergesa
Tanpa hening proses
Perang. Piring berhemburan pecah dalam keping hati
Dia ditikam gegas langkah
Tanpa renung arah
Di zaman ini yang layak berarti dan disebut berguna adalah kecepatan itu sendiri. Karya seni dengan segala bentuk keberlahan-lahananya tidak ada guna. Karya seni khususnya sastra membutuhkan penghayatan dalam menikmatinya. Hendak dengan dalil apa, kita berkata dalam kecepatan yang merajalela ada penghayatan. Kita berlari mencipta tanda-tanda –produk budaya- yang mengagumkan, tapi dibalik itu kosong. Gerak kecepatan kita didekte oleh produk-produk yang menciptakan hasrat tanpa henti. Logika yang kita gunakan dalam konsumsi produk-produk adalah membeli kepuasan memperoleh ketidakpuasan. Saat meilhat layar kita melihat keterpesonaan tapi kita memperoleh kehampaan. Maka di depanya kita harus faham, sangat sulit untuk melawan. – sengaja saya gunakan kata tunjuk kita, karena saya juga sedang hidup dan bergumul dalam zaman kecepatan itu-.
Dihadapan karya sastra kita harus diam. Menghayati waktu antropologis – gagasan filsuf Maurice Marleu Ponty-, bukan lagi waktu mekanis dalam gerak jarum jam. Waktu antopologis yang muncul karena kehadiran kita sebagai subjek. Ketika apa yang di depan kita, merangkum segala yang terjadi di masa lalu, dan sekaligus yang akan datang. Misal, ketika membaca novel, yang kita baca bukan saja sebuah tulisan yang berbentuk material dalam buku itu. Tetapi dengan satu cara kita juga melihat tulisan lama yang pernah ada dan tidak terlihat lagi, dalam diri kita. Serentak juga ada gambaran tentang tulisan-tulisan yang akan datang –semacam proyeksi makna-.
Penghayatan waktu antropologis adalah titik awal kita, untuk mencapai ruang sunyi bersama buku sastra. Jika telah pada titik itu, sastra bisa kita gunakan untuk mempertanyakan dan menghayati dimensi kemanusiaan kita yang maha luas dan rumit.
D.    PENUTUP  
Budaya layar yang menawarkan segalanya dalam bentuk instan. Manusia dicetak menjadi mahluk-mahluk mati, dengan hasrat konsumsi hiburan dan kecepatan data yang tak terbendung. Segala usaha dasariah dari sifat manusia untuk memertanyakan jati diri kemanusiaannya berusaha dimatikan. Rasionalitas dan kepekaan jiwa kita dimatikan melalui koneksi-koneksi dan kemudahan-kemudahan yang menuntut kita terus bergerak, berpacu, tanpa henti.
Sastra hanya terdengar nyanyi sunyinya,itupun hanya bagi mereka yang sedia untuk meluangkan waktu. Mundur dari rutinitas kecepatan. Kembali pada dirinya sendiri. Menghayati kedirianya mencari celah ruang sunyi di tengah hiruk pikuk artifisial budaya layar.
Dalam kondisi yang seperti sekarang, kita tidak dituntut melawan dengan berteriak. Melawan dengan diam. Melawan dengan sastra. Melawan dengan kemanusiaan. Dalam sunyi penjara Pramoedya Ananta Toer, melawan dengan kemanusiaan dan jiwanya. Pram diam tetapi jiwanya yang terpantulkan lewat karya sastranya, bergriliya menyentil relung-relung kemanusiaan manusia zaman itu hingga sekarang.
Tetapi lagi-lagi kelakone ilmu kanthi laku. Bukankah begitu ?



Daftar Pustaka
Dick Hartoko. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius
 Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital.  Jakarta: Grasindo



[1] Lih, Yasraf Amir Piliang. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital. (Jakarta: Grasindo, 2004) p. 64
[2] Lih, Irwan Abdullah. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 54
[3] Lih. Dick Hartoko. Tonggak Perjalanan Budaya. (Yogyakarta: Kanisius, 1986), p. 45.

[4] Lih, Ibid, p.46-47
[5] Lih, Ibid, p. 47