-

_dalam setiap kata yang kau baca,
selalu ada huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukanya
di sela kenangan penuh ilalang__


Selasa, 20 Oktober 2015

Schindler List, Tentang (Ilmu) Sejarah, Politik Minoritas dan Cara Berdamai dengan Masa Lalu

Ruangan ukuran 3 kali 3 ini tak tertata rapi. Kertas berserakan di pojok ruangan dekat sebuah cermin yang digantung. Pakaian-pakaian tertumpuk di sudut lain. Ada aroma sambel pecel, menyatu dengan bau keringat pada kasur. Ada setumpuk peralatan masak di bawah meja, saya tidak tahu itu barang bersih atau kotor. Di sisi tembok ruang bagian timur, sebuah gordin warna hijau sepia lusuh, kelihatan tidak pernah dicuci. Ini kali pertama saya berkunjung lagi ke kamar seorang teman itu, setelah satu tahun lebih saya tidak pernah mengunjunginya.
Banyak perubahan, barang-barang sudah tidak berada pada tempatnya dahulu, satu tahun lalu.  Yang tidak berubah hanya biola yang digantung di samping jendela. Biola pertama saya ketika awal mula tertarik belajar alat musik gesek itu. Dia membeli biola itu saat saya sedang kehabisan uang, saat itu saya mengajukan satu sarat: “ Biola itu tidak boleh dijual lagi ke orang lain”. Dia sepertinya menginggat dengan baik perjanjian tak tertulis itu. Kini kemampuan saya mengesek biola jauh telah dilampaui teman saya. Sebab, barangkali saya terlalu sibuk bergulat dengan pikiran-pikiran kosong dan kecemasan-kecemasan yang tidak selesai.


Saya bertanya tentang banyak hal: “bagaimana kabar adikmu”, “ sibuk apa setelah lama tak bertatap muka”. Sepertinya saya terlalu bersemangat untuk percakapan ini, tapi lawan bicara saya agak datar. Atau sebaliknya, saya tidak tahu. Diam-diam saya sebenarnya selalu berpikir panjang untuk setiap obrolan: saya menahan diri agar tidak membicarakan masa lalu.  Malam semakin larut, saya mulai mengantuk. Teman saya membuka laptop, mungkin untuk menghindari omongan-omongan tidak jelas. Sebab pembicaraan yang berlarut-larut kadang cukup berbahaya untuk sebuah pertemanan yang hendak dibangun kembali di atas reruntuhan perselisihan di masa lalu yang lucu tapi juga cukup menyedihkan.
***
Saya berbaring di kasur, sementara teman saya menindih bantal untuk menghindari dingin lantai tegel tempatnya berbaring. Kami berusaha tidak memejamkan mata, saat seorang anak muda Yahudi di kamp konsentarsi nazi Plaszow membersihkan bathup Amon Göth, kepala militer nazi di Polandia.  Sejak tiga puluh menit yang lalu kami memutar film Schindler List. Film rilisan 1993 berdasarkan novel Schindler's Ark karya Thomas Keneally, yang diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Schindler's List.
Adaptasi ke bentuk film dikerjakan oleh Steven Zaillian dan disutradarai oleh Steven Spielberg. Secara umum mengisahkan riwayat Oskar Schindler, seorang pengusaha Katolik Jerman yang berperan dalam menyelamatkan nyawa lebih dari seribu orang Yahudi Polandia pada masa Holocaust.  Dengan durasi tiga jam, dan permainan sinematografi yang memukau lewat suasana muram dari wajah-wajah korban perang yang di sorot tajam, serta latar hitam putih, menghasilkan satu suasana redup, muram, juga sebuah wajah ketegaran korban, subjek-subjek sejarah yang dihinakan akibat ambisi politik Nazi Jerman.
Berlatar belakang Perang Dunia ke-II, ketika tentara Jerman melakukan invasi ke Polandia. Seorang pengusaha asal Chekoslovakia Oskar Schindler, ingin mendirikan pabrik pengolahan besi untuk peralatan dapur dan perlengkapan perang di Polandia. Schindler adalah anggota partai Nazi. Dia berharap dengan berkuasanya nazi di polandia, maka akan banyak orang Yahudi yang bisa dia beli sebagai tenaga murah untuk produksi barang di pabrik yang akan dia dirikan.
Invasi nazi ke polandia membawa kepanikan bagi setiap Yahudi yang bermukin di sudut-sudut kota. Kekejaman Nazi terhadap ras di luar Arya bagaimanapun juga terdengar sampai Polandia. Kamp-kamp konsentrasi pun mulai di dirikan di polandia. Warga yahudi ditangkapi dan dimasukkan dalam kamp untuk selanjutnya dibinasakan secara kejam.
 Kepanikan kaum Yahudi yang dikejar-kejar tentara Nazi untuk di kirim ke kamp konsentrasi, dimanfaatkan oleh Oskar Schindler untuk mendapatkan tenaga kerja. Melalui bantuan Itzhak Stern (akuntan keturunan Yahudi), Oskar mendapatkan uang dan banyak tenaga kerja yang bisa ia manfaatkan untuk memulai mengoperasikan pabriknya. Pada mulanya Schindler adalah seorang pembisnis yang seolah tiada urusan sama sekali dengan hal-ikhwal kemanusiaan dalam perang. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi yang besar dengan ongkos produksi pabrik yang minim.
Namun, siapa yang bisa menebak sikap manusia dengan pasti?


 Pada suatu ketika, Schindler menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembantaian yang sadis di kamp kerja paksa Plaszow. Pembantaian yang dipimpin oleh seorang perwira bernama Amon Goth. Dalam satu bagian, dilukiskan dengan apik: bagaimana suasana kalut menjangkiti masyarakat Yahudi  Polandia ketika sebuah pemukiman mereka diserang oleh bala tentara Amon Goth. Anak-anak, ibu-ibu, perempuan muda, remaja, kakek-nenek semua dibinasakan tanpa terkecuali. Rumah-rumah dihanguskan, seluruh harta dirampas. Bahkan sampai gigi-gigi palsu orang Yahudi yang terbuat dari emas dicopot paksa oleh tentara nazi sebelum akhirnya nyawa mereka berakhir di depan lubang senapan.
Kota kini sudah hancur, mayat berserakan. Sisa-sisa yahudi yang masih hidup berusaha lari dari maut. Seolah mereka yakin nyawa masih layak dilindungi saat di depan mata mereka tubuh seorang gadis dengan kepala berdarah koyak-moyak. Pada saat itulah Schindler meyaksikan seorang anak gadis Yahudi berbaju merah, satu-satunya warna lain dalam seluruh lanskap adegan dalam film ini yang digambarkan dengan unsur utama hitam-putih. Gadis kecil dengan jaket merah itu berlari di tengah kerumunan orang-orang Yahudi yang hendak menselamatkan diri. Mata Schindler memandang gadis kecil itu, terlihat wajahnya mulai berubah warna: memberat, ada sedikit air mata yang akan jatuh.
Sejak saat itulah semuanya berubah. Schindler yang seorang pembisnis tiba-tiba saja larut dalam kesedihan. Dia teringgat misi awalnya pergi ke Polandia, dia teringgat pabriknya yang mulai sukses meraup keuntungan besar dengan mempekerjakan orang-orang Yahudi korban perang. Barangkali kita memang berjalan ke depan, tetapi hidup dihidupi ke belakang. Perubahan sikap menjadi sesuatu yang niscaya untuk orang yang selalu belajar dari sejarah dan mengevalusi sejarah.
Setelah kejadian tersebut Oskar Schindler  meminta Itzhak untuk membuat daftar nama orang-orang Yahudi yang ada di kamp tersebut untuk diselamatkan. Dia mempertaruhkan semua harta kekayaan hasil pabriknya untuk membeli semua orang Yahudi yang ada di kamp.  Setelah melakukan berbagai upaya termasuk menyuap para perwira Nazi, Oskar membawa ribuan orang Yahudi ke negara asalnya Chekoslovakia.
Diakhiri dengan sebuah adegan saat Schindler menyadari bahwa dia masih punya satu mobil dan lencana emas yang setara dengan 10 orang yahudi. Seharunya harta yang tersisa darinya bisa digunakan untuk menselamatkan lagi 10 jiwa. Tapi, sejarah, waktu dan hal-hal yang mengisinya adalah kilas tak terulang. Tiada yang bisa mengulang sejarah. Manusia yang hidup di dalamnya barangkali hanya bisa untuk terus belajar dan tidak malu mengakui kesalahan juga merubah tindakan. Sebab masa depan sejarah kemanusiaan bukan melulu masalah penyesalan, tetapi bagaimana tindakan baru dihasilkan, sikap-sikap manusiawi di tumbuhkan.
***
Begitulah, film Schindler List yang saya tonton bersama seorang teman lama. Sebuah film yang gagal tayang di Indonesia akibat sensor kementrian penerangan era Harmoko dan kebijakan rezim Suharto.  Ulasan di atas tentu penuh dengan ketidaklengkapan. Bagaiamana gurat wajah ketakutan, ekspresi santai menghadapi kematian, kekalutan di depan pistol hingga tawa seorang tentara nazi setelah membakar ribuan orang Yahudi, bagaimana semua itu mampu saya ringkas dalam sebuah tulisan? Apa yang saya ringkas adalah contoh kecil praktik historiografi –penulisan sejarah. Sejak awal historiografi, seperti juga setiap catatan dia memiliki kemenduaan: mencatat, mengabadikan, sekaligus mensisihkan.
Sejarah dan historiografi sebagai ilmu, amatlah unik. Atau barangkali malah tidak memiliki status jelas terkait dengan metodologi, objektivitas dan standart eksplanasi. Banyak sejarawan yang akhirnya menempatkan penulisan sejarah sebagai seni yang tentu berbeda dengan sains. Tetapi, sejauh klaim penulisan sejarah sebagai seni tidak mendasarkan diri pada satu argumen teoretik, saya kira peluang sejarah sebagai ilmu masih terus akan terbuka. Peluang tersebut tentu terkait dengan bagaimana sejarawan mempunyai perangkat metodologis yang khas, sebab memang karakter sejarah amat sulit disamakan dengan ilmu-ilmu lain –eksata, sosial.
Jika secara umum ilmu-ilmu dibangun dari kaidah pensimpul-rampatan (induksi-generalisasi) empiris atas data objek teramatai. Maka sejarah bergerak di ranah lain, objek sejarah adalah masa lalu yang secara objektiv telah berjarak jauh dengan cakrawala kepengamatan subjek sejarawan. Rampatan atas fenomena sejarah tidak serta merta menghasilkan satu hukum universal bagi setiap gejala dengan faktor-faktor menyerupai di lain tempat-waktu. Sjarah penuh dengan fenomena-fenomena kebetulan (probabilitas) dalam sejarah membuat setiap hukum gerak ketertataan evolusionis dalam sejarah selalu gagal meramal sejarah. Sejarah oleh karenya sejak awal berurusan dengan hal unik dalam skala ruang waktu. Akibatnya objektivitas sebagai tumpuan kesahihan ilmu pun, dalam ilmu sejarah harus dipahamai dan didefinisikan ulang sesuai konteks historis. Sebab suatu penulisan sejarah yang terbebas dari matra subjektivitas sejarawan adalah ketidakmungkinan.
Mengertikah kita keyakinan yang dipegang teguh Nazi Jerman Hitler, ada jenis manusia yang merupakan manusia paling unggul dan selalu menang dalam setiap proses pertahanan diri, survive of the fittest? “Ras Arya Jerman adalah ras paling unggul dan suatu saat akan menguasai seluruh kehidupan masyarakat dunia” mengakibatkan sikap politis yang menakutkan. Setiap aspek realitas yang tidak sesuai dengan keyakinan Hitler adalah abnormal, sehingga harus dipermak. Keyakinan tersebut dipaksakan dengan berbagai cara tanpa peduli jika pemaksaan itu melukai jantung kemanusiaan. Saat itulah sejarah menjadi milik mereka yang merasa diri paling ideal. Tiap-tiap subjek yang lain jika dirasa tidak sesuai dengan idealnya haruslah disingkirkan atau paling halus harus dipermak dengan cara-cara yang menakutkan; pemaksaan, diskriminasi.
Sejarawan berperan aktif dalam merekonstruksi bangunan masa lalu.  Subjek sejarawan juga bukan satu entitas netral dalam ruang sunyi kosmos, sejarawan selalu berinteraksi secara pribadi dengan kondisi sosial-politik. Olehnya penulisan sejarah bukan melulu soal metodologi keilmuan tetapi juga soal tangung jawab politik dan sosial. Sejak awal sepertinya kita semua mafhum, bahwa sejarah adalah alat legitimasi rezim yang paling halus di satu sisi tetapi juga kejam di sisi lain. Tantangan historiografi bukan saja masalah bagaimana masa lalu dihadirkan dalam narasi objektif, tetapi juga bagaimana narasi objektif mempunyai daya politis untuk memandu gerak alihragam (transformasi) masyarakat. Oleh karenanya, menulis sejarah adalah tugas politis.
***
Apa yang digambarkan dalam film Schindler List adalah satu upaya memahami ulang sejarah dari sisi lain: sebuah perspektif alternatif. Jika selama rezim nazi berkuasa penulisan sejarah melupakan realitas keberadaan korban orangg-orang kecil tak penting yang cacat sebab seorang yahudi. Maka setelah rezim runtuh orang bebas menulis sejarahnya, saat itulah sejarah alternatif dari mereka yang kalah harus segera disusun. Bagaimanapun juga masa lalu sebagai realitas sosial bukan milik sekelompok orang saja, masa lalu seperti juga masa kini dia menghidupi siapa saja, tidak perduli apa pun.
Pada perempat abad 19 tradisi penulisan sejarah berkiblat pada paradigma positivisme dengan jargon utama tentang kematangan ilmu-ilmu alam dan keharusan ilmu menaati satu kaidah metodologi (unified science). Sejarah dan ilmu-ilmu sosial harus mengunakan paradigma ilmu alan agar statusnya sebagai sains dimungkinkan. Dalam tradisi historiografi kemudian mucullah madzab Scientific History yang mengunggulkan sejarah sebagai diskripsi faktual (kumpulan data-data). Adalah Leopod von Renke seorang Positivis Jerman yang menginisiasi penulisan sejarah dengan pendekatan netralitas positivistik.
Saat itulah sejarah berusaha dipahami dan dituliskan seperti resep dokter di apotik-apotik. Selain itu titi utama penulisan sejarah adalah para elite, penguasa, pemimpin politik dll. Keberadaan rakyat kecil hanya sebagai pelengkap. Singkatnya sejarah hanya cerita untu orang-orang besar tanpa kecacatan apapun. Sejarah menumpukan dirinya pada satu bentuk ideal manusia, para pahlawan yang hidup seolah tanpa cacat.
Sejarah positivis menceraikan kehidupan dari unsur-unsur kemanusiaan yang cacat. Buruh, Tani, minoritas agama, sampai orientasi seksual menyimpang tidak memiliki tempat khusus dalam sejarah. Pokok soal utama sebetulanya bukan hanya pada metodologi yang positivis, tetapi adalah dominasi politik, kekuasaan yang mampu mendikte penulisan sejarah, hingga sejarah kehilangan sifat kritisnya.
Pada 1912 James Harvey Robinson di Amerika mengusulkan penulisan sejarah yang mengunakan analisis struktural dalam metode ilmu sosial. Singkatnya sejarah bukan hanya narasi atas data faktual, tetapi analisis kusal atas peristiwa. Upaya Robinson didukung oleh berdirinya madzab Annales di Prancis (1929) dipelopori oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre yang mengehendaki sejarah mempunyai  “ wider and more human history”[1]. Sejak itu penulisan sejarah dibebani tugas politik untuk mensibak struktur kekuasaan yang timpang, tidak manusiawi dan menindas. Fokus penulisan sejarah pun berganti dari para elit ke kaum alit, sejarah bukan lagi kehidupan politik, akan tetapi sejarah sosial keseharian, singkatnya sejarah setiap bagian kehidupan manusia.
Akankah dominasi politik bisa diceraikan selamanya dari sejarah penulisan sejarah?
Politik yang menjadi panglima, keangkuhan yang mengkuasai kadang mengeser sifat-sifat manusiawi dari kehidupan dan sejarah. Ideal politik bisa mengendalikan sebuah penulisan sejarah. Saat sejarah dikendalikan oleh satu ideal politik yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, saat itulah subjek yang lemah, mereka yang cacat dalam definisi mayoritas harus rela memerankan peran figuran untuk mengkuatkan dominasi tokoh utama.
Schindler List memberikan satu tilikan (insaight) pada kita tentang bagaimana sejarah kekejaman harus dituliskan secara manusiawi. Schindler sang tokoh utama bukanlah sosok tanpa cacat moral. Dia adalah penyuka wanita yang berlebihan, sekertarisnya semua wanita-wanita cantik yang tugas administratifnya sebenarnya juga tidak begitu jelas. Sosok Schindler pada bagian-bagian awal digambarkan sebagai pembisnis yang tidak peduli dengan urusan kemanusiaan.
Sebuah gambaran yang tidak hitam-putih oleh karenanya amat manusiawi. Begitulah, setidaknya menurut saya sejarah kita seharusnya ditulis.  Sejarah yang manusiawi, sejarah yang multidimensional sebab tidak ada kehidupan yang antagonis hitam-putih, normal-abnormal. Realitas adalah rajutan rumit dari pancaragam soal-soal kehidupan yang komplesitas serta derajat perubahannya amat acak dan sulit dirangkum dalam satu hukum universal.
Penulisan sejarah kita harus diceraikan dari soal politik dan kebencian masa lalu. Misalnya kita ambil contoh penulisan sejarah pasca 1965. Secara umum ada dua kubu yang ekstrim bertentangan dalam memandang tragedi 65. Satu kubu mencela habis-habisan orde baru sebagai satu-satunya pihak yang harus bertangung jawab. Mereka kemudian menulis sejarah perspektif korban 65 yang dalam banyak sisi amat tendensius untuk menciptakan suatu kebencian massif terhadap orde baru tetapi melupakan kesalahan-kesalahan korban (simpatisan PKI) di masa lalu. Kubu kedua adalah mereka yang membela orde baru dengan dalih bahwa masa lalu hendaknya dilupakan tidak usah diungkit-ungkit. Mereka yang beradadalam barisan ini bermasalah juga sebab tidka menghendaki satu penulisan sejarah, solah setiap korban bisa dengan cepat lupa penderitaan msa lalu mereka.
Schindler List adalah potret film berdasar narasi sejarah yang berimbang. Sebab di sana tergambar jelas pahlawan tidak selamanya seluruh karkter hidupnya baik. Seementara Amont Goth sebagai poret seorang perwira kejam Nazi, seorang yang dingin tetapi pernah berusaha berprilaku baik pada seorang anak muda yang membersihkan bathup nya. Jika penulisan sejarah bisa dihardikan secara berimbang dan kritis maka sejarah akan amat sulit dijadikan alat legitimasi rezim.
Jika akhirnya penulisan sejarah yang berimbang sulit kita lakukan, sebab sejarawan indonesia masih terjebak pada kategori moral antagonis, maka sejarawan bisa mengambil siasat dengan memberikan daya penuh ilmu sejarah sebagai instrumen pembebasan. Sebab tugas pembebasan maka sudah saatnya sejarah indonesia menulis tentang kaum minoritas, seperti yang saya jelaskan sebelumnya sejarah harus digeser dari soal politik ke soal kehidupan sosial. Dalam konteks kehidupan sosial, sejauh pengamatans saya beberapa tahun terakhir minim atau bahkan belum ada karya sejarah yang menuliskan kehidupan minoritas : begal, atau bandit di  jaman kolonial, eksistensi kaum homoseksual setelah masa revolusi 45, kaum buruh pabrik di Kudus dll.  Hanya dengan cara itu masa lalu kita sebagai bangsa bisa dipahami dengan utuh.
Minoritas yang selama ini hanya hadir sebagai subjek politik pasif dengan satu penulisan sejarah yang menumpukan diri pada kehidupan minoritas, kaum sub-altern akan menjadi subjek aktif. Lewat penulisan sejarah juga akan terlihat stuktur kuasa politik, keangkuhan mayoritas, fatwa-fatwa rezim religious dan lain-lain sebab,  yang menimbulkan minorits dilupakan keberadaannya dalam kehidupan bangsa kita. Posisi politis minoritas bisa dikuatkan jika, dan hanya jika sejarah memberikan “tempat” pada mereka dalam arus deras narasi mayoritas yang penuh keangkuhan.
***
Kenyataan tidak bisa dipahami dengan pendekataan pembelahan antagonistik: hitam vs putih, jahat vs baik, normal vs abnormal. Pendekatan antagonistik harus dirubah lewat satu pemahaman yang agonistik, sebab itu ramah pada setiap perbedaan. Tapi hal itu bukan soal mudah, sebab sejak kecil kita sudah dibiasakan berpikir hitam-putih. Pahlawan selalu kita lawankan dengan penjahat, solah dalam diri pahlawan tidak ada sedikitpun sifat jahat, pun juga sebaliknya. Pemahaman tersebut membuat penulisan sejarah, historiografi tidak lagi manusiawi.
Di tenggah gejala pengkutuban kehidupan pada dua sisi ekstrim bertentangan, sejarawan seharusnya adalah mereka yang tidak pernah berpikir tentang kutub kehidupan. Mereka yang tidak berpikir ikhwal penilaian moral semu atas setiap perbuatannya, entah apa yang dilakukannya nanti diganjar sebagai pahlawan , atau sebagai penjahat. Sejarawan adalah mereka yang harus berpegang teguh hanya pada komitmen metodologis-kritis untuk menuliskan masa lalu bangsa sehingga dapat dipahami secara mamadai. Kata Kuntowijoyo: “di masa depan menulis sejarah adalah tugas ktiris-profetik”.
Tugas kritis-profetik penulisan sejarah tidak akan pernah bisa terwujud jika sejarawan terlalu sibuk dengan pembelahan moralistik semu dalam masyarakat, sehingga membuatnya lupa bahwa kehidupan harus dituliskan dalam sejarah yang manusiawi. Masa lalu se-buruk apapun  itu, harus tetap dicatat, bukan sebagai penyesalan tetapi sebagai laku damai yang sadar diri. Kenyataan bahwa negara pernah membunuh rakyatnya secara kejam dalam tragedi 65 harus diakui sebagai realitas sejarah objektif, bukan untuk terus mengulang derita masa lalu tapi untuk membangun satu kesadaran baru tentang cita-cita kemanusiaan yang luhur.


___DTP___





[1] Lih, Peter Burke, History and Social Theory (Cambridge: Polity Press, 1992), hlm. 15-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar