Ruangan ukuran 3 kali 3 ini tak tertata rapi.
Kertas berserakan di pojok ruangan dekat sebuah cermin yang digantung. Pakaian-pakaian
tertumpuk di sudut lain. Ada aroma sambel
pecel, menyatu dengan bau keringat pada kasur. Ada setumpuk peralatan masak
di bawah meja, saya tidak tahu itu barang bersih atau kotor. Di sisi tembok
ruang bagian timur, sebuah gordin warna hijau sepia lusuh, kelihatan tidak
pernah dicuci. Ini kali pertama saya berkunjung lagi ke kamar seorang teman
itu, setelah satu tahun lebih saya tidak pernah mengunjunginya.
Banyak perubahan, barang-barang sudah tidak
berada pada tempatnya dahulu, satu tahun lalu.
Yang tidak berubah hanya biola yang digantung di samping jendela. Biola
pertama saya ketika awal mula tertarik belajar alat musik gesek itu. Dia
membeli biola itu saat saya sedang kehabisan uang, saat itu saya mengajukan
satu sarat: “ Biola itu tidak boleh dijual lagi ke orang lain”. Dia sepertinya
menginggat dengan baik perjanjian tak tertulis itu. Kini kemampuan saya
mengesek biola jauh telah dilampaui teman saya. Sebab, barangkali saya terlalu
sibuk bergulat dengan pikiran-pikiran kosong dan kecemasan-kecemasan yang tidak
selesai.
Saya bertanya tentang banyak hal: “bagaimana kabar adikmu”, “ sibuk apa
setelah lama tak bertatap muka”. Sepertinya saya terlalu bersemangat untuk
percakapan ini, tapi lawan bicara saya agak datar. Atau sebaliknya, saya tidak
tahu. Diam-diam saya sebenarnya selalu berpikir panjang untuk setiap obrolan:
saya menahan diri agar tidak membicarakan masa lalu. Malam semakin larut, saya mulai mengantuk.
Teman saya membuka laptop, mungkin untuk menghindari omongan-omongan tidak
jelas. Sebab pembicaraan yang berlarut-larut kadang cukup berbahaya untuk
sebuah pertemanan yang hendak dibangun kembali di atas reruntuhan perselisihan
di masa lalu yang lucu tapi juga cukup menyedihkan.
Saya berbaring di kasur, sementara teman saya
menindih bantal untuk menghindari dingin lantai tegel tempatnya berbaring. Kami
berusaha tidak memejamkan mata, saat seorang anak muda Yahudi di kamp
konsentarsi nazi Plaszow membersihkan
bathup Amon Göth, kepala militer
nazi di Polandia. Sejak tiga puluh menit
yang lalu kami memutar film Schindler List. Film rilisan 1993 berdasarkan novel Schindler's Ark karya Thomas Keneally,
yang diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Schindler's List.
Adaptasi ke bentuk film dikerjakan oleh Steven Zaillian dan
disutradarai oleh Steven Spielberg.
Secara umum mengisahkan riwayat Oskar Schindler,
seorang pengusaha Katolik Jerman yang berperan dalam menyelamatkan nyawa lebih dari
seribu orang Yahudi Polandia pada masa Holocaust.
Dengan durasi tiga jam, dan permainan
sinematografi yang memukau lewat suasana muram dari wajah-wajah korban perang
yang di sorot tajam, serta latar hitam putih, menghasilkan satu suasana redup,
muram, juga sebuah wajah ketegaran korban, subjek-subjek sejarah yang dihinakan
akibat ambisi politik Nazi Jerman.
Berlatar belakang Perang Dunia ke-II, ketika
tentara Jerman melakukan invasi ke Polandia. Seorang pengusaha asal
Chekoslovakia Oskar Schindler, ingin mendirikan pabrik pengolahan besi untuk
peralatan dapur dan perlengkapan perang di Polandia. Schindler adalah anggota
partai Nazi. Dia berharap dengan berkuasanya nazi di polandia, maka akan banyak
orang Yahudi yang bisa dia beli sebagai tenaga murah untuk produksi barang di
pabrik yang akan dia dirikan.
Invasi nazi ke polandia membawa kepanikan
bagi setiap Yahudi yang bermukin di sudut-sudut kota. Kekejaman Nazi terhadap
ras di luar Arya bagaimanapun juga terdengar sampai Polandia. Kamp-kamp
konsentrasi pun mulai di dirikan di polandia. Warga yahudi ditangkapi dan
dimasukkan dalam kamp untuk selanjutnya dibinasakan secara kejam.
Kepanikan kaum Yahudi yang dikejar-kejar
tentara Nazi untuk di kirim ke kamp konsentrasi, dimanfaatkan oleh Oskar
Schindler untuk mendapatkan tenaga kerja. Melalui bantuan Itzhak Stern (akuntan
keturunan Yahudi), Oskar mendapatkan uang dan banyak tenaga kerja yang bisa ia
manfaatkan untuk memulai mengoperasikan pabriknya. Pada mulanya Schindler
adalah seorang pembisnis yang seolah tiada urusan sama sekali dengan hal-ikhwal
kemanusiaan dalam perang. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana mendapatkan
keuntungan pribadi yang besar dengan ongkos produksi pabrik yang minim.
Namun, siapa yang bisa menebak sikap manusia
dengan pasti?
Pada
suatu ketika, Schindler menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembantaian yang
sadis di kamp kerja paksa Plaszow. Pembantaian yang dipimpin oleh seorang
perwira bernama Amon Goth. Dalam satu bagian, dilukiskan dengan apik: bagaimana
suasana kalut menjangkiti masyarakat Yahudi
Polandia ketika sebuah pemukiman mereka diserang oleh bala tentara Amon
Goth. Anak-anak, ibu-ibu, perempuan muda, remaja, kakek-nenek semua dibinasakan
tanpa terkecuali. Rumah-rumah dihanguskan, seluruh harta dirampas. Bahkan
sampai gigi-gigi palsu orang Yahudi yang terbuat dari emas dicopot paksa oleh
tentara nazi sebelum akhirnya nyawa mereka berakhir di depan lubang senapan.
Kota kini sudah hancur, mayat berserakan.
Sisa-sisa yahudi yang masih hidup berusaha lari dari maut. Seolah mereka yakin
nyawa masih layak dilindungi saat di depan mata mereka tubuh seorang gadis
dengan kepala berdarah koyak-moyak. Pada saat itulah Schindler meyaksikan
seorang anak gadis Yahudi berbaju merah, satu-satunya warna lain dalam seluruh
lanskap adegan dalam film ini yang digambarkan dengan unsur utama hitam-putih.
Gadis kecil dengan jaket merah itu berlari di tengah kerumunan orang-orang Yahudi
yang hendak menselamatkan diri. Mata Schindler memandang gadis kecil itu,
terlihat wajahnya mulai berubah warna: memberat, ada sedikit air mata yang akan
jatuh.
Sejak saat itulah semuanya berubah. Schindler
yang seorang pembisnis tiba-tiba saja larut dalam kesedihan. Dia teringgat misi
awalnya pergi ke Polandia, dia teringgat pabriknya yang mulai sukses meraup
keuntungan besar dengan mempekerjakan orang-orang Yahudi korban perang.
Barangkali kita memang berjalan ke depan, tetapi hidup dihidupi ke belakang.
Perubahan sikap menjadi sesuatu yang niscaya untuk orang yang selalu belajar
dari sejarah dan mengevalusi sejarah.
Setelah kejadian tersebut Oskar Schindler meminta Itzhak untuk membuat daftar nama
orang-orang Yahudi yang ada di kamp tersebut untuk diselamatkan. Dia mempertaruhkan
semua harta kekayaan hasil pabriknya untuk membeli semua orang Yahudi yang ada
di kamp. Setelah melakukan berbagai
upaya termasuk menyuap para perwira Nazi, Oskar membawa ribuan orang Yahudi ke
negara asalnya Chekoslovakia.
Diakhiri dengan sebuah adegan saat Schindler
menyadari bahwa dia masih punya satu mobil dan lencana emas yang setara dengan
10 orang yahudi. Seharunya harta yang tersisa darinya bisa digunakan untuk
menselamatkan lagi 10 jiwa. Tapi, sejarah, waktu dan hal-hal yang mengisinya
adalah kilas tak terulang. Tiada yang bisa mengulang sejarah. Manusia yang
hidup di dalamnya barangkali hanya bisa untuk terus belajar dan tidak malu
mengakui kesalahan juga merubah tindakan. Sebab masa depan sejarah kemanusiaan
bukan melulu masalah penyesalan, tetapi bagaimana tindakan baru dihasilkan,
sikap-sikap manusiawi di tumbuhkan.
***
Begitulah,
film Schindler List yang saya tonton bersama seorang teman lama. Sebuah film
yang gagal tayang di Indonesia akibat sensor kementrian penerangan era Harmoko
dan kebijakan rezim Suharto. Ulasan di
atas tentu penuh dengan ketidaklengkapan. Bagaiamana gurat wajah ketakutan,
ekspresi santai menghadapi kematian, kekalutan di depan pistol hingga tawa
seorang tentara nazi setelah membakar ribuan orang Yahudi, bagaimana semua itu
mampu saya ringkas dalam sebuah tulisan? Apa yang saya ringkas adalah contoh
kecil praktik historiografi –penulisan sejarah. Sejak awal historiografi,
seperti juga setiap catatan dia memiliki kemenduaan: mencatat, mengabadikan,
sekaligus mensisihkan.
Sejarah
dan historiografi sebagai ilmu, amatlah unik. Atau barangkali malah tidak
memiliki status jelas terkait dengan metodologi, objektivitas dan standart
eksplanasi. Banyak sejarawan yang akhirnya menempatkan penulisan sejarah
sebagai seni yang tentu berbeda dengan sains. Tetapi, sejauh klaim penulisan
sejarah sebagai seni tidak mendasarkan diri pada satu argumen teoretik, saya
kira peluang sejarah sebagai ilmu masih terus akan terbuka. Peluang tersebut tentu
terkait dengan bagaimana sejarawan mempunyai perangkat metodologis yang khas,
sebab memang karakter sejarah amat sulit disamakan dengan ilmu-ilmu lain
–eksata, sosial.
Jika
secara umum ilmu-ilmu dibangun dari kaidah pensimpul-rampatan
(induksi-generalisasi) empiris atas data objek teramatai. Maka sejarah bergerak
di ranah lain, objek sejarah adalah masa lalu yang secara objektiv telah
berjarak jauh dengan cakrawala kepengamatan subjek sejarawan. Rampatan atas
fenomena sejarah tidak serta merta menghasilkan satu hukum universal bagi
setiap gejala dengan faktor-faktor menyerupai di lain tempat-waktu. Sjarah
penuh dengan fenomena-fenomena kebetulan (probabilitas) dalam sejarah membuat
setiap hukum gerak ketertataan evolusionis dalam sejarah selalu gagal meramal
sejarah. Sejarah oleh karenya sejak awal berurusan dengan hal unik dalam skala
ruang waktu. Akibatnya objektivitas sebagai tumpuan kesahihan ilmu pun, dalam
ilmu sejarah harus dipahamai dan didefinisikan ulang sesuai konteks historis.
Sebab suatu penulisan sejarah yang terbebas dari matra subjektivitas sejarawan
adalah ketidakmungkinan.
Mengertikah kita keyakinan yang dipegang
teguh Nazi Jerman Hitler, ada jenis manusia yang merupakan manusia paling
unggul dan selalu menang dalam setiap proses pertahanan diri, survive of the fittest? “Ras Arya Jerman adalah ras paling unggul dan suatu saat
akan menguasai seluruh kehidupan masyarakat dunia” mengakibatkan sikap politis
yang menakutkan. Setiap aspek realitas yang tidak sesuai dengan keyakinan
Hitler adalah abnormal, sehingga harus dipermak. Keyakinan tersebut dipaksakan
dengan berbagai cara tanpa peduli jika pemaksaan itu melukai jantung
kemanusiaan. Saat itulah sejarah menjadi milik mereka yang merasa diri paling
ideal. Tiap-tiap subjek yang lain
jika dirasa tidak sesuai dengan idealnya haruslah disingkirkan atau paling
halus harus dipermak dengan cara-cara yang menakutkan; pemaksaan, diskriminasi.
Sejarawan
berperan aktif dalam merekonstruksi bangunan masa lalu. Subjek sejarawan juga bukan satu entitas
netral dalam ruang sunyi kosmos, sejarawan selalu berinteraksi secara pribadi
dengan kondisi sosial-politik. Olehnya penulisan sejarah bukan melulu soal
metodologi keilmuan tetapi juga soal tangung jawab politik dan sosial. Sejak
awal sepertinya kita semua mafhum, bahwa sejarah adalah alat legitimasi rezim
yang paling halus di satu sisi tetapi juga kejam di sisi lain. Tantangan
historiografi bukan saja masalah bagaimana masa lalu dihadirkan dalam narasi
objektif, tetapi juga bagaimana narasi objektif mempunyai daya politis untuk
memandu gerak alihragam (transformasi) masyarakat. Oleh karenanya, menulis
sejarah adalah tugas politis.
***
Apa
yang digambarkan dalam film Schindler List adalah satu upaya memahami ulang
sejarah dari sisi lain: sebuah perspektif alternatif. Jika selama rezim nazi
berkuasa penulisan sejarah melupakan realitas keberadaan korban orangg-orang
kecil tak penting yang cacat sebab seorang yahudi. Maka setelah rezim runtuh
orang bebas menulis sejarahnya, saat itulah sejarah alternatif dari mereka yang
kalah harus segera disusun. Bagaimanapun juga masa lalu sebagai realitas sosial
bukan milik sekelompok orang saja, masa lalu seperti juga masa kini dia
menghidupi siapa saja, tidak perduli apa pun.
Pada
perempat abad 19 tradisi penulisan sejarah berkiblat pada paradigma positivisme
dengan jargon utama tentang kematangan ilmu-ilmu alam dan keharusan ilmu menaati
satu kaidah metodologi (unified science). Sejarah dan ilmu-ilmu sosial harus
mengunakan paradigma ilmu alan agar statusnya sebagai sains dimungkinkan. Dalam
tradisi historiografi kemudian mucullah madzab Scientific History yang
mengunggulkan sejarah sebagai diskripsi faktual (kumpulan data-data). Adalah
Leopod von Renke seorang Positivis Jerman yang menginisiasi penulisan sejarah
dengan pendekatan netralitas positivistik.
Saat
itulah sejarah berusaha dipahami dan dituliskan seperti resep dokter di apotik-apotik.
Selain itu titi utama penulisan sejarah adalah para elite, penguasa, pemimpin
politik dll. Keberadaan rakyat kecil hanya sebagai pelengkap. Singkatnya
sejarah hanya cerita untu orang-orang besar tanpa kecacatan apapun. Sejarah
menumpukan dirinya pada satu bentuk ideal manusia, para pahlawan yang hidup
seolah tanpa cacat.
Sejarah
positivis menceraikan kehidupan dari unsur-unsur kemanusiaan yang cacat. Buruh,
Tani, minoritas agama, sampai orientasi seksual menyimpang tidak memiliki
tempat khusus dalam sejarah. Pokok soal utama sebetulanya bukan hanya pada
metodologi yang positivis, tetapi adalah dominasi politik, kekuasaan yang mampu
mendikte penulisan sejarah, hingga sejarah kehilangan sifat kritisnya.
Pada
1912 James Harvey Robinson di Amerika mengusulkan penulisan sejarah yang
mengunakan analisis struktural dalam metode ilmu sosial. Singkatnya sejarah
bukan hanya narasi atas data faktual, tetapi analisis kusal atas peristiwa.
Upaya Robinson didukung oleh berdirinya madzab Annales di Prancis (1929)
dipelopori oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre yang mengehendaki sejarah
mempunyai “ wider and more human history”[1]. Sejak itu
penulisan sejarah dibebani tugas politik untuk mensibak struktur kekuasaan yang
timpang, tidak manusiawi dan menindas. Fokus penulisan sejarah pun berganti
dari para elit ke kaum alit, sejarah
bukan lagi kehidupan politik, akan tetapi sejarah sosial keseharian, singkatnya
sejarah setiap bagian kehidupan manusia.
Akankah
dominasi politik bisa diceraikan selamanya dari sejarah penulisan sejarah?
Politik
yang menjadi panglima, keangkuhan yang mengkuasai kadang mengeser sifat-sifat
manusiawi dari kehidupan dan sejarah. Ideal politik bisa mengendalikan sebuah
penulisan sejarah. Saat sejarah dikendalikan oleh satu ideal politik yang tidak
ramah terhadap kemanusiaan, saat itulah subjek yang lemah, mereka yang cacat
dalam definisi mayoritas harus rela memerankan peran figuran untuk mengkuatkan
dominasi tokoh utama.
Schindler
List memberikan satu tilikan (insaight) pada kita tentang bagaimana sejarah
kekejaman harus dituliskan secara manusiawi. Schindler sang tokoh utama
bukanlah sosok tanpa cacat moral. Dia adalah penyuka wanita yang berlebihan,
sekertarisnya semua wanita-wanita cantik yang tugas administratifnya sebenarnya
juga tidak begitu jelas. Sosok Schindler pada bagian-bagian awal digambarkan
sebagai pembisnis yang tidak peduli dengan urusan kemanusiaan.
Sebuah
gambaran yang tidak hitam-putih oleh karenanya amat manusiawi. Begitulah,
setidaknya menurut saya sejarah kita seharusnya ditulis. Sejarah yang manusiawi, sejarah yang
multidimensional sebab tidak ada kehidupan yang antagonis hitam-putih,
normal-abnormal. Realitas adalah rajutan rumit dari pancaragam soal-soal
kehidupan yang komplesitas serta derajat perubahannya amat acak dan sulit
dirangkum dalam satu hukum universal.
Penulisan
sejarah kita harus diceraikan dari soal politik dan kebencian masa lalu.
Misalnya kita ambil contoh penulisan sejarah pasca 1965. Secara umum ada dua
kubu yang ekstrim bertentangan dalam memandang tragedi 65. Satu kubu mencela
habis-habisan orde baru sebagai satu-satunya pihak yang harus bertangung jawab.
Mereka kemudian menulis sejarah perspektif korban 65 yang dalam banyak sisi
amat tendensius untuk menciptakan suatu kebencian massif terhadap orde baru
tetapi melupakan kesalahan-kesalahan korban (simpatisan PKI) di masa lalu. Kubu
kedua adalah mereka yang membela orde baru dengan dalih bahwa masa lalu hendaknya
dilupakan tidak usah diungkit-ungkit. Mereka yang beradadalam barisan ini
bermasalah juga sebab tidka menghendaki satu penulisan sejarah, solah setiap
korban bisa dengan cepat lupa penderitaan msa lalu mereka.
Schindler
List adalah potret film berdasar narasi sejarah yang berimbang. Sebab di sana
tergambar jelas pahlawan tidak selamanya seluruh karkter hidupnya baik.
Seementara Amont Goth sebagai poret seorang perwira kejam Nazi, seorang yang
dingin tetapi pernah berusaha berprilaku baik pada seorang anak muda yang
membersihkan bathup nya. Jika penulisan sejarah bisa dihardikan secara
berimbang dan kritis maka sejarah akan amat sulit dijadikan alat legitimasi
rezim.
Jika
akhirnya penulisan sejarah yang berimbang sulit kita lakukan, sebab sejarawan
indonesia masih terjebak pada kategori moral antagonis, maka sejarawan bisa
mengambil siasat dengan memberikan daya penuh ilmu sejarah sebagai instrumen
pembebasan. Sebab tugas pembebasan maka sudah saatnya sejarah indonesia menulis
tentang kaum minoritas, seperti yang saya jelaskan sebelumnya sejarah harus
digeser dari soal politik ke soal kehidupan sosial. Dalam konteks kehidupan
sosial, sejauh pengamatans saya beberapa tahun terakhir minim atau bahkan belum
ada karya sejarah yang menuliskan kehidupan minoritas : begal, atau bandit
di jaman kolonial, eksistensi kaum
homoseksual setelah masa revolusi 45, kaum buruh pabrik di Kudus dll. Hanya dengan cara itu masa lalu kita sebagai
bangsa bisa dipahami dengan utuh.
Minoritas
yang selama ini hanya hadir sebagai subjek politik pasif dengan satu penulisan
sejarah yang menumpukan diri pada kehidupan minoritas, kaum sub-altern akan
menjadi subjek aktif. Lewat penulisan sejarah juga akan terlihat stuktur kuasa
politik, keangkuhan mayoritas, fatwa-fatwa rezim religious dan lain-lain sebab,
yang menimbulkan minorits dilupakan
keberadaannya dalam kehidupan bangsa kita. Posisi politis minoritas bisa
dikuatkan jika, dan hanya jika sejarah memberikan “tempat” pada mereka dalam
arus deras narasi mayoritas yang penuh keangkuhan.
***
Kenyataan tidak bisa dipahami dengan
pendekataan pembelahan antagonistik: hitam vs putih, jahat vs baik, normal vs
abnormal. Pendekatan antagonistik harus dirubah lewat satu pemahaman yang
agonistik, sebab itu ramah pada setiap perbedaan. Tapi hal itu bukan soal
mudah, sebab sejak kecil kita sudah dibiasakan berpikir hitam-putih. Pahlawan
selalu kita lawankan dengan penjahat, solah dalam diri pahlawan tidak ada
sedikitpun sifat jahat, pun juga sebaliknya. Pemahaman tersebut membuat
penulisan sejarah, historiografi tidak lagi manusiawi.
Di tenggah gejala pengkutuban kehidupan pada
dua sisi ekstrim bertentangan, sejarawan seharusnya adalah mereka yang tidak
pernah berpikir tentang kutub kehidupan. Mereka yang tidak berpikir ikhwal
penilaian moral semu atas setiap perbuatannya, entah apa yang dilakukannya
nanti diganjar sebagai pahlawan , atau sebagai penjahat. Sejarawan adalah
mereka yang harus berpegang teguh hanya pada komitmen metodologis-kritis untuk
menuliskan masa lalu bangsa sehingga dapat dipahami secara mamadai. Kata
Kuntowijoyo: “di masa depan menulis
sejarah adalah tugas ktiris-profetik”.
Tugas kritis-profetik penulisan sejarah tidak
akan pernah bisa terwujud jika sejarawan terlalu sibuk dengan pembelahan
moralistik semu dalam masyarakat, sehingga membuatnya lupa bahwa kehidupan
harus dituliskan dalam sejarah yang manusiawi. Masa lalu se-buruk apapun itu, harus tetap dicatat, bukan sebagai
penyesalan tetapi sebagai laku damai yang sadar diri. Kenyataan bahwa negara
pernah membunuh rakyatnya secara kejam dalam tragedi 65 harus diakui sebagai
realitas sejarah objektif, bukan untuk terus mengulang derita masa lalu tapi
untuk membangun satu kesadaran baru tentang cita-cita kemanusiaan yang luhur.
___DTP___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar